Di era digital yang serba cepat ini, data menjadi aset yang sangat berharga. Namun, seiring dengan meningkatnya volume dan nilai data, muncul pula ancaman tindak pidana pemalsuan data. Aktivitas ilegal ini tidak hanya merugikan individu dan organisasi, tetapi juga mengancam integritas sistem informasi secara keseluruhan. Artikel ini akan mengupas tuntas mengenai tindak pidana pemalsuan data, mulai dari pengertian, jenis-jenis, dasar hukum yang berlaku di Indonesia, hingga sanksi yang menanti para pelakunya.

Baca juga: Pahami Cara Mencegah Doxing Agar Tidak Menyesal

Pengertian tindak pidana pemalsuan data

Secara sederhana, tindak pidana pemalsuan data dapat diartikan sebagai tindakan mengubah, menambah, menghapus, atau membuat data palsu dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, atau untuk merugikan pihak lain. Data yang dipalsukan bisa berupa berbagai macam informasi, mulai dari dokumen kependudukan, catatan keuangan, data transaksi elektronik, hingga informasi pribadi di media sosial. Tindakan ini melanggar hukum dan memiliki konsekuensi pidana yang serius.

Baca juga: Tindak Pidana Terorisme: Pengertian, Jenis, dan Sanksi Hukumnya di Indonesia

Jenis-jenis pemalsuan data

Jenis-jenis pemalsuan data
Jenis-jenis pemalsuan data (Sumber: Shutterstock)

Tindak pidana pemalsuan data memiliki beragam bentuk, di antaranya:

  1. Pemalsuan dokumen, yaitu membuat atau mengubah dokumen otentik menjadi palsu, seperti KTP, ijazah, akta kelahiran, surat tanah, dan lain-lain. Tujuannya bisa untuk penipuan, penggelapan, atau tujuan ilegal lainnya.
  2. Pemalsuan data keuangan, yaitu manipulasi catatan keuangan, laporan laba rugi, faktur, atau bukti transaksi lainnya untuk menyembunyikan kejahatan keuangan, menghindari pajak, atau mendapatkan keuntungan yang tidak sah.
  3. Pemalsuan data elektronik, dengan mengubah, menghapus, atau menambahkan data pada sistem komputer, database, atau media elektronik lainnya tanpa izin. Contohnya adalah mengubah nilai ujian di sistem akademik, memanipulasi data inventaris, atau membuat transaksi fiktif dalam sistem perbankan.
  4. Pemalsuan identitas Digital: Mencuri atau menggunakan identitas digital orang lain untuk melakukan tindakan ilegal di dunia maya, seperti penipuan online, pencurian informasi pribadi, atau penyebaran berita bohong.
  5. Pemalsuan Tanda Tangan Digital: Membuat atau memalsukan tanda tangan elektronik seseorang tanpa izin untuk mengesahkan dokumen atau transaksi secara ilegal.

Baca juga: Tindak Pidana Pencabulan: Pengertian, Jenis, dan Saksinya di Indonesia

Dasar hukum pemalsuan data di Indonesia

Hukum di Indonesia memiliki beberapa pasal yang mengatur mengenai tindak pidana pemalsuan data, di antaranya:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 263 hingga Pasal 266 KUHP mengatur tentang pemalsuan surat, yang dalam konteks digital juga dapat diinterpretasikan sebagai pemalsuan dokumen elektronik. Pasal-pasal ini mengatur tentang pembuatan surat palsu, pemalsuan tanda tangan, dan penggunaan surat palsu.
  2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 dan Nomor 1 Tahun 2024. UU ITE secara spesifik mengatur mengenai perbuatan melawan hukum di dunia siber, termasuk yang berkaitan dengan data dan informasi elektronik. Beberapa pasal relevan antara lain Pasal 32 yang mengatur tentang akses ilegal, perubahan, penghilangan informasi elektronik, dan Pasal 35 yang mengatur tentang manipulasi informasi elektronik.   
  3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Undang-undang ini secara khusus mengatur mengenai pemalsuan dokumen kependudukan.
  4. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Pelaku tindak pidana pemalsuan data yang melibatkan data pribadi juga dapat dijerat dengan pasal-pasal dalam UU PDP, terutama jika tindakan pemalsuan tersebut bertujuan untuk mendapatkan akses ilegal, menyebarkan, atau menggunakan data pribadi tanpa persetujuan pemiliknya.

Baca juga: Pinjol Sebar Data Diri? Ketahui Cara Melaporkannya!

Sanksi pidana atas pemalsuan data

Sanksi pidana atas pemalsuan data
Sanksi pidana atas pemalsuan data (Sumber: Shutterstock)

Sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana pemalsuan data bervariasi tergantung pada jenis pemalsuan dan pasal hukum yang dilanggar. Berdasarkan KUHP, pelaku pemalsuan surat dapat diancam dengan pidana penjara hingga enam tahun (Pasal 263 KUHP).

Sementara itu, berdasarkan UU ITE, pelaku pemalsuan data elektronik dapat diancam dengan pidana penjara dan/atau denda yang cukup besar. Misalnya, Pasal 32 UU ITE dapat menjerat pelaku dengan pidana penjara maksimal 8 tahun dan/atau denda maksimal Rp2 miliar. Pemalsuan dokumen kependudukan juga memiliki ancaman pidana sendiri sesuai dengan Undang-Undang Administrasi Kependudukan.

Dalam UU PDP, terdapat beberapa pasal yang secara spesifik mengatur mengenai sanksi pidana terkait dengan pemalsuan data pribadi, sebagai berikut:

  1. Pasal 66. Pasal ini secara eksplisit melarang pembuatan data pribadi palsu atau pemalsuan data pribadi dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian bagi orang lain.
  2. Pasal 67. Meskipun pasal ini lebih fokus pada perolehan, pengungkapan, dan penggunaan data pribadi secara melawan hukum, dalam konteks pemalsuan data yang bertujuan untuk melakukan salah satu tindakan tersebut, pasal ini juga relevan. Misalnya, jika seseorang memalsukan data pribadi untuk mendapatkan akses ilegal dalam Pasal 67 ayat (1) dan (3) atau mengungkapkan data pribadi palsu kepada pihak lain tanpa hak dalam Pasal 67 ayat (2), sanksi pidana berupa penjara dan/atau denda juga berlaku.
  • Ayat (1): Pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) bagi yang memperoleh atau mengumpulkan data pribadi yang bukan miliknya secara melawan hukum untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian subjek data pribadi.
  • Ayat (2): Pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) bagi yang mengungkapkan data pribadi yang bukan miliknya secara melawan hukum.
  • Ayat (3): Pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) bagi yang menggunakan data pribadi yang bukan miliknya secara melawan hukum.   
  1. Pasal 68: siapapun yang sengaja membuat data pribadi palsu atau memalsukan data pribadi dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian bagi orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
  2. Pasal 69: Selain sanksi pidana pokok berupa pidana penjara dan denda, pelaku tindak pidana pemalsuan data pribadi juga dapat dikenai pidana tambahan berupa perampasan keuntungan dan/atau harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana tersebut, serta pembayaran ganti kerugian kepada korban.

Baca juga: Pasal Doxing dan Jerat Hukum Bagi Pelaku

Dampak hukum dan sosial dari pemalsuan data

Tindak pidana pemalsuan data tidak hanya berimplikasi pada aspek hukum, tetapi juga memiliki dampak sosial yang signifikan. Beberapa dampak tersebut antara lain:

  1. Kerugian finansial. Individu dan organisasi dapat mengalami kerugian finansial akibat penipuan, penggelapan, atau pencurian yang dilakukan dengan menggunakan data palsu.
  2. Hilangnya kepercayaan. Pemalsuan data dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi, sistem informasi, dan transaksi online.
  3. Gangguan sistem. Pemalsuan data pada sistem penting dapat menyebabkan gangguan operasional, bahkan mengancam keamanan nasional.
  4. Dampak psikologis. Korban pemalsuan identitas atau data pribadi dapat mengalami stres, kecemasan, dan kerugian reputasi.
  5. Ketidakadilan. Pemalsuan data dapat menyebabkan ketidakadilan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti dalam proses hukum, administrasi publik, dan transaksi bisnis.

Baca juga: Hati-Hati! Ini Jerat Hukum Pemalsuan Identitas

Pencegahan dan perlindungan terhadap pemalsuan data

Mengingat dampak negatifnya yang besar, upaya pencegahan dan perlindungan terhadap tindak pidana pemalsuan data menjadi sangat penting. Beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain:

  1. Meningkatkan kesadaran. Edukasi kepada masyarakat mengenai risiko dan modus operandi pemalsuan data.
  2. Pengamanan sistem. Implementasi sistem keamanan yang kuat untuk melindungi data elektronik dari akses dan manipulasi yang tidak sah.
  3. Verifikasi data. Melakukan verifikasi keaslian data dan dokumen secara cermat, terutama dalam transaksi penting.
  4. Penggunaan teknologi keamanan. Memanfaatkan teknologi seperti enkripsi, tanda tangan digital, dan otentikasi berlapis untuk mengamankan data dan transaksi online.
  5. Pelaporan tindak pidana. Segera melaporkan kepada pihak berwenang jika menemukan indikasi atau menjadi korban pemalsuan data.

Baca juga: Pahami Ciri-Ciri Identitas Palsu dan Cara Melaporkan Pelaku

Perqara telah melayani lebih dari 27.700 konsultasi hukum

Untuk permasalahan hukum terkait Pidana, Perqara telah menangani lebih dari 11.00 kasus. Ada ratusan mitra Advokat Perqara dengan keahlian khusus di masing-masing bidangnya seperti ketenagakerjaan, perkawinan dan perceraian, pertanahan, dan masih banyak lagi. Sehingga, klien dapat konsultasi tentang masalah hukum lainnya sesuai dengan permasalahan yang sedang dialami.

Konsultasi hukum online di Perqara

Apabila Sobat Perqara memiliki permasalahan hukum terkait permasalahan ini, Sobat dapat mengobrol langsung dengan advokat profesional secara gratis hanya di Perqara. Download aplikasi Perqara sekarang dan dapatkan konsultasi hukum gratis untuk mendapatkan solusi hukum tepat kapan pun dan di mana pun.

Baca juga: Bahaya! Ini Sanksi Hukum Melihat HP Orang Lain Tanpa Izin

(Artikel ini telah disunting oleh Tim Redaksi Perqara)

Dasar hukum

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
  2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
  3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan;
  4. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi.