Sobat berencana membeli rumah atau tanah? Sebelum menandatangani surat apapun dalam proses pembelian rumah atau tanah, ada baiknya jika Sobat terlebih dahulu memahami berbagai jenis sertifikat kepemilikan ya!

Salah satu jenis sertifikat yang paling sering kita dengar adalah Sertifikat Hak Milik (SHM). Lantas, apa perbedaan SHM dengan sertifikat lainnya? Mengapa perbedaan ini penting? Artikel ini akan membahas terkait perbedaan SHM dengan sertifikat lainnya. Yuk pahami bersama dalam ulasan berikut. 

Baca juga: Informasi Lengkap Tentang Akta Jual Beli (AJB)

Apa Itu SHM?

Sertifikat Hak Milik (SHM) adalah bukti resmi kepemilikan atas tanah dan bangunan secara sah yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). SHM merupakan bentuk hak milik tertinggi atas tanah di Indonesia dan memberikan jaminan kepastian hukum bagi pemiliknya.

SHM diatur dalam beberapa aturan hukum sebagai berikut:

  1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UU No. 5 Tahun 1960”).
    UU ini berisi tentang ketentuan-ketentuan mengenai hak atas tanah dan pengaturan agraria secara umum.
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP No. 24 Tahun 1997”).
    PP ini mengatur mengenai cara dan prosedur pendaftaran tanah serta penetapan status hak atas tanah yang terdaftar.

Baca juga: Urus Sertifikat Tanah Bisa Gratis, Apa Saja Syaratnya?

Fungsi SHM 

Berikut beberapa fungsi dari SHM atau Sertifikat Hak Milik:

  1. Bukti Kepemilikan: SHM berfungsi sebagai bukti sah bahwa seseorang memiliki hak penuh atas tanah dan bangunan yang tercantum di dalamnya.
  2. Jaminan Hukum: SHM memberikan perlindungan hukum yang kuat bagi pemiliknya terhadap klaim pihak lain atas tanah tersebut.
  3. Agunan: SHM dapat dijadikan agunan untuk mendapatkan pinjaman dari bank atau lembaga keuangan lainnya.
  4. Dasar Transaksi: SHM menjadi dasar dalam berbagai transaksi properti, seperti jual beli, gadai, atau hibah.

Baca juga: Simak Cara Cek Nomor Sertifikat Tanah Online dan Offline

Apakah SHM Kuat

SHM merupakan bentuk hak milik yang paling kuat dan diakui secara hukum di Indonesia. Dengan memiliki SHM, pemilik memiliki hak penuh untuk menggunakan, menguasai, dan menikmati tanah dan bangunan tersebut. SHM tidak mempunyai batas waktu tertentu dan bisa diwariskan secara turun-temurun. Selain itu, karena status SHM sebagai kepemilikan secara penuh, selain dapat diwariskan, SHM juga dapat dihibahkan, diperjualbelikan, dan juga dapat dijadikan agunan untuk kredit.

Baca juga: Cara Cek Sertifikat Tanah Ganda dan Dampak Hukumnya

Biaya Mengurus SHM 

Umumnya, proses pembuatan SHM terdiri dari dua jenis, yaitu untuk tanah yang luasnya dibawah 600 meter persegi dan luasnya lebih dari itu. Jika ingin mengurus SHM tanah yang luasnya dibawah 600 meter persegi, biaya pendaftaran adalah RP. 50.000.

Perlu diketahui bahwa terdapat BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan) yang mana besar biayanya tergantung pada NJOP (Nilai Jual Objek Tanah) tanah dan NJOPTKP (Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak). Biayanya biasanya lumayan besar, apalagi jika nilai NJOP tanah juga tinggi. Dalam kasus pengajuan SHM pada tanah yang luasnya lebih dari 600 meter persegi, ada tambahan biaya pengukuran dan konstatering report.

Biaya pengukuran dan konstatering report yang dokumen hasilnya nanti akan diserahkan ke BPN (Badan Pertanahan Nasional) tergantung pada seberapa luas tanah tersebut. Nilainya tidak sebesar BPHTB. Kemudian, ada biaya yang tidak kalah penting, yaitu jasa Notaris PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah). Jika tidak terlalu paham prosedur mengajukan SHM, bisa menggunakan jasa tersebut. Harga jasanya pun beragam.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa untuk pengajuan SHM tanah dengan luas dibawah 600 meter persegi, biaya yang harus disiapkan sekitar Rp.6.000.000 sampai Rp.7.000.000. Sementara, jika tanah memiliki luas lebih dari 600 meter persegi, biayanya sekitar Rp. 6.500.000 sampai Rp. 7.500.000. Namun, harga tersebut masih bisa berubah sewaktu-waktu sesuai kondisi.

Baca juga: Lakukan Hal Ini Jika Terjadi Perbedaan Ukuran Tanah dan Sertifikat Tanah

Berapa Lama Proses Mengurus SHM 

Lama proses mengurus SHM juga bervariasi tergantung pada kompleksitas kasus dan efisiensi pelayanan Kantor Pertanahan. Namun, secara umum, proses ini dapat memakan waktu beberapa minggu hingga beberapa bulan.

Baca juga: Menghadapi AJB Hilang: Panduan dan Langkah Hukumnya

Perbedaan SHM dengan Sertifikat Lainnya

Seringkali, orang menganggap bahwa semua sertifikat tanah adalah SHM. Padahal, SHM adalah salah satu jenis sertifikat tanah dari sekian banyak sertifikat tanah lainnya. Berikut ini merupakan perbedaan SHM dengan sertifikat lainnya:

  1. SHM

SHM merupakan sertifikat atas kepemilikan penuh hak suatu lahan dan/atau tanah yang dimiliki oleh pemegang sertifikat tersebut. Sertifikat tersebut membuat pemilik tanah akan terbebas dari masalah legalitas atau sengketa. Hal itu karena pihak lain tidak bisa campur tangan atas kepemilikan tanah atau lahan tersebut.

  1. Sertifikat HGB (Hak Guna Bangunan)

Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Adapun, jangka panjang waktu tersebut dapat diperpanjang paling lama sampai 20 tahun.

Di sisi lain, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, HGB di atas tanah hak milik diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperbarui dengan akta pemberian HGB di atas hak milik. Setelah jangka waktu pemberian, perpanjangan, dan pembaharuan selesai, tanah HGB kembali menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah hak pengelolaan.

Sebagai informasi, HGB ini dapat beralih dan dialihkan kepada orang lain. Perlu diketahui, yang dapat memiliki HGB yaitu warga negara Indonesia (WNI) serta badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berada di Indonesia.

  1. Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU)

HGU merupakan hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu. Adapun usahanya untuk pertanian, perikanan, atau peternakan.

HGU ini diberikan atas tanah sedikitnya 5 hektar, dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik sesuai dengan perkembangan zaman.

Adapun HGU diberikan untuk paling lama 25 tahun dan untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan hak guna-usaha untuk paling lama 35 tahun. Adapun HGU dapat diperpanjang hingga 25 tahun.

HGU hanya dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia (WNI) dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Apabila pemilik HGU tidak memenuhi syarat, maka HGU harus melepaskan atau mengalihkan hak kepada pihak yang memenuhi syarat dalam jangka waktu 1 tahun.

  1. Hak Pakai

Hak pakai merupakan hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan Undang-undang ini.

Adapun Hak Pakai dapat diberikan selama jangka waktu tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. Pemberiannya dapat dilakukan cuma-cuma, pembayaran, atau pemberian jasa apapun.

Meski demikian, yang bisa mempunyai hak pakai yaitu WNI, orang asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, serta badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

  1. Surat Girik

Girik biasanya merujuk pada tanah yang belum bersertifikat. Tanah Girik adalah tanah yang dikuasai oleh salah satu pihak yang memiliki Girik atau bukti pembayaran pajak atas tanah yang bersangkutan kepada Otoritas kolonial. Namun, status tanah girik bukan merupakan bukti kepemilikan tanah atau hak atas tanah, melainkan hanya bukti pembayaran pajak. Karena belum diakui sah secara utuh sebagai bentuk kepemilikan, maka dapat ditingkatkan menjadi SHM. Hal itu supaya tanah yang dimiliki berstatus hak milik dan tersertifikasi sah secara hukum.

  1. Petok D

Petok D atau Letter D merupakan salah satu syarat untuk pengkonversian tanah milik adat menjadi hak milik. Sebelum adanya UUPA, Petok D merupakan surat tanah untuk membuktikan kepemilikan tanah yang diakui kekuatan hukumnya. Namun, setelah UUPA diterapkan, status Petok D hanyalah menjadi alat bukti pembayaran pajak tanah.

  1. Letter C

Letter C atau dokumen C merupakan buku registrasi pertanahan atas kepemilikan tanah di suatu wilayah secara turun temurun. Biasanya, buku Register pertanahan Letter C disimpan oleh Kepala Desa atau Kepala Lurah setempat. Sementara itu, warga memegang kutipan Letter C tanah, dan bukti-bukti lainnya. Meskipun dapat menjadi bukti yang sah atas kepemilikan tanah, namun Letter C tidak memiliki hukum yang cukup kuat. Maka dari itu, sebaiknya Letter C diubah menjadi SHM.

Baca juga: Surat Keterangan Tanah Tidak Sengketa

Perqara Telah Melayani Lebih dari  11.500 Konsultasi Hukum

Untuk permasalahan hukum terkait Pertanahan, Perqara telah menangani lebih dari 500 kasus. Ada ratusan mitra Advokat Perqara dengan keahlian khusus di masing-masing bidangnya seperti ketenagakerjaan, perkawinan dan perceraian, pertanahan, dan masih banyak lagi. Sehingga, klien dapat konsultasi tentang masalah hukum lainnya sesuai dengan permasalahan yang sedang dialami.

Konsultasi Hukum Gratis di Perqara

Apabila Sobat Perqara memiliki permasalahan hukum terkait permasalahan ini, Sobat dapat mengobrol langsung dengan advokat profesional secara gratis hanya di Perqara. Download aplikasi Perqara sekarang dan dapatkan konsultasi hukum gratis untuk mendapatkan solusi hukum tepat kapan pun dan di mana pun.

Baca juga: Tanah Tidak Bersertifikat? Cepat Buat Surat Pernyataan Fisik Bidang Tanah!

(Artikel ini telah disunting oleh Tim Redaksi Perqara)

Dasar Hukum

  1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.