Akhir-akhiri ini kasus bullying atau perundungan semakin marak terjadi. Tahukah sobat, bahwa bullying termasuk kedalam kekerasan yang diatur dalam Undang-Undang. Lantas, apa saja perlakuan yang dapat kita kategorikan sebagai bullying? Bagaimanakah perlindungan hukum yang dapat diperjuangkan bagi korban? Simak pada artikel berikut ini!

Baca juga: Dampak dan 5 Cara Mencegah Bullying

Apa Itu Bullying

Sebagaimana dirumuskan oleh Black’s Law Dictionary, bullying merupakan perlilaku yang berulang kali dan secara agresif dilakukan untuk menimbulkan ketidaknyamanan atau cedera terhadap orang lain, baik itu melalui perkataan (verbal) maupun perbuatan secara fisik (non-verbal) kepada orang tersebut (korban) dengan tujuan tertentu. 

Sedangkan, Pusat Penyuluhan Hukum, Badan Pembinaan Hukum Nasional (PPHN-BPHN), mendefinisikan tindakan perundungan sebagai berikut:

bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan secara berulang oleh seseorang/kelompok siswa/siswi yang memiliki kekuasaan, terhadap siswa/siswi lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang tersebut.”

5 Unsur Tindakan Bullying

  1. Perilaku agresif dan berulang dan agresif oleh pelaku;
  2. Perilaku tersebut dimaksudkan untuk menyebabkan luka atau ketidaknyamanan kepada korban; dan 
  3. Perilaku tersebut dapat berwujudkan kata-kata, tindakan, atau kontak fisik secara langsung dengan/pada korban.
  4. Dapat dilakukan oleh seseorang atau kelompok siswa/siswi; dan 
  5. Adanya kekuasaan yang lebih oleh pelaku untuk menekan korban yang cenderung lebih lemah. 

Jenis-Jenis Bullying

Berikutnya, PPHN-BPHN juga turut mengklasifikasikan bentuk-bentuk bullying atas 5 kategori berikut ini: 

a) Fisik

Berupa aksi memukul, mendorong, menggigit, menjambak, menendak, mengunci seseorang dalam ruangan, mencubit, mencakar korban, juga termasuk di dalamnya memeras dan merusak barang-barang milik korban; 

b) Verbal

Berupa perilaku mengancam, mempermalukan, merendahkan, mengganggu, memberi panggilan nama (name-calling), sarkasme, merendahkan (put-downs), mencela, mengejek, mengintimidasi, memaki, dan menyebarkan berita bohong;

c) Non-Verbal Langsung

Menempelkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejek, atau mengancam;

d) Non-Verbal Tidak Langsung

Mendiamkan seseorang, memanipulasi persahabatan sehingga menjadi tidak lagi akrab, dengan sengaja mengucilkan atau mengabaikan orang, hingga mengirimkan surat kaleng (blackmail); dan

e) Pelecehan Seksual

Perilaku agresi fisik atau verbal dengan maksud yang mendominasi pada hasrat seksual. Pada akhirnya, berbagai bentuk bullying ini dapat dimasukan sebagai bentuk kekerasan terhadap anak, sebagaimana diartikan dalam Pasal 1 angka 15a Undang-Undang 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”), yang mana secara mendasar kekerasan dinyatakan sebagai tiap-tiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan, baik secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, serta ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum. 

Cara Mengatasi Bullying

Cara mengatasi tindakan perundungan bagi korban yang telah dirugikan dapat dengan mengambil lagkah hukum. Ada 2 (dua) kacamata hukum yang dapat digunakan Sobat Perqara untuk membedah kasus bullying, yaitu secara pidana dan perdata. Berikut uraiannya: 

Jerat Hukum Pidana

Berangkat dari Pasal 80 ayat (1) UU Perlindungan Anak, sejatinya setiap orang yang melakukan kekerasan terhadap anak dapat dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,- (tujuh puluh dua juta rupiah). Kemudian, dilanjutkan pada ayat (2) yang bilamana korban mengalami kekerasan dengan luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah). Hingga yang paling ekstrim pada ayat (3), yaitu bilamana korban meninggal dunia, maka pelaku dipidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,- (tiga miliar rupiah). Dalam hal ini, apabila pelaku kekerasan adalah orang tua korban sendiri, maka pidananya ditambah ⅓ dari sanksi pidana awal. 

Dari uraian pemidanaan di atas, mungkin terlihat mudah implementasinya. Akan tetapi, banyak pertanyaan yang muncul mengenai bagaimana apabila pelaku kekerasan anak adalah orang yang masih berusia anak (di bawah 18 tahun) pula? Apakah pemidanaan yang serupa juga dapat diterapkan? Jawabannya adalah ya, pelaku kekerasan (bullying) usia anak juga dapat dipidana. 

Dalam hal ini, dapat diajukan di depan pengadilan berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan dapat dipidana dengan syarat telah berumur 12 tahun dan belum berusia 21 tahun, juga belum menikah. Terhadap pelaku usia anak ini, penyidik dapat mengambil keputusan untuk mengembalikan kepada orang tua/wali, atau dapat mengikutsertakan pelaku usia anak tersebut dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang bergerak di bidang kesejahteraan sosial dengan batas waktu maksimum 6 (enam) bulan. 

Memang sanksi pidana yang diterima pelaku usia anak cukup berbeda dengan pelaku usia dewasa, sebab dalam peradilan pidana anak, yang diutamakan adalah pendekatan restorative atau pemulihan, sehingga yang difokuskan adalah bagaimana penyelesaian perkara dapat ditempuh berdasarkan jalur kekeluargaan dan bukan jalur meja hijau. 

Jerat Hukum Perdata 

Sebagaimana diatur dalam Pasal 71D ayat (1) dan (2) UU Perlindungan Anak, “setiap anak korban kekerasan fisik maupun psikis berhak untuk mengajukan hak atas ganti rugi yang menjadi tanggung jawab pelaku kejahatan kepada pengadilan“. Maka dari itu, melalui dasar hukum ini sejatinya telah memberikan justifikasi terhadap korban kekerasan (bullying) usia anak untuk menggugat pelakunya secara perdata untuk meminta ganti rugi.

Dalam sejumlah kesempatan pun, format gugatan yang diajukan oleh korban dapat berupa gugatan perbuatan melawan hukum (PHM) yang secara generik diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dimana bullying yang diterimanya diinterpretasikan sebagai perbuatan yang menimbulkan kerugian terhadap korban, sehingga menimbulkan akibat yang merugikan korban dan mewajibkan pelaku untuk ganti rugi. 

Adapun dalam penindakan hukum yang diharapkan mampu memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi korban, sepatutnya dilaksanakan secara pro-aktif oleh setiap individu masyarakat. Pelaksanaan ini juga diharapkan lahir dari diri korban sendiri atas dasar keberanian yang ditanam dalam dirinya, dimana dengan melaksanakan akronim “IMUN”

IMUN merupakan langkah mendasar yang sejatinya dapat dilakukan oleh korban bullying, yang terdiri dari 4 langkah, yaitu Identifikasi, Melaporkan, Ungkapkan, dan Nyatakan. 

Pertama, ‘Identifikasi’ dapat diartikan sebagai langkah yang digunakan korban untuk menyadari bahwa apa yang ia alami merupakan sebuah bentuk bullying yang mencederai mental, psikis, dan kemerdekaannya secara paksa;

Kedua, ‘Melaporkan’ dimaknai sebagai tindak lanjut dari proses identifikasi, yang mana dilaksanakan dengan menginformasikan kejadian hasil identifikasi terhadap keluarga dan pihak yang berwenang. Hal ini dilakukan untuk memperoleh bantuan dan perlindungan yang lebih komprehensif; 

Ketiga, ‘Ungkapkan’ yang merupakan tahap penting setelah pelaporan dilakukan, dimana tahap ini seringkali menjadi sukar ketika pelaporan terjadi dan korban diminta untuk memberikan keterangan. Pasalnya, terdapat kecenderungan bagi korban untuk diam dan berhenti memberi keterangan kejadian yang dialaminya tersebut, sebab tekanan yang ia rasakan, baik secara langsung maupun tidak langsung oleh orang terdekat dan pihak yang berwenang untuk mengupas kebenaran; 

Keempat, ‘Nyatakan’ yaitu korban bullying yang telah mendapat penyelesaian atas kasusnya patut berdiri sebagai agen perubahan (agent of change) di lingkungan masyarakat. Artinya, korban mampu memberikan sosialisasi dan advokasi mengenai apa itu bullying, bagaimana cara mengidentifikasi bullying, hingga bagaimana cara melaporkan dan menguraikan kronologis bullying kepada pihak yang berwenang untuk ditindaklanjuti. Dengan begitu, masyarakat baik dewasa maupun usia anak akan lebih menyadari betapa pentingnya hidup dalam lingkungan bebas bullying di masa yang akan datang.

Perqara Telah Melayani Lebih dari 5.500 Konsultasi Hukum

Untuk permasalahan hukum terkait Pidana, Perqara telah menangani lebih dari 2.200 kasus. Ada ratusan mitra Advokat Perqara dengan keahlian khusus di masing-masing bidangnya seperti ketenagakerjaan, perkawinan dan perceraian, pertanahan, dan masih banyak lagi. Sehingga, klien dapat konsultasi tentang masalah hukum lainnya sesuai dengan permasalahan yang sedang dialami.

Konsultasi Hukum Gratis di Perqara

Apabila Sobat Perqara memiliki pertanyaan atau permasalahan hukum ini, Sobat dapat mengobrol langsung dengan advokat profesional secara gratis hanya di Perqara. Dapatkan konsultasi hukum gratis untuk mendapatkan solusi hukum tepat kapan pun dan di mana pun.

 Baca Juga: Benarkah Orang Mabuk yang Mengganggu Bisa Dipidana?

(Artikel ini telah disunting oleh Tim Redaksi Perqara)

Dasar Hukum

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
  2. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
  3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
  4. Peraturan Menteri Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulanan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.

Referensi

  1. Campbell, Henry. Black’s Law Dictionary, ed. 2. St. Paul: West Publishing, 1910. 
  2. Jannah, Raodathul. “Pertanggungjawaban Pidana oleh Anak Pelaku Bullying.” Lex Crimen VII, no. 3 (Mei 2018): 105-113.
  3. Pusat Penyuluhan Hukum, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM RI. “Bullying dan Aspek Hukumnya: Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.” Diakses pada 15 Februari 2022 melalui https://lsc.bphn.go.id/uploads/557258_bullying.pdf
  4. Tim KPAI. “Sejumlah Kasus Bullying Sudah Warnai Catatan Masalah Anak di Awal 2020, Begini Kata Komisioner KPAI.” Diakses pada 15 Februari 2022 melalui https://www.kpai.go.id/publikasi/sejumlah-kasus-bullying-sudah-warnai-catatan-masalah-anak-di-awal-2020-begini-kata-komisioner-kpai
  5. Wibowo, Antonius P. S. Penerapan Hukum Pidana dalam Penanganan Bullying di Sekolah. Jakarta: Penerbit Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, 2019.