Peninggalan seseorang berupa harta kekayaan kerap disebut sebagai warisan. Warisan ini dapat berupa benda berwujud (rumah, tanah, mobil, dan perhiasan) maupun tidak berwujud (hutang piutang) yang dapat dinilai dengan uang. Harta warisan baru bisa dipindahtangankan kepada ahli waris ketika ia telah meninggal dunia. Lantas, siapa saja yang berhak untuk menjadi ahli waris tersebut? Bagaimana cara pembagian harta warisan jika seseorang memiliki banyak anggota keluarga atau harta yang berlimpah?

Patut dipahami terlebih dahulu bahwa hukum waris yang berlaku di Indonesia masih sangatlah beragam. Ada 3 (tiga) hukum waris yang berlaku di Indonesia yaitu pembagian dan perolehan warisan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”); Hukum Islam; dan Hukum Adat. 

Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Perdata

Sebagaimana diatur dalam Buku II KUHPerdata, terdapat 2 (dua) cara untuk mendapatkan warisan.

1. Berdasarkan Hubungan Darah

Pewarisan berdasarkan ketentuan undang-undang sebagaimana tercantum dalam Pasal 832 KUHPerdata mengatur bahwa kedudukan hak ahli waris dilihat melalui hubungan darah yang dimiliki antara pewaris dan ahli waris. Hubungan ini kemudian dituangkan dalam 4 golongan yang berbeda.

Pewarisan pada mulanya akan ditujukan bagi golongan pertama untuk secara bersama-sama mewarisi warisan, namun bilamana tidak terdapat anggota keluarga dari golongan pertama, barulah orang-orang yang termasuk golongan kedua dapat hadir sebagai ahli waris, dan begitupun seterusnya. Adapun golongan keluarga tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

  1. Golongan Pertama
    Seperti yang termaktub dalam Pasal 852 KUHPerdata, golongan ini terdiri atas anak-anak beserta turunannya dalam garis lurus ke bawah tanpa membedakan urutan kelahiran dan jenis kelaminnya, serta suami atau isteri dari pewaris yang meninggal dunia. 
  2. Golongan Kedua
    Terdiri dari orang tua dan/atau saudara-saudara dari pewaris dalam garis lurus ke atas. Pewarisan kepada orang tua ini sebagaimana disebutkan pada Pasal 853 KUHPerdata, harus dibagi dua bagian yang sama, yaitu ½ (setengah) bagian ibu dan ½ (setengah) bagian ayah.
    Apabila terdapat pula seorang saudara kandung dari pewaris selain ibu dan ayah yang masih hidup, maka berdasarkan Pasal 854 KUHPerdata warisan tersebut dapat dibagi tiga bagian sama besar untuk ibu, ayah, dan seorang saudara kandung tersebut, sehingga ketiganya mendapatkan ⅓ (satu pertiga) warisan.
    Kemudian, apabila ayah dan ibu dari yang meninggal telah tiada, maka saudara kandung-lah yang menjadi ahli waris terhadap seluruh warisan dari pewaris, bersama keturunan dari saudara kandung tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 856 dan Pasal 860 KUHPerdata.
  3. Golongan Ketiga
    Sebagaimana diatur pada Pasal 858 KUHPerdata, golongan ini terdiri dari kakek dan nenek yang berasal dari keluarga ibu maupun ayah pewaris. Warisan pada golongan ini dibagikan dua sama rata, yaitu ½ (setengah) bagian untuk kakek dan nenek dari keluarga ayah, serta ½ (setengah) bagian untuk kakek dan nenek dari keluarga ibu.
  4. Golongan Keempat
    Golongan ini terdiri dari anggota keluarga dan sanak saudara lainnya sampai derajat keenam sebagaimana dibatasi oleh Pasal 861 KUHPerdata.

2. Berdasarkan Surat Wasiat

Pewarisan berdasarkan penunjukan dari surat wasiat pengaturannya dapat dilihat dari Pasal 874 s.d. Pasal 894 KUHPerdata. Surat wasiat merupakan sebuah pernyataan dari seseorang tentang apa yang dikehendakinya jika ia meninggal. Dengan catatan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 881 ayat (2) KUHPerdata, surat wasiat tersebut tidak boleh memuat hal-hal yang bertentangan dengan undang-undang, termasuk bagian mutlak yang harus diberikan kepada ahli waris dalam garis lurus menurut undang-undang itu sendiri. 

Pembagian Harta Warisan Menurut Islam

Dalam hukum Islam, ketentuan-ketentuan mengenai orang yang berhak digolongkan sebagai ahli waris dan bagian warisan yang dapat diterimanya disebut sebagai faraid atau faridah. Ketentuan pewarisan ini diyakini telah ditentukan Allah secara pasti, sehingga wajib dilaksanakan bagi penganut agama Islam.

Kedudukan ahli waris dalam hukum Islam harus memenuhi syarat-syarat berikut ini:

  1. Masih hidup pada waktu pewaris meninggal dunia;
  2. Tidak ada sebab-sebab yang menghalanginya menjadi ahli waris, misalnya akibat pembunuhan yang dilakukan oleh calon ahli waris terhadap calon pewaris dan perbedaan agama yang menyebabkan seorang Muslim tidak dapat mewarisi harta peninggalan seorang non-Muslim, juga sebaliknya;
  3. Tidak tertutup oleh ahli waris yang lebih utama, artinya tidak terhalangi oleh ahli waris yang lebih utama dan yang lebih berhak untuk menerima warisan, seperti cucu yang terhalangi oleh keberadaan anak, nenek, dan ibu sebagai ahli waris yang lebih utama.

Ketiga syarat tersebut dapat dirincikan sebagai: anak laki-laki dan anak perempuan, cucu, ayah, ibu, kakek, nenek, saudara kandung laki-laki dan perempuan, seayah atau seibu, anak saudara, paman dan bibi, serta anak paman dan anak bibi. Artinya, terdapat hubungan darah antara yang meninggal dan ahli waris tersebut. Namun, tidak terbatas pada hubungan darah semata.

Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam pun turut menyatakan bahwa ahli waris juga dapat hadir karena adanya hubungan perkawinan, yang mana menegaskan bahwa suami atau isteri juga dapat menjadi ahli waris dari meninggalnya satu atau yang lainnya. Namun, pada akhirnya apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapatkan warisan pada akhirnya hanyalah anak, ayah, ibu, janda atau duda (pasangan yang ditinggalkan oleh yang meninggal).

Pembagian Harta Warisan Secara Adat

Hukum adat di Indonesia dapat dikatakan sangat beragam dan bervariasi, sebab setiap daerah dan suku memiliki keistimewaan dan perbedaan hukum adatnya. Perbedaan ini secara mendasar dapat dilihat melalui sistem kekerabatan yang dianut dan kemudian berpengaruh terhadap seluruh pengaturan dari hukum adat tersebut. Dalam kaitannya dengan hukum waris, pengaturan mengenai waris juga akan mengikuti dasar-dasar sistem kekerabatan yang dianut oleh masing-masing adat. Sistem kekerabatan ini terbagi atas 3, yaitu patrilineal, matrilineal, dan parental. 

1. Patrilineal

Sistem kekerabatan patrilineal menganut prinsip bahwa yang menarik garis keturunan ialah dari pihak laki-laki (ayah), sehingga pihak yang berhak atas warisan hanyalah anak laki-laki saja. Sedangkan, anak perempuan tidak berhak untuk mendapatkan warisan dari keluarganya. Hukum adat ini dapat ditemukan di masyarakat Gayo, Nias, Alas, Batak, Bali, Irian Jaya, Timor, Lamaholot, dan masih banyak lagi.

2. Matrilineal

Sistem kekerabatan matrilineal menganut prinsip bahwa yang menarik garis keturunan ialah dari pihak perempuan, sehingga anak-anak hasil perkawinan akan masuk ke dalam suku ibunya. Dalam sistem ini, sumber nafkah keluarga berasal dari kekayaan pihak ibu dan pihak yang berhak atas warisannya hanyalah anak perempuan saja. Sedangkan, kekayaan ayah tidak akan dioper maupun diwarisi oleh anak-anaknya ketika sang ayah meninggal. Pewarisan adat matrilineal ini dapat ditemukan di masyarakat Minangkabau, Kerinci, Semendo dan Lembata. 

3. Parental

Sistem kekerabatan parental garis keturunannya ditarik dari pihak laki-laki dan perempuan. Alhasil, tidak ada pembeda antara keluarga pihak ayah atau ibu, maupun jenis kelamin laki-laki maupun perempuan. Dengan begitu, kedudukan setiap ahli waris terlepas dari jenis kelaminnya adalah sama, dimana baik laki-laki maupun perempuan berhak atas warisan yang sama besarnya. Pewarisan adat parental ini dapat ditemukan di masyarakat Jawa, Aceh, Riau, Madura, Sumatera Timur, Sumatera Selatan, Kalimantan, Ternate, dan Lombok.

Terlepas dari cara-cara memperoleh harta warisan yang telah disebutkan di atas, sejatinya tata cara pembagian dan perolehan harta warisan haruslah dilandasi oleh rasa kekeluargaan dengan memperhatikan prinsip keadilan dari para pihak yang memiliki hak waris itu sendiri.

Perqara Telah Melayani Lebih dari 5.500 Konsultasi Hukum

Untuk permasalahan hukum terkait Waris, Perqara telah menangani lebih dari 200 kasus. Ada ratusan mitra Advokat Perqara dengan keahlian khusus di masing-masing bidangnya seperti ketenagakerjaan, perkawinan dan perceraian, pertanahan, dan masih banyak lagi. Sehingga, klien dapat konsultasi tentang masalah hukum lainnya sesuai dengan permasalahan yang sedang dialami.

Konsultasi Hukum Gratis di Perqara

Apabila Sobat Perqara memiliki permasalahan hukum terkait permasalahan ini, Sobat dapat mengobrol langsung dengan advokat profesional secara gratis hanya di Perqara. Dapatkan konsultasi hukum gratis untuk mendapatkan solusi hukum tepat kapanpun dan dimanapun.

Baca juga: Cara Membuat Surat Keterangan Ahli Waris beserta Contoh

(Artikel ini telah disunting oleh Tim Redaksi Perqara)

Dasar Hukum

  1. Buku II Bab ke-12 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
  2. Al-Quran
  3. Buku II Kompilasi Hukum Islam

Referensi

  1. Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006).
  2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 
  3. Kompilasi Hukum Islam.
  4. Poespasari, Ellyne Dwi. Pemahaman Hukum Waris Adat di Indonesia
  5. Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. (Jakarta: PT Intermasa, 2003).
  6. Sugianto, Fajar, Vincensia Esti Purnama Sari, dan Graceyana Jennifer. “Ketimpangan Hak Berbasis Gender dalam Hukum Waris Adat Lamaholot.” DiH Jurnal Ilmu Hukum 17, no. 2 (2021): 152-166.
  7. Fauzi, Mohammad Yasir. “Legislasi Hukum Kewarisan di Indonesia.” Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam 9, no. 2 (Agustus 2016): 53-76.