Dalam hukum Indonesia, istilah retroaktif bukanlah suatu istilah yang asing didengar di kalangan masyarakat. Dimana hadirnya istilah ini, seringkali menimbulkan pro dan kontra dari berbagai pandangan. Lantas, apa itu retroaktif? Artikel ini akan membahas lebih lanjut mengenai konsep retroaktif, penerapannya dalam praktik hukum, serta dampak yang ditimbulkannya, baik secara yuridis maupun terhadap hak-hak individu.

Baca juga: Apa Itu Perjanjian Backdate? Simak Pengertian, Tujuan, dan Dampaknya

Apa itu retroaktif dalam hukum?

Istilah retroaktif dalam hukum merujuk pada sebuah asas dimana suatu peraturan perundang-undangan dapat diberlakukan secara surut. Atau dengan kata lain, suatu peraturan perundang-undangan dapat diberlakukan terhadap suatu perbuatan atau peristiwa hukum tertentu, meskipun peraturan tersebut belum disahkan atau diundangkan pada saat peristiwa itu terjadi.

Baca juga: Ajudikasi Adalah: Pengertian, Proses, dan Manfaat dalam Hukum

Aplikasi retroaktif dalam hukum

Aplikasi retroaktif dalam hukum
Aplikasi retroaktif dalam hukum (Sumber: Shutterstock)

Dalam sistem hukum pidana Indonesia, retroaktif merupakan suatu pengecualian terhadap asas legalitas (nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali), yang menegaskan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali telah diatur dalam undang-undang sebelum perbuatan itu dilakukan. Dimana pada pengaplikasiannya berkaitan erat dengan kasus terorisme dan pelanggaran HAM berat.

Hal ini tercermin dalam sejumlah peraturan perundang-undangan yang membuka kemungkinan diberlakukannya asas retroaktif terhadap suatu perkara pidana, antara lain:

  1. Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”)
    Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan terdakwa.” 
  1. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
    Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc
  1. Pasal 46 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
    Ketentuan  dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dapat diperlakukan surut untuk tindakan hukum bagi kasus tertentu sebelum mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini, yang penerapannya ditetapkan dengan Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersendiri.”

Sementara dalam sistem hukum perdata Indonesia, pengaplikasian retroaktif dalam suatu perjanjian diperbolehkan sepanjang memenuhi syarat sah perjanjian dan tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. Yang mana dalam praktiknya, hukum perdata dalam hal perjanjian menganut asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), yang memberikan keleluasaan kepada para pihak untuk menentukan isi dan waktu berlakunya perjanjian, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.

Baca juga: Apakah Perlu Surat Perjanjian Utang Piutang? Simak Fungsi dan Contohnya!

Dampak hukum dari penerapan retroaktif

Penerapan hukum secara retroaktif, khususnya dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia, memang dapat menjadi instrumen penting untuk menghadirkan keadilan bagi korban yang telah menderita akibat tindakan di masa lalu. Dengan diberlakukannya hukum yang berlaku surut, pelaku kejahatan serius yang sebelumnya luput dari jerat hukum dapat dimintai pertanggungjawaban. Hal ini memberikan secercah harapan bagi korban untuk mendapatkan pengakuan atas penderitaan mereka, sekaligus memastikan keadilan didapatkan oleh seluruh elemen masyarakat.

Namun demikian, penerapan retroaktif juga membawa implikasi hukum yang signifikan dan berpotensi menimbulkan dilema. Karena dengan diterapkannya retroaktif dalam hukum, dapat berpotensi akan terciptanya suatu ketidakpastian hukum dan permasalahan hukum hukum lainnya jika dilakukan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang telah mengaturnya.

Baca juga: 3 Tahap dan Unsur Dalam Perjanjian Bisnis

Kapan retroaktif diperbolehkan dalam hukum?

Penerapan asas retroaktif dalam hukum, meskipun pada dasarnya dilarang oleh asas legalitas (nullum crimen sine lege), tetapi dalam praktiknya tetap dimungkinkan untuk dilakukan dalam keadaan tertentu yang diakui baik secara internasional maupun nasional, terutama untuk menangani kejahatan luar biasa (extraordinary crimes). Yang mana penerapan retroaktif itu sendiri dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni retroaktif murni dan retroaktif semu.

Retroaktif murni terjadi ketika suatu ketentuan hukum baru diberlakukan terhadap peristiwa yang telah sepenuhnya selesai di masa lalu, termasuk seluruh akibat hukumnya. Jenis ini sangat jarang diterapkan karena berisiko tinggi terhadap kepastian hukum. Namun, pengecualian tetap dimungkinkan, terutama terhadap kejahatan yang sangat berat dan melanggar nilai-nilai kemanusiaan universal, seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang. Penerapan retroaktif murni dalam konteks ini bertujuan untuk menutup celah hukum yang memungkinkan pelaku kejahatan berat menghindari pertanggungjawaban hukum.

Sementara itu, retroaktif semu lebih sering dijumpai dalam praktik hukum. Jenis ini muncul ketika suatu peraturan baru diterapkan pada peristiwa yang dimulai sebelum aturan tersebut berlaku, tetapi akibat hukumnya masih berjalan atau belum sepenuhnya selesai. Contohnya dapat ditemui dalam perubahan ketentuan pajak yang berdampak pada kewajiban yang masih berlangsung, atau dalam pergeseran masa daluwarsa terhadap gugatan yang sedang berjalan. Dalam bidang hukum pidana, retroaktif semu juga dapat diterapkan terhadap tindak pidana luar biasa, seperti pelanggaran HAM berat dan terorisme, sebagaimana ditegaskan dalam sejumlah instrumen hukum internasional dan nasional, untuk menjamin adanya akuntabilitas atas kejahatan yang tidak dapat ditoleransi.

Baca juga: Prosedur Pembuatan Akta Notaris Anti Ribet

Perbedaan retroaktif dan backdate dalam hukum

Perbedaan retroaktif dan backdate dalam hukum
Perbedaan retroaktif dan backdate dalam hukum (Sumber: Shutterstock)

Dalam istilah hukum, retroaktif dan perjanjian backdate adalah dua konsep yang berbeda. Dimana retroaktif merujuk pada prinsip di mana suatu peraturan perundang-undangan diberlakukan surut, artinya aturan tersebut diterapkan pada perbuatan atau peristiwa yang terjadi sebelum peraturan itu sah diundangkan. 

Sementara perjanjian backdate adalah suatu perjanjian atau kontrak yang dibuat oleh para pihak dengan mencantumkan tanggal mundur yang tidak sesuai dengan tanggal penandatanganan sebenarnya. Perjanjian backdate ini umumnya dibuat atas kesepakatan para pihak untuk tujuan tertentu karena jika tidak dibuat atas kesepakatan akan menimbulkan berbagai konsekuensi hukum yang mungkin saja terjadi di kemudian hari.

Baca juga: Perjanjian Pembiayaan dalam Hukum Bisnis

Apakah retroaktif bisa digunakan dengan aman dalam hukum?

Penggunaan asas retroaktif selalu berada dalam ketegangan antara kepastian hukum dan keadilan substantif yang mengikutinya. Dimana satu sisi, terdapat suatu asas yang menuntut agar hukum tidak berlaku surut demi melindungi hak-hak individu dari kekuasaan yang sewenang-wenang (asas legalitas). Namun disisi lain, terdapat beberapa kondisi luar biasa di mana penerapan hukum secara retroaktif dianggap perlu dilakukan demi menjawab kebutuhan keadilan yang lebih besar.

Sehingga, jika Sobat ingin menggunakan asas retroaktif dalam hukum dengan aman, maka harus dilakukan berdasarkan regulasi yang tegas. Dimana dalam sistem hukum Indonesia, asas retroaktif hanya dapat diterapkan dalam kondisi tertentu yang secara jelas diatur oleh peraturan perundang-undangan.

Baca juga: Izin Restoran Baru: Langkah dan Syarat yang Harus Ditempuh

Perqara telah melayani lebih dari 27.700 konsultasi hukum

Untuk permasalahan hukum terkait Perdata, Perqara telah menangani lebih dari 7.000 kasus. Ada ratusan mitra Advokat Perqara dengan keahlian khusus di masing-masing bidangnya seperti ketenagakerjaan, perkawinan dan perceraian, pertanahan, dan masih banyak lagi. Sehingga, klien dapat konsultasi tentang masalah hukum lainnya sesuai dengan permasalahan yang sedang dialami.

Konsultasi hukum online di Perqara

Apabila Sobat Perqara memiliki permasalahan hukum terkait permasalahan ini, Sobat dapat mengobrol langsung dengan advokat profesional secara gratis hanya di Perqara. Download aplikasi Perqara sekarang dan dapatkan konsultasi hukum gratis untuk mendapatkan solusi hukum tepat kapan pun dan di mana pun.

Baca juga: BPHTB: Pengertian, Perhitungan, dan Cara Pembayarannya

(Artikel ini telah disunting oleh Tim Redaksi Perqara)

Dasar hukum

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”)
  2. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
  3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003

Referensi

  1. Intan Audy, Jeanne D.N. Manik dan Wirazil Mustaan, “Kajian Hukum Asas Retroaktif Dalam Kejahatan Terhadap Kemanusiaan”, Jurnal Hukum: Hukum Untuk Mengatur dan Melindungi Masyarakat, Vol. 7, No.1, (2021).
  2. Notariani Asril, Husni dan Ferdy Saputra, “Asas Retroaktif Terhadap Tindak Pidana Terorisme”, Jurnal Ilmiah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, Vol. IV, No. 1, (2021).
  3. Ahmad Basuki, “Kebijakan Retroaktif Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat”, Perspektif, Vol. XII, No. 2, (2007).
  4. Made Gelgel, “Implikasi Asas Retroaktif Terhadap Keabsahan Akta Notaris/PPAT Dalam Pemberian Hak Guna Bangunan Bagi Perseroan Terbatas”, Jurnal Magister Hukum Udayana, Vol. 6, No.1, (2017).