Kredit online cukup diminati oleh masyarakat karena prosesnya yang mudah. Umumnya, kredit online melibatkan tiga pihak. Pihak tersebut yakni X selaku pembeli barang sekaligus penerima pinjaman, Y selaku penjual barang, dan Z selaku pemberi pinjaman. Misalnya, Z melakukan pembelian dan pembayaran barang kepada Y, yang mana sebagai gantinya X berkewajiban untuk membayar cicilan secara rutin kepada pihak Z. Namun, bagaimana jika kredit online tidak lunas? Apakah tak lunasi kredit dipidana? Simak pembahasan terkait ketentuan tak lunasi kredit dalam artikel berikut ini.

Ketentuan Perjanjian Pendanaan

Sebelum membahas terkait tak lunasi kredit dipidana, pahami terlebih dahulu mengenai ketentuan perjanjian pendanaan. Adapun ketentuan cicilan serta jangka waktu yang diperlukan harus disepakati oleh para pihak melalui perjanjian berbasis dokumen elektronik sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 10/POJK.05/2022 Tahun 2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (“POJK No. 10/POJK.05/2022 Tahun 2022”). Perjanjian ini dikenal dengan perjanjian pendanaan antara pemberi dana dan penerima dana.

Adapun yang dimaksud dengan pendanaan adalah penyaluran dana dari pemberi dana kepada penerima dana dengan suatu janji yang akan dibayarkan atau dikembalikan sesuai dengan jangka waktu tertentu dalam transaksi Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (“LPBBTI”), menurut Pasal 1 angka 3 POJK No. 10/POJK.05/2022 Tahun 2022. Kemudian, berdasarkan Pasal 32 ayat (2) POJK No. 10/POJK.05/2022 Tahun 2022, perjanjian pendanaan yang tertuang dalam dokumen elektronik wajib paling sedikit memuat:

  1. nomor perjanjian;
  2. tanggal perjanjian;
  3. identitas para pihak;
  4. hak dan kewajiban para pihak;
  5. jumlah pendanaan;
  6. manfaat ekonomi pendanaan;
  7. nilai angsuran;
  8. jangka waktu;
  9. objek jaminan, jika ada;
  10. biaya terkait;
  11. ketentuan mengenai denda, jika ada;
  12. penggunaan data pribadi;
  13. mekanisme penyelesaian sengketa; dan
  14. mekanisme penyelesaian hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan jika penyelenggara tidak dapat melanjutkan kegiatan operasionalnya.

Kemudian, mengacu pada Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), perjanjian dibagi menjadi tiga macam, seperti:

  1. Perjanjian untuk memberikan sesuatu;
  2. Perjanjian untuk berbuat sesuatu; dan/atau
  3. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.

Dalam hal ini, perjanjian pendanaan merupakan perjanjian penyerahan suatu barang yang mewajibkan para pihak berbuat sesuatu atau memberikan sesuatu sebagai prestasi yang wajib dipenuhi, seperti pemberian dana dan pelunasan atas dana yang diperjanjikan.

Kemudian, biasanya barang yang dibeli menggunakan kredit online merupakan benda bergerak karena sifatnya, yakni barang yang dapat berpindah dan dapat dipindahkan, sebagaimana Pasal 509 KUH Perdata. Lalu, untuk benda bergerak hak milik berpindah ketika barang diserahkan penjual dan diterima pembeli.

Hal tersebut sesuai dengan Pasal 585 jo. Pasal 612 KUH Perdata, yaitu penyerahan hak milik atas benda bergerak hanya akan terjadi apabila dilakukan penyerahan nyata (levering) oleh dan atas nama pemilik. Oleh karena itu, beralihnya hak milik terjadi apabila ada penyerahan nyata dan terdapat perjanjian yang mendasarinya.

Dengan demikian, mengingat barang tersebut telah diserahkan kepada pengguna kredit online, yang berarti hak kepemilikannya telah berpindah, maka pembelian barang tersebut oleh pihak Z dari pihak Y juga telah terlaksana. Sehingga, yang tersisa adalah kewajiban X untuk melunasi angsuran/cicilan kepada pihak Z berdasarkan perjanjian yang telah disepakati.

Apakah Tidak Sanggup Melunasi Cicilan Dianggap Tindak Pidana?

Pada dasarnya, seseorang yang tidak mampu memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang tidak boleh dipidana atas putusan pengadilan.

Namun, tindakan seseorang yang tidak membayar cicilan yang menjadi kewajibannya sebagaimana tertuang dalam perjanjian, termasuk ke dalam kategori wanprestasi (cidera janji), sehingga pemberi pinjaman dapat menggugat pihak pembeli ke pengadilan.

Mohammad Choirul Anam yang merupakan Anggota Komisioner Komisi Hak Asasi Manusia (“Komnas HAM”), menjelaskan bahwa penegak hukum tidak bisa menjerat debitur yang tidak mampu membayar pinjaman. Sebab, permasalahan ini termasuk kategori perjanjian utang-piutang dalam ranah perdata, sehingga bukan ranah pidana. 

Dalam Pasal 19 ayat (2) UU HAM mengatur ketentuan sebagai berikut:

Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.”

Apabila pihak pembeli memiliki iktikad baik untuk mengembalikan barang tersebut, maka tindakan pihak pembeli ini tidak termasuk ke dalam tindak pidana penggelapan maupun penipuan.

Namun, tindakan tidak membayar cicilan yang menjadi kewajiban pihak pembeli sebagaimana tertuang dalam perjanjian tersebut termasuk ke dalam kategori wanprestasi (cidera janji), sehingga Pihak Z selaku pemberi pinjaman berpotensi menggugat X sebagai pihak pembeli secara perdata ke pengadilan.

Sebaiknya, pihak pembeli membaca ulang isi perjanjian dengan pihak Z, khususnya di bagian “Pemenuhan Prestasi” serta “Mekanisme Penyelesaian Sengketa”. Namun, sebelum menempuh jalur pengadilan, pihak pembeli sekaligus penerima dana (X) akan diberi peringatan atau tindakan-tindakan yang dianggap perlu oleh pihak pemberi pinjaman (Z) untuk meminta X membayar cicilan.

Langkah Hukum Tidak Sanggup Melunasi Cicilan

Bagaimana jika pihak pembeli tidak sanggup melunasi cicilan? Apabila pihak pembeli tidak sanggup untuk melunasi cicilan sebagaimana tertera dalam perjanjian, sebaiknya pihak pembeli untuk melihat bagian “Klausul Pembatalan Perjanjian”. Apabila diatur dalam perjanjian, maka pihak pembeli dapat mengikuti ketentuan pembatalan sebagaimana yang telah diatur.

Namun, jika ternyata hal tersebut tidak diatur, ada baiknya pihak pembeli berupaya untuk meyakinkan pihak kreditur online untuk menempuh upaya-upaya secara administrasi terlebih dahulu untuk menyelesaikan kredit yang bermasalah.

Dikutip dari Langkah-Langkah Penyelesaian Kredit Macet, Muhamad Djumhana dalam bukunya Hukum Perbankan di Indonesia menjelaskan bahwa penyelesaian secara administrasi perkreditan dapat dilakukan sebagai berikut:

  1. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan syarat kredit yang menyangkut jadwal pembayaran dan/atau jangka waktu termasuk masa tenggang, baik meliputi perubahan besarnya angsuran maupun tidak;
  2. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh syarat-syarat kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu, dan/atau persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimum saldo kredit dan konversi seluruh atau sebagian dari pinjaman menjadi penyertaan bank; dan
  3. Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan syarat-syarat kredit berupa penambahan dana bank; dan/atau konversi seluruh atau sebagian tunggakan bunga menjadi pokok kredit baru, dan/atau konversi seluruh atau sebagian dari kredit menjadi penyertaan dalam perusahaan.

Selain itu, pihak pembeli (X) juga dapat melakukan negosiasi dengan pihak Z untuk melindungi hak-hak pihak pembeli jika terdapat iktikad buruk dari pihak manapun dalam rangka pelunasan kembali kredit dari pihak pembeli.

Perqara Telah Melayani Lebih dari 5.500 Konsultasi Hukum

Untuk permasalahan hukum terkait Perdata, Perqara telah menangani lebih dari 1.500 kasus. Ada ratusan mitra Advokat Perqara dengan keahlian khusus di masing-masing bidangnya seperti ketenagakerjaan, perkawinan dan perceraian, pertanahan, dan masih banyak lagi. Sehingga, klien dapat konsultasi tentang masalah hukum lainnya sesuai dengan permasalahan yang sedang dialami.

Konsultasi Hukum Gratis di Perqara

Apabila Sobat Perqara memiliki permasalahan hukum terkait tak lunasi kredit dipidana, Sobat dapat mengobrol langsung dengan advokat profesional secara gratis hanya di Perqara. Dapatkan konsultasi hukum gratis untuk mendapatkan solusi hukum tepat kapan pun dan di mana pun.

Baca juga: Membersihkan Nama BI Checking, Apa Bisa?

Dasar Hukum

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
  2. Undang-Undang Nomor Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
  3. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 10/POJK.05/2022 Tahun 2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi.

Referensi

  1. Muhammad Djumhana. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2012.
  2. Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia. “POJK Nomor 10/POJK.05/2022 Tahun 2022”. https://www.ojk.go.id/id/regulasi/Documents/Pages/Layanan-Pendanaan-Bersama-Berbasis-Teknologi-Informasi/POJK%2010%20-%2005%20-%202022.pdf. Diakses pada 27 November 2023.