Pernikahan menjadi momen yang didambakan dan ditunggu oleh sebagian orang. Namun, terdapat beberapa kasus pernikahan dimana pihak pria belum sah bercerai dengan istrinya. Hal ini tentu memiliki resiko hukum, sebab apabila belum sah bercerai, maka pihak pria masih sah menjadi suami orang lain. Jadi, jika pihak pria ingin menikah dengan wanita lain, harus ada persetujuan istri sebelumnya. Oleh sebab itu, penting bagi Anda memahami hukum menikahi pria yang belum sah cerai. Simak pembahasan terkait hukum menikahi pria yang belum sah cerai dalam artikel ini.

Ketentuan Hukum tentang Pernikahan dalam Status Belum Sah Cerai

Hal utama yang perlu diketahui terkait hukum menikahi pria yang belum sah cerai, yaitu ketika Anda ingin menjalani pernikahan, namun pihak pria sedang menjalani proses perceraian di pengadilan, maka pria tersebut harus mengurus perceraiannya terlebih dahulu. Apabila pria tersebut tidak mengurus perceraiannya dan kemudian menikahi seorang wanita lain, maka dapat dikatakan bahwa pria tersebut melakukan poligami.

Pada dasarnya pria yang belum sah bercerai tersebut masih berstatus sebagai suami orang lain dan tidak boleh menikah lagi jika perkawinannya belum putus. Jadi, apabila dikaitkan dengan hukum menikahi pria yang belum sah cerai, pria tersebut tidak dapat menikahi wanita lain tanpa persetujuan dari istrinya yang belum diceraikannya secara resmi di pengadilan dan/atau tanpa memenuhi beberapa alasan yang diatur dalam undang-undang.

Merujuk pada ketentuan Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”), yang menerangkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Selain itu, Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) juga menjelaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Dengan kata lain, apabila merujuk pada ketentuan Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan dan Pasal 115 KHI, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan. Lebih lanjut, adapun yang dimaksud dengan pengadilan menurut Pasal 1 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“PP No. 9 Tahun 1975”) adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang lainnya.

Pada dasarnya, UU Perkawinan menganut asas monogami, dimana suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami, berdasarkan Pasal 3 ayat (1) UU perkawinan. Namun, ayat (2) pasal tersebut, pengadilan dapat memberikan izin bagi suami untuk memiliki lebih dari satu istri apabila dikehendaki pihak yang bersangkutan.

Dalam Pasal 9 UU Perkawinan, mengatur terkait ketentuan bahwa seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam pihak suami diberikan izin oleh pengadilan untuk menikah lagi dan telah memenuhi sejumlah alasan yang diatur dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU Perkawinan, yakni:

  1. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
  2. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; dan
  3. istri tidak dapat melahirkan keturunan

Proses Hukum untuk Menikahi Pria yang Belum Sah Cerai

Sama seperti yang dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, pihak pria harus sah cerai terlebih dahulu dan/atau ada persetujuan dari istri sebelumnya. Apabila tidak ada persetujuan dari istri sebelumnya maka harus menunggu si pria sah bercerai dengan melewati beberapa proses dalam sidang perceraian sampai selesai dengan adanya putusan hakim. 

Putusan mengenai gugatan perceraian tersebut diucapkan dalam sidang terbuka dan suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibatnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh pegawai pencatat, berdasarkan Pasal 35 PP No. 9 Tahun 1975.

Lalu, dalam Pasal 34 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975, bagi yang beragama Islam, suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibatnya terhitung sejak terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Selain itu, talak/cerai yang diakui secara hukum negara adalah yang dilakukan atau diucapkan oleh suami di Pengadilan Agama. Dalam Pasal 117 KHI, talak adalah ikrar suami di hadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.

Kemudian, penjatuhan talak oleh suami diatur dalam Pasal 129 KHI yang berbunyi:

Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal isteri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.”

Dengan demikian, talak yang diakui secara hukum negara adalah yang dilakukan atau diucapkan oleh suami di Pengadilan Agama. Kemudian, apabila talak diucapkan di luar pengadilan, maka hukumnya hanya sah menurut hukum agama saja, tetapi tidak sah menurut hukum negara. Akibatnya, ikatan perkawinan antara suami-istri yang terlibat belum putus secara hukum.

Implikasi Hukum dan Konsekuensi Pernikahan dalam Kasus Ini

Ketika seorang wanita menerima lamaran pria yang belum resmi bercerai, sebenarnya tidak ada dampak hukumnya. Namun, sebaiknya pihak wanita tidak menerima lamaran tersebut karena terdapat konsekuensi dan resiko hukum bagi pernikahan dalam kasus ini.

Risiko hukum yang mungkin akan terjadi adalah pembatalan perkawinan apabila pihak pria menikah tanpa persetujuan istri sebelumnya. Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan, menurut Pasal 22 UU Perkawinan.

Setelah memahami pembahasan terkait hukum menikahi pria yang belum sah cerai ini, maka dapat dikatakan bahwa pihak istri dari pihak pria (pasangan Anda) yang belum bercerai di muka pengadilan memiliki hak untuk mengajukan pembatalan perkawinan, berdasarkan Pasal 23 huruf b UU Perkawinan, karena alasan perkawinan masih terikat dengan dirinya, menurut Pasal 24 UU Perkawinan.

Perqara Telah Melayani Lebih dari 5.500 Konsultasi Hukum

Untuk permasalahan hukum terkait Perkawinan dan Perceraian, Perqara telah menangani lebih dari 850 kasus. Ada ratusan mitra Advokat Perqara dengan keahlian khusus di masing-masing bidangnya seperti ketenagakerjaan, perkawinan dan perceraian, pertanahan, dan masih banyak lagi. Sehingga, klien dapat konsultasi tentang masalah hukum lainnya sesuai dengan permasalahan yang sedang dialami.

Konsultasi Hukum Gratis di Perqara

Apabila Sobat Perqara memiliki permasalahan hukum atau pertanyaan lebih lanjut terkait hukum menikahi pria yang belum sah cerai, Sobat dapat mengobrol langsung dengan advokat profesional secara gratis hanya di Perqara. Dapatkan konsultasi hukum gratis untuk mendapatkan solusi hukum tepat kapan pun dan di mana pun.

Baca juga: Pahami Alat Bukti Cerai Dalam Proses Perceraian

Dasar Hukum

  1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
  3. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

Referensi

  1. Andi Saputra. “Suami Nikah Lagi Tanpa Izin, Bisakah Saya Batalkan?”. https://news.detik.com/berita/d-5816248/suami-nikah-lagi-tanpa-izin-bisakah-saya-batalkan. Diakses pada 12 Maret 2024.