Sobat Perqara pasti pernah mendengar istilah pernikahan “MBA” atau Married by Accident. Pernikahan ini adalah pernikahan yang terjadi karena sudah terjadinya hubungan seks di luar nikah dan mengakibatkan pihak wanita hamil. Alhasil, pihak laki-laki harus menikahi pasangannya yang hamil sebagai bentuk dari pertanggung jawabannya. Bahkan, ada juga kasus dimana ada laki-laki lain yang bersedia menikahi wanita hamil, meskipun bayi yang dikandung bukanlah miliknya. Hal ini tentunya bertujuan untuk menutup aib, agar pihak wanita tidak dipandang jelek oleh masyarakat.

Sebagai negara yang menerapkan aturan agama dalam aturan hukumnya, lantas apakah ada aturan hukum menikahi wanita hamil? Simak penjelasannya dalam artikel ini.

Baca juga: Konsekuensi Hukum Paksaan Menikah

Bagaimana Hukum Menikahi Wanita Hamil?

Kawin hamil merupakan pernikahan yang dilakukan dengan seorang wanita yang hamil di luar nikah, baik dikawini oleh laki-laki yang menghamilinya maupun oleh laki-laki bukan yang menghamilinya. Ketentuan terkait hukum menikahi wanita hamil dapat merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, menerangkan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kemudian, mengacu pada ketentuan dalam Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahwa seorang wanita yang hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan dengan wanita hamil tersebut dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Dengan demikian, berdasarkan Pasal 53 KHI tersebut, hukum menikahi wanita hamil adalah diperbolehkan. Selain itu, pasangan suami istri yang telah menikah saat hamil tidak perlu menikah lagi ketika anaknya sudah dilahirkan. 

Baca juga: Hukum Pernikahan Dini Menurut Hukum Islam dan Negara

Status Anak Ketika Lahir

Setelah memahami aturan hukum menikahi wanita hamil, lalu bagaimanakah status anak yang lahir setelah pernikahan tersebut? Merujuk Pasal 42 UU Perkawinan, menjelaskan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah.

Kemudian, ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan menerangkan bahwa anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan dan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Apabila wanita tersebut telah menikah dengan pria yang menghamilinya sebelum anaknya dilahirkan, maka berdasarkan Pasal 99 KHI, anak tersebut adalah anak yang sah. Sebab, dijelaskan bahwa anak yang sah adalah:

  1. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;
  2. Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.

Merujuk pada Pasal 99 huruf a KHI tersebut, dapat disimpulkan bahwa anak zina yang lahir setelah ibunya dinikahi penghamilnya seperti diatur dalam Pasal 53 ayat (1) KHI adalah anak sah.

Selanjutnya, perihal anak luar kawin menurut Neng Djubaedah yang merupakan Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa terdapat 2 pengertian tentang anak luar kawin. Pertama, anak yang dibenihkan dan dilahirkan di luar perkawinan yang sah. Kedua, anak dibenihkan di luar perkawinan, namun dilahirkan setelah orang tuanya melakukan perkawinan.

Mengacu pada pengertian yang kedua tersebut, dalam hukum perdata, anak tersebut bisa dikategorikan sebagai anak sah. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 206 tentang Administrasi Kependudukan (“UU No. 24 Tahun 2013”) yang intinya menerangkan bahwa pengesahan anak wajib dilaporkan kepada instansi pelaksana paling lambat 30 hari sejak ayah dan ibu dari anak itu melakukan perkawinan dan mendapat akta perkawinan. Ketentuan itu dikecualikan bagi orang tua yang agamanya tidak membenarkan pengesahan anak yang lahir di luar perkawinan yang sah.

Baca juga: Hukum Nikah Siri Tanpa Sepengetahuan Keluarga

Perqara Telah Melayani Lebih dari 5.500 Konsultasi Hukum

Untuk permasalahan hukum terkait Perkawinan dan Perceraian, Perqara telah menangani lebih dari 850 kasus. Ada ratusan mitra Advokat Perqara dengan keahlian khusus di masing-masing bidangnya seperti ketenagakerjaan, perkawinan dan perceraian, pertanahan, dan masih banyak lagi. Sehingga, klien dapat konsultasi tentang masalah hukum lainnya sesuai dengan permasalahan yang sedang dialami.

Baca juga: Bisakah Membuat Perjanjian Pra Nikah Setelah Menikah?

Konsultasi Hukum Gratis di Perqara

Apabila Sobat Perqara memiliki permasalahan hukum terkait permasalahan ini, Sobat dapat mengobrol langsung dengan Advokat profesional secara gratis hanya di Perqara. Dapatkan konsultasi hukum gratis untuk mendapatkan solusi hukum tepat kapan pun dan di mana pun.

Baca juga: Hukum Menikahi Janda dalam Islam

(Artikel ini telah disunting oleh Tim Redaksi Perqara)

Dasar Hukum

  1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
  2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 206 tentang Administrasi Kependudukan
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
  4. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam

Referensi

  1. Fahrul Fauzi. “Tinjauan Kawin Hamil dalam Perspektif Hukum Islam”. Journal of Islamic Law Studies. Volume 3. Nomor 2 (April 2021).
  2. Dian Ramadhan. “Menikah dalam Kondisi Hamil, ini Pandangan Empat Mazhab dan KHI”. Diakses pada 11 September 2023.