Syarat perkawinan menurut hukum Indonesia adalah hal yang sangat penting untuk dipahami oleh setiap pasangan yang ingin melangsungkan pernikahan. Memahami syarat-syarat ini tidak hanya membantu dalam proses pernikahan, tetapi juga memastikan bahwa perkawinan yang dilakukan sah secara hukum. Artikel ini akan membahas berbagai aspek terkait syarat perkawinan di Indonesia, termasuk dasar hukum, syarat sah, proses pencatatan, dan tantangan yang mungkin dihadapi.

Baca juga: Mediasi Perceraian: Proses, Manfaat, dan Panduan Lengkap di Indonesia

Dasar hukum perkawinan di Indonesia

Dasar hukum perkawinan di Indonesia diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain:

  1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Perkawinan (“UU No. 16 Tahun 2019”), yaitu mengatur segala hal yang berkaitan dengan perkawinan, mulai dari syarat-syarat sahnya perkawinan, tata cara perkawinan, hak dan kewajiban suami istri, hingga akibat-akibat hukum dari perceraian.
  2. Kompilasi Hukum Islam (“KHI”), yaitu mengatur tentang perkawinan bagi umat Islam di Indonesia.
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (“PP No. 9 Tahun 1975”).

Baca juga: Perwalian Anak Menurut Hukum Indonesia

Syarat sahnya perkawinan menurut hukum Indonesia

Syarat sahnya perkawinan menurut hukum Indonesia
Syarat sahnya perkawinan menurut hukum Indonesia (Sumber: Shutterstock)

Penting untuk diketahui terlebih dahulu bahwa berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, yaitu perkawinan adalah sah, jika dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Dalam hal ini, akan yang akan dibahas yaitu syarat sah perkawinan menurut UU Perkawinan. Dalam UU Perkawinan, syarat sah perkawinan diatur dalam BAB II, dari Pasal 6 hingga Pasal 12. Selain itu, syarat sah perkawinan terbagi 2 hal, yaitu syarat materiil dan syarat formil. Berikut syarat perkawinan menurut hukum Indonesia yaitu UU Perkawinan:

Syarat materiil

Syarat materiil ini berkaitan dengan pribadi calon pengantin dan dibagi menjadi 2 kategori, yaitu:

  1. Syarat materiil umum
  • Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai, (Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan).
  • Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun, (Pasal 7 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2019).
  • Status tidak terikat perkawinan dengan orang lain (Pasal 9 UU Perkawinan), kecuali pengadilan,  dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang jika dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan (Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan).
  • Berlakunya masa tunggu bagi wanita yang pernah menikah, (Pasal 11 UU Perkawinan).
  1. Syarat materiil khusus
  • Izin orang tua atau wali bagi calon pengantin di bawah 21 tahun, (Pasal 6 UU Perkawinan).
  • Larangan perkawinan karena hubungan darah, persusuan, atau alasan agama, (Pasal 8 UU Perkawinan).

Syarat Formil

Syarat formil ini berkaitan dengan prosedur administratif yang perlu dilalui sebelum dan saat berlangsungnya perkawinan, sebagai berikut:

  1. Sebelum Perkawinan
  • Pemberitahuan kehendak menikah kepada Pegawai Pencatat Nikah
  • Penyerahan dokumen pendukung
  • Masa tunggu 10 hari kerja untuk penelitian dan pengumuman
  1. Saat Perkawinan
  • Dilangsungkan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah
  • Dihadiri dua orang saksi
  • Penandatanganan akta perkawinan

Baca juga: Persetujuan Orang Tua dalam Pernikahan: Pentingkah dan Bagaimana Menghadapinya?

Proses pencatatan perkawinan di Indonesia

Proses pencatatan perkawinan di Indonesia
Proses pencatatan perkawinan di Indonesia (Sumber: Shutterstock)

Pencatatan perkawinan dilakukan oleh pegawai pencatat, bagi yang beragama Islam di KUA (Kantor Urusan Agama), dan bagi yang beragama selain islam dilakukan di Disdukcapil (Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil), berdasarkan Pasal 2 PP No. 9 Tahun 1975.

Berikut proses pencatatan perkawinan di Indonesia:

  1. Pemberitahuan kehendak menikah kepada Pegawai Pencatat Nikah ditempat perkawinan akan dilangsungkan, (Pasal 3 ayat (1)  PP No. 9 Tahun 1975).
  2. Pemberitahuan tersebut dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan, (Pasal 3 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975), kecuali disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah (Pasal 3 ayat (3) PP No. 9 Tahun 1975).
  3. Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai, atau oleh orang tua atau wakilnya, (Pasal 4 PP No. 9 Tahun 1975).
  4. Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut UU, (Pasal 6 PP No. 9 Tahun 1975).
  5. Lalu, hasil penelitian oleh Pegawai Pencatat ditulis dalam sebuah daftar yang diperuntukkan untuk itu, (Pasal 7 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975).
  6. Kemudian, Pegawai Pencatat menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada kantor Pencatatan Perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum, (Pasal 8 PP No. 9 Tahun 1975).
  7. Setelah itu, perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat, menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, serta perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi, (Pasal 10 PP No. 9 Tahun 1975).
  8. Kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku, (Pasal 11 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975).
  9. Akta perkawinan tersebut ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya, (Pasal 11 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975).
  10. Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi, (Pasal 11 ayat (3) PP No. 9 Tahun 1975).

Baca juga: Hukum Nikah Siri Tanpa Sepengetahuan Keluarga: Apa Saja Risikonya?

Syarat perkawinan bagi WNA (warga negara asing)

Pernikahan antara Warga Negara Indonesia (WNI) dan WNA sering disebut sebagai pernikahan campuran, dan aturannya diatur dalam pasal 57 UU Perkawinan. Berikut adalah dokumen persyaratan perkawinan bagi WNA:

  1. CNI (Certificate of No Impediment).
  2. Fotokopi paspor.
  3. Fotokopi akta kelahiran.
  4. Fotokopi kartu identitas (KTP) dari negara asal.
  5. Surat keterangan tidak sedang dalam status kawin.
  6. Surat keterangan domisili saat ini.
  7. Akta cerai, jika sudah pernah melakukan pernikahan.
  8. Akta kematian pasangan sebelumnya, bila sudah meninggal.
  9. Pas Foto 2×3 (4 lembar) dan 4×6 (4 lembar).
  10. Jika menikah di KUA, maka perlu menyertakan surat keterangan mualaf, jika sebelumnya beragama non-muslim.

Perlu diketahui bahwa, Certificate of No Impediment (CNI) merupakan surat keterangan bagi WNA yang menyatakan dirinya bisa menikah dan akan menikah dengan WNI. Surat keterangan tersebut dikeluarkan atau dilegalisir oleh kedutaan negara asal WNA.

Berikut syarat yang perlu dipenuhi untuk mendapatkan CNI dari kedutaan asing:

  1. Akta kelahiran terbaru (asli).
  2. Fotokopi kartu identitas (KTP) dari negara asal.
  3. Fotokopi paspor.
  4. Formulir pernikahan dari kedutaan yang bersangkutan.
  5. Surat domisili atau bukti tempat tinggal.

Syarat-syarat di atas harus diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh penerjemah yang telah disumpah.

Baca juga: Menikah Dengan WNA, Apa Bisa Buat Akta Pisah Harta?

Akibat hukum dari perkawinan yang tidak sah

Perkawinan yang tidak sah atau tidak memenuhi syarat perkawinan menurut hukum Indonesia dapat menimbulkan berbagai akibat hukum, antara lain:

  1. Status hukum anak. Anak yang lahir dari perkawinan yang tidak sah tidak memiliki status hukum sebagai anak sah, yang dapat mempengaruhi hak-hak mereka.
  2. Hak waris. Pasangan yang menikah secara tidak sah tidak memiliki hak waris satu sama lain.
  3. Pasangan tidak dapat mengajukan gugatan cerai secara resmi, karena pernikahan tidak sah tidak dapat dibatalkan secara hukum.
  4. Sanksi hukum. Dalam beberapa kasus, pihak-pihak yang terlibat dalam perkawinan tidak sah dapat dikenakan sanksi hukum.

Baca juga: Ini Pentingnya Bimbingan Pra Nikah Bagi Calon Pengantin!

Tantangan dan permasalahan dalam pemenuhan syarat perkawinan

Beberapa tantangan dan permasalahan yang sering dihadapi dalam pemenuhan syarat perkawinan menurut hukum Indonesia, antara lain:

  1. Kurangnya pemahaman. Banyak pasangan yang tidak memahami syarat-syarat hukum yang berlaku, sehingga mengakibatkan kesalahan dalam proses perkawinan.
  2. Birokrasi yang rumit. Proses pencatatan perkawinan seringkali terhambat oleh birokrasi yang rumit dan memakan waktu.
  3. Perbedaan agama dan budaya. Perbedaan agama dan budaya antara pasangan dapat menimbulkan kesulitan dalam memenuhi syarat.
  4. Perkawinan anak. Masih banyak terjadi kasus perkawinan anak di bawah umur yang melanggar ketentuan hukum.
  5. Perkawinan paksa: Perkawinan yang dilakukan tanpa adanya persetujuan bebas dari salah satu pihak.
  6. Perkawinan beda agama. Perbedaan agama dapat menjadi kendala dalam proses pencatatan perkawinan.

Baca juga: Paksaan Menikah Ternyata Ada Konsekuensi Hukumnya, loh!

Perqara telah melayani lebih dari 27.700 konsultasi hukum

Untuk permasalahan hukum terkait Perkawinan dan Perceraian, Perqara telah menangani lebih dari 5.500 kasus. Ada ratusan mitra Advokat Perqara dengan keahlian khusus di masing-masing bidangnya seperti ketenagakerjaan, perkawinan dan perceraian, pertanahan, dan masih banyak lagi. Sehingga, klien dapat konsultasi tentang masalah hukum lainnya sesuai dengan permasalahan yang sedang dialami.

Konsultasi hukum gratis di Perqara

Apabila Sobat Perqara memiliki permasalahan hukum terkait syarat perkawinan menurut hukum Indonesia, Sobat dapat mengobrol langsung dengan advokat profesional secara gratis hanya di Perqara. Download aplikasi Perqara sekarang dan dapatkan konsultasi hukum gratis untuk mendapatkan solusi hukum tepat kapan pun dan di mana pun.

Baca juga: Apa Hukum Akad Nikah Tanpa Wali Dari Pihak Perempuan?

(Artikel ini telah disunting oleh Tim Redaksi Perqara)

Dasar hukum

  1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
  2. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Perkawinan;
  3. Kompilasi Hukum Islam;
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.