Pernahkah Sobat mendengar kasus di mana seseorang bersumpah di atas kitab suci atau di hadapan pengadilan, namun kemudian terungkap bahwa sumpah tersebut ternyata palsu? Sumpah palsu merupakan tindakan yang tidak hanya merugikan pihak lain, tetapi juga merusak kredibilitas sistem peradilan.
Dalam sistem peradilan, sumpah memiliki peran penting sebagai bentuk jaminan atas kebenaran keterangan yang disampaikan. Lantas, apa sebenarnya sumpah palsu itu dan apa saja konsekuensi hukum bagi pelaku? Simak pembahasannya dalam artikel ini.
Baca juga: Sanksi Hukum Bagi Pelaku Janji Palsu
Definisi Sumpah Palsu
Sumpah palsu adalah tindakan memberikan keterangan palsu di bawah sumpah yang diucapkan di hadapan pejabat yang berwenang. Keterangan palsu ini dapat berupa pernyataan lisan maupun tulisan yang sengaja dibuat tidak sesuai dengan kenyataan.
Baca juga: Sanksi Hukum Bagi Seseorang yang Menjadi Saksi Palsu
Peraturan Hukum Terkait Sumpah Palsu Di Indonesia
Di Indonesia, tindakan sumpah palsu diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu Pasal 242 KUHP yang secara tegas mengatur tentang sanksi bagi pelaku sumpah palsu. Pasal 242 ayat (1) KUHP merumuskan kejahatan sumpah palsu dan sanksinya. Sedangkan, dalam yat (2) merumuskan terkait alasan pemberatan pidana sumpah palsu, dan ayat (3) merumuskan tentang perluasan pengertian dari sumpah palsu sebagaimana dirumuskan dalam ayat (1).
Baca juga: Simak Berbagai Bentuk Pemalsuan Dokumen Beserta Hukumannya!
Unsur-Unsur Sumpah Palsu
Seseorang dapat dijerat dengan tindak pidana sumpah palsu, apabila terpenuhi beberapa unsur dalam Pasal 242 KUHP, sebagai berikut:
- Adanya kewajiban untuk memberikan keterangan di bawah sumpah: Keterangan tersebut harus diberikan dalam suatu proses peradilan atau dalam hal-hal yang ditentukan oleh undang-undang.
- Keterangan yang diberikan adalah palsu: Keterangan yang disampaikan tidak sesuai dengan kenyataan dan diketahui oleh pelaku bahwa keterangan tersebut tidak benar.
- Keterangan diberikan dengan sengaja: Pelaku secara sadar dan sengaja memberikan keterangan palsu untuk mencapai tujuan tertentu.
Baca juga: Hati-Hati! Ini Jerat Hukum Pemalsuan Identitas
Sanksi Hukum Bagi Pelaku Sumpah Palsu
Sanksi hukum bagi pelaku sumpah palsu dapat merujuk pada Pasal 242 ayat (1) KUHP, bahwa orang yang dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara maksimal 7 (tujuh) tahun.
Lalu, dalam Pasal 242 ayat (2) KUHP, jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
Baca juga: Pemalsuan Dokumen Cerai: Bahaya dan Konsekuensi yang Harus Diketahui
Dampak Sumpah Palsu Dalam Proses Hukum Di Indonesia
Sumpah palsu dapat menimbulkan dampak yang sangat serius dalam proses hukum, antara lain:
- Menghalangi terungkapnya kebenaran: Keterangan palsu dapat mengaburkan fakta sebenarnya dan menghambat upaya penegakan hukum.
- Merusak kredibilitas saksi: Saksi yang terbukti memberikan keterangan palsu akan kehilangan kepercayaan dan kredibilitasnya.
- Merugikan pihak lain: Pihak yang dirugikan oleh keterangan palsu dapat mengalami kerugian materiil maupun immateriil.
Baca juga: Ketahui 4 Ciri-Ciri Surat Nikah Siri Palsu
Upaya Hukum Bagi Korban Sumpah Palsu
Apabila keterangan saksi di bawah sumpah dalam suatu persidangan, diduga/disangka sebagai suatu keterangan yang palsu (tidak benar), maka hakim ketua secara ex officio (karena jabatannya) memperingatkan saksi tersebut untuk memberikan keterangan yang benar dan juga mengingatkan akan adanya sanksi pidana apabila ia tetap memberikan keterangan palsu.
Selanjutnya, apabila saksi tetap mempertahankan keterangan palsunya, maka hakim ketua secara ex officio (karena jabatannya), atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa (maupun penasihat hukumnya) dapat memberi perintah agar saksi tersebut ditahan. Kemudian, panitera pengadilan akan membuat berita acara pemeriksaan sidang yang ditandatangani oleh hakim ketua dan panitera, dan selanjutnya diserahkan kepada penuntut umum untuk dituntut dengan dakwaan sumpah palsu.
Hakim berhak menilai keterangan saksi sebagai salah satu alat bukti. Secara teknis, saat seorang hakim memiliki keyakinan bahwa saksi berbohong, maka hakim ketua akan menangguhkan sidang untuk bermusyawarah dengan para hakim anggota. Jika musyawarah mencapai kesepakatan, maka majelis hakim akan mengeluarkan penetapan.
Dengan kata lain, tidak diperlukan adanya suatu laporan pidana terlebih dahulu sebelum majelis hakim mengeluarkan penetapan untuk menahan saksi yang diduga bersumpah palsu. Tentunya dengan ketentuan, hakim sebelumnya harus memperingatkan saksi untuk memberikan keterangan yang benar dan mengingatkan adanya saksi pidana.
Sumpah palsu merupakan tindakan yang sangat merugikan dan tidak dapat ditoleransi. Oleh karena itu, penting bagi setiap individu untuk selalu menjunjung tinggi nilai kebenaran dan kejujuran dalam memberikan keterangan. Bagi korban sumpah palsu, jangan ragu untuk mencari bantuan hukum guna mendapatkan keadilan.
Baca juga: Hukum Menggunakan Ijazah Palsu
Perqara Telah Melayani Lebih dari 11.500 Konsultasi Hukum
Untuk permasalahan hukum terkait Pidana, Perqara telah menangani lebih dari 4.500 kasus. Ada ratusan mitra Advokat Perqara dengan keahlian khusus di masing-masing bidangnya seperti ketenagakerjaan, perkawinan dan perceraian, pertanahan, dan masih banyak lagi. Sehingga, klien dapat konsultasi tentang masalah hukum lainnya sesuai dengan permasalahan yang sedang dialami.
Konsultasi Hukum Gratis di Perqara
Apabila Sobat Perqara memiliki permasalahan hukum terkait permasalahan ini, Sobat dapat mengobrol langsung dengan advokat profesional secara gratis hanya di Perqara. Download aplikasi Perqara sekarang dan dapatkan konsultasi hukum gratis untuk mendapatkan solusi hukum tepat kapan pun dan di mana pun.
Baca juga: Hukum Menggunakan CV Palsu dan Cara Mengatasinya
(Artikel ini telah disunting oleh Tim Redaksi Perqara)
Dasar Hukum
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
- Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.