Fasilitas internet memberikan kemudahan bagi siapa saja untuk berinteraksi tanpa perlu bertatap secara langsung. Di samping manfaat, penggunaan internet kerap disalahgunakan oleh oknum-oknum yang melakukan tindakan ilegal. Salah satu contohnya adalah penyediaan Video Call Sex (“VCS”).
VCS sebelumnya dilakukan oleh pasangan suami istri yang sedang terpisah jarak. Namun, seiring berjalannya waktu, VCS disalahgunakan sebagai lahan untuk menghasilkan uang. Ada konsumen sebagai penerima, sehingga timbul “jual-beli jasa” yang ilegal. Faktanya, tidak hanya penjual, konsumen video call sex dapat dipidana juga. Lantas, apa konsekuensi hukum dari kegiatan VCS yang dilakukan secara komersil?
Baca juga: Simak Cara Menghadapi Pemerasan VCS!
Apa Itu VCS?
VCS atau yang dikenal dengan Video Call Sex adalah istilah yang diciptakan oleh kalangan masyarakat sebagai tindakan negatif dengan memberikan jasa “penghibur” yang menggunakan media sosial sebagai media untuk melakukan aktivitas seksual. Tindakan ini dilakukan tanpa adanya kontak fisik secara nyata, sehingga hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis kedua belah pihak. VCS termasuk dalam jenis seks online bersama dengan 2 (dua) jenis lainnya yakni PS (Phone Sex) dan CS (Chat Sex).
Praktik pengaplikasian VCS di kalangan masyarakat adalah melalui penawaran dari penyedia jasa kepada konsumen melalui media sosial atau bisa saja si konsumen mencari informasi sendiri mengenai ketersediaan penyedia jasa VCS di internet. Setelah itu, ada transaksi penggunaan jasa dengan harga yang telah ditentukan oleh penyedia jasa. Di sini ada kesepakatan antara kedua belah pihak.
Baca juga: Pasal Mengganggu Rumah Tangga Orang Lain
UU Pornografi Terhadap Konsumen VCS
Merujuk pada peraturan perundang-undangan Indonesia yakni Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (“UU Pornografi”), sejatiny telah melarang untuk setiap orang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi.
Hal ini tertera jelas dalam Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi yang juga menegaskan pelarangan konten pornografi yang secara eksplisit memuat persenggamaan, kekerasan seksual, masturbasi atau onani, ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, alat kelamin, atau pornografi anak.
Tindakan VCS meliputi penyediaan konten seksual yang memuat gambar, suara, gambar bergerak, gerak tubuh, melalui berbagai bentuk media komunikasi. Hal ini juga termasuk ke dalam unsur-unsur yang diatur dalam pengertian Ponografi di UU Pornografi.
Berdasarkan pemaparan dalam UU Pornografi tersebut, konsumen VCS sebenarnya menyalahi aturan karena muatan pornografi. Namun seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa VCS terjadi atas persetujuan kedua belah pihak untuk kepentingan masing-masing. Sehingga VCS tidak dapat dikategorikan ke dalam “membuat” konten pornografi.
Selain itu, konsumen VCS juga tidak bisa dikenakan dengan unsur “memperjualbelikan.” Konteks dalam arti kata memperjualbelikan adalah ketika adanya penyebarluasan. Sementara VCS tidak untuk disebarluaskan, melainkan untuk kepentingan sendiri. Dengan begitu, konsumen VCS tidak dapat dikenakan dengan pasal UU Pornografi.
Namun bagi penyedia jasa VCS, UU Pornografi mengatur bahwasanya ada larangan untuk menyediakan jasa pornografi yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (2). Si penyedia dapat dikenakan pidana paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun. Ada juga pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Baca juga: Jangan Panik! Simak Cara Melaporkan Pemerasan dan Pengancaman
UU ITE Terhadap Konsumen VCS
Tindakan konsumen dan penyedia jasa VCS melalui media elektronik bisa ditinjau melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016 tentang Perubahan Atas UU ITE”).
Pengaturan terhadap muatan yang melanggar kesusilaan dalam media elektronik dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE menyatakan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Berdasarkan pasal tersebut kita bisa berfokus pada kata “mentransmisikan.” Dalam penjelasan Pasal 27 ayat (1) UU 19/2016 tentang Perubahan Atas UU ITE, kata mentransmisikan berarti mengirimkan Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang ditujukan kepada satu pihak lain melalui Sistem Elektronik. Maka dalam tindakan VCS, proses “mentransmisikan” konten asusila bukan hanya dari penyedia jasa VCS saja, tetapi juga konsumen sebagai penerima.
Dengan demikian konsumen VCS berpotensi atau sepatutnya dikenakan pasal ini dengan sanksi hukum yakni pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Hal ini berdasarkan pada Pasal 45 ayat (1) UU 19/2016 tentang Perubahan Atas UU ITE.
Namun, jika penyedia jasa dan konsumen VCS sepakat dengan sengaja untuk menyebarluaskan konten dari VCS, tentu saja perbuatan tersebut secara jelas melanggar Pasal 27 ayat (1) UU ITE. Setiap unsur-unsurnya telah dilanggar, sehingga dipastikan mendapatkan sanksi yang tertera pada Pasal 45 ayat (1) UU 19/2016 tentang Perubahan Atas UU ITE.
Baca juga: Hati-Hati! Ini Ancaman Hukum Pelaku Hoax!
Dampak Buruk VCS
Melakukan VCS dapat menimbulkan hal buruk bagi konsumen, terlepas digunakan untuk kepentingan sendiri. Sering terjadi bahwa beberapa oknum penyedia memanfaatkan VCS untuk menipu konsumen. Bentuk penipuannya adalah tidak memberikan jasa VCS padahal keduanya sudah sepakat.
Tentu saja penipuan ini merugikan bagi konsumen VCS, terlebih lagi permasalahan ini tidak dapat diadukan ke pihak yang berwenang mengingat tindakan VCS sendiri adalah ilegal dan memuat perbuatan asusila.
Jika konsumen VCS tetap bersikeras ingin melaporkan permasalahan ini, ia sendiri dapat dijerat hukum dengan tindak pidana percobaan berdasarkan Pasal 53 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi “mencoba melakukan kejahatan di pidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.”
Konsumen VCS dikenakan pasal tersebut karena memenuhi unsur adanya percobaan untuk melakukan tindak kejahatan pidana yakni bertransaksi dengan penyedia VCS. Tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan karena kehendaknya sendiri berarti tindakan VCS tidak dilakukan karena penipuan oleh penyedia VCS, bukan karena keinginan dari konsumen VCS.
Dengan melanggar pasal tersebut, si konsumen akan dikenakan sanksi maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga.
Selain itu, tindak penipuan lainnya adalah si penyedia merekam video secara sepihak dan menyebarluaskannya untuk memeras konsumen VCS. Perbuatan ini sering terjadi di masyarakat dengan tujuan memeras uang korban. Si pelaku mengancam menyebarluaskan video si korban ke media elektronik.
Hal tersebut dapat dilaporkan kepada pihak yang berwenang karena menyebarkan video melanggar Pasal 27 ayat (4) UU ITE jo. Pasal 45 ayat (4) UU 19/2016 tentang Perubahan Atas UU ITE yang dapat menjerat penyedia jasa VCS. Meskipun begitu, bilamana penyebaran video telah terjadi, jejak digital akan sulit dihilangkan, sehingga akan memberikan kerugian secara psikologis bagi korban yakni konsumen VCS.
Baca juga: Cara Melaporkan Penyebaran HOAX
Perqara Telah Melayani Lebih dari 11.500 Konsultasi Hukum
Untuk permasalahan hukum terkait Pidana, Perqara telah menangani lebih dari 4.500 kasus. Ada ratusan mitra Advokat Perqara dengan keahlian khusus di masing-masing bidangnya seperti ketenagakerjaan, perkawinan dan perceraian, pertanahan, dan masih banyak lagi. Sehingga, klien dapat konsultasi tentang masalah hukum lainnya sesuai dengan permasalahan yang sedang dialami.
Konsultasi Hukum Gratis di Perqara
Apabila Sobat Perqara memiliki pertanyaan atau permasalahan hukum terkait hal ini, Sobat dapat mengobrol langsung dengan advokat profesional secara gratis hanya di Perqara. Dapatkan konsultasi hukum gratis untuk mendapatkan solusi hukum tepat kapan pun dan di mana pun.
Baca Juga: Beli Konten Pornografi, Apakah Bisa Terjerat Hukum?
(Artikel ini telah disunting oleh Tim Redaksi Perqara)
Dasar Hukum
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
- Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
- Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Referensi
- Oktarisa, Rilla Dwi dkk. “Analisis Yuridis Tindak Pidana Kejahatan Panggilan Video Sks (Video Call Sex) Dalam Perspektif Hukum Pidana di Indonesia”. DINAMIKA 28, No. 3 (Januari 2022): 3522.
- Hildawati. “Seks Onlen, Media Sosial, dan Gender”. Jurnal Ilmiyah Ilmu-Ilmu Sosial 1 No.1 (2018):1.