Berbeda dari perceraian pada umumnya, perceraian dalam Islam memiliki serangkaian aturan dan istilah yang harus dipatuhi. Istilah yang terkenal seputar hukum perceraian Islam salah satunya adalah masa Iddah. Umat Muslim wajib menjalankan ajaran ini dalam menjalankan rumah tangganya. Selain kewajiban dari agama, aturan ini juga tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan karena hukum Indonesia yang menerapkan aturan agama Islam. Sehingga, penting bagi umat Muslim untuk memahaminya. Apa itu masa iddah? Simak artikel ini untuk memahami pengertian hingga sanksi bagi seseorang yang melanggar masa Iddah.

Baca juga: Syarat Nikah Siri dan Tata Cara Lengkapnya

Pengertian dan Pengaturan Masa Iddah

Masa iddah dalam hukum Indonesia disebut dengan jangka waktu tunggu bagi seorang janda yang telah bercerai dengan suaminya. Adapun tujuan dari masa iddah ini adalah untuk membersihkan seorang janda dari bekas-bekas pernikahannya. Maksud dari bekas-bekas pernikahan adalah kemungkinan hamil akibat hubungan suami-istri selama perkawinan tersebut berlangsung, atau kemungkinan dari pasangan tersebut untuk rujuk kembali. 

Dalam hukum Islam, aturan mengenai masa iddah dapat ditemukan dalam Pasal 153 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam (“KHI”), yaitu:

  1. Apabila pernikahan putus karena perceraian, masa iddah bagi janda yang masih haid ditetapkan tiga kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari dan bagi janda yang tidak haid ditetapkan 90 hari;
  2. Apabila pernikahan putus karena cerai mati atau cerai hidup, sementara janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan; 
  3. Sementara masa iddah bagi istri yang pernah haid dan sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui, masa iddah adalah tiga kali waktu haid;
  4. Apabila istri ditalak satu atau talak dua oleh suami, lalu suaminya meninggal, masa iddah menjadi empat bulan sepuluh hari setelah suaminya meninggal dunia.

Masa iddah tidak dapat dilihat secara satu kemungkinan saja. Masa iddah juga harus dilihat berdasarkan apakah perceraian tersebut merupakan cerai hidup atau cerai mati. Apabila cerai mati dan dalam perkawinan tersebut mereka belum pernah berhubungan suami-istri, janda tersebut tidak perlu menjalani masa iddah atau berhak untuk langsung menikah lagi. 

Dalam hukum perkawinan di Indonesia, masa iddah diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (“UU Perkawinan”), di mana bagi seorang yang putus perkawinannya akan berlaku jangka waktu tunggu. Jangka waktu tunggu yang dimaksud diatur lebih lanjut dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 (“PP 9/1975”) sebagai berikut:

  1. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari; 
  2. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan, 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 hari; 
  3. Apabila perkawinan putus dan janda dalam keadaan hamil, waktu tunggunya adalah sampai melahirkan;
  4. Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian dan pada masa perkawinannya belum pernah terjadi hubungan kelamin; 
  5. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami. 

Waktu Masa Iddah Berdasarkan Pemutusan Perkawinan

Lamanya masa Iddah bergantung pada alasan cerai seorang wanita pada pernikahan sebelumnya. Adapun rincian waktu dan penyebabnya dapat diuraikan sebagai berikut: 

1. Masa Iddah Wanita yang Menggugat Cerai Suaminya

Istri yang menggugat cerai suami dinamakan cerai khulu’. Ini adalah bentuk perceraian yang tidak dapat dirujuk kembali. Masa iddah dari cerai khulu’ berdasarkan Pasal 155 KHI adalah bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sukurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari. Bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.

2. Masa Iddah Wanita yang Dicerai Suami

Berdasarkan Pasal 153 ayat (2) huruf b, masa tunggu dari istri yang diceraikan suaminya ialah bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sukurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari. Bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.

3. Masa Iddah Wanita yang Ditinggal Mati Suaminya

Apabila suami meninggal dan pergi meninggalkan istri, istri tersebut harus menempuh masa iddah selama 4 bulan dan 10 hari. Hal ini termaktub pada Pasal 154 KHI.

Baca juga: Pengertian dan Perbedaan Macam-Macam Talak

Hak dan Kewajiban Istri Selama Masa Iddah

Adapun hak janda selama masa iddah adalah sebagai berikut:

  1. Perempuan yang sedang beriddah dari talak raj’i (talak yang memperbolehkan untuk rujuk lagi saat sedang dalam masa iddah) berhak mendapat tempat tinggal yang layak, nafkah, pakaian, dan biaya hidup lainnya dari mantan suami, kecuali janda tersebut nusyuz atau durhaka sebelum diceraikan atau di tengah-tengah masa iddahnya;
  2. Perempuan yang sedang beriddah dari talak ba’in (mantan suami tidak boleh rujuk kembali dengan mantan istri kecuali dengan melakukan akad nikah ulang atau mantan istri pernah menikah dengan laki-laki lain dan diceraikan), baik karena khulu’, talak tiga, atau karena fasakh, dan tidak dalam keadaan hamil, berhak mendapat tempat tinggal saja tanpa mendapat nafkah, kecuali jika ia durhaka sebelum ditalaknya atau di tengah masa iddahnya;
  3. Perempuan yang sedang beriddah dari talak ba’in dan keadaan hamil juga berhak mendapat tempat tinggal dan nafkah saja. Ia tidak berhak atas biaya lainnya;

Kewajiban janda selama masa iddah adalah sebagai berikut:

  1. Perempuan yang ditinggal wafat suaminya berkewajiban untuk ihdad, yakni tidak bersolek dan tidak berdandan seperti mengenakan pakaian berwarna mencolok untuk tujuan berdandan, serta tidak boleh menggunakan wewangian badan atau pakaian; 
  2. Perempuan yang ditinggal wafat suami dan juga perempuan yang telah putus dari perkawinan, baik karena talak bain sughra, talak bain kubra, atau karena fasakh, berkewajiban untuk selalu berada di rumah, kecuali ada keperluan di siang hari seperti untuk bekerja dan berbelanja kebutuhan, dan malam hari bilamana terdapat keharusan untuk keluar, asalkan tetap pulang dan bermalam di rumah tersebut;
  3. Perempuan yang tengah menjalani iddah dari talak raj’i tidak diperbolehkan menikah dengan laki-laki lain atau menerima lamaran baru walaupun secara tidak langsung; 
  4. Perempuan yang sedang menjalani iddah karena ditinggal wafat atau ditalak ba’in tidak boleh menerima lamaran secara terang-terangan, tetapi boleh apabila sindiran atau penawaran. 

Sanksi Jika Melanggar Masa Iddah

Pelanggaran masa iddah salah satunya adalah melakukan perkawinan di dalam masa tersebut. Pelanggaran ini punya sanksi yang sesuai dengan madzhab yang berkembang di masyarakat.

  1. Apabila wanita menikah dengan laki-laki lain saat sedang menjalani masa iddah tapi belum melakukan hubungan suami-istri, keduanya akan dipisah sampai si wanita menyelesaikan masa iddah dari suami yang pertama. Jika suami yang kedua masih berkehendak, boleh melamar dan menikahi wanita tersebut.
  1. Apabila wanita menikah dengan laki-laki lain saat sedang menjalani masa iddah dan telah melakukan hubungan suami-istri, keduanya akan dipisah dan si wanita harus menjalankan masa iddah dari suami pertama, setelah itu masa iddah dari suami kedua. Si wanita tidak boleh menikah dengan laki-laki kedua untuk selamanya. 

Namun masih ada beberapa pendapat dari para ulama perihal boleh atau tidak menikah dengan laki-laki kedua. Mazhab Maliki, qaul qadim Imam Syafi’i dan Umar bin Khattab berpendapat bahwa laki-laki itu tidak boleh menikahi wanita tersebut selamanya. Mazhab Hanafi, Syafi’i dan Hambali menyatakan bahwa si laki-laki boleh menikahi si wanita setelah 2 iddah selesai dilaksanakan. 

Nah, itu dia pengertian dan aturan masa iddah. Bagi Sobat Perqara yang sedang menempuh masa iddah maupun mengalami kebingungan terkait perceraian dalam agama Islam, yuk konsultasi dengan advokat ahli perceraian di Perqara!

Perqara Telah Melayani Lebih dari 5.500 Konsultasi Hukum

Untuk permasalahan hukum terkait Perkawinan dan Perceraian, Perqara telah menangani lebih dari 850 kasus. Ada ratusan mitra Advokat Perqara dengan keahlian khusus di masing-masing bidangnya seperti ketenagakerjaan, perkawinan dan perceraian, pertanahan, dan masih banyak lagi. Sehingga, klien dapat konsultasi tentang masalah hukum lainnya sesuai dengan permasalahan yang sedang dialami.

Konsultasi Hukum Gratis di Perqara

Apabila Sobat Perqara memiliki permasalahan hukum terkait permasalahan ini, Sobat dapat mengobrol langsung dengan advokat profesional secara gratis hanya di Perqara. Dapatkan konsultasi hukum gratis untuk mendapatkan solusi hukum tepat kapan pun dan di mana pun.

(Artikel ini telah disunting oleh Tim Redaksi Perqara)

Baca juga: Apa Aturan Menikah Dengan WNA?

Dasar Hukum

  1. Kompilasi Hukum Islam (KHI).
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019.
  3. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Referensi

  1. Syuhud, Hafidz. “Sanksi Pernikahan pada Masa ‘Iddah: Studi Terhadap Pemikiran Para Iman al-Madhahib al Arba’ah.” Istidlal 4, no. 1 (April 2020): 64-74.