Dalam sistem hukum pidana Indonesia, pidana tidak hanya terdiri atas hukuman pokok seperti penjara atau denda, tetapi juga mencakup pidana tambahan yang memiliki peran penting dalam menegakkan keadilan. Pidana tambahan berfungsi untuk memperkuat efek hukuman, memulihkan kerugian korban, serta melindungi kepentingan umum dari dampak lanjutan tindak pidana.
Artikel ini akan membahas mengenai pengertian pidana tambahan, jenis-jenisnya sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) lama maupun baru, serta beberapa contoh kasus aktual yang mencerminkan penerapan pidana tambahan dalam praktik hukum Indonesia.
Baca juga: Perbedaan Putusan Bebas dan Lepas dalam Hukum Pidana
Pengertian pidana tambahan
Pidana tambahan adalah pidana yang tidak berdiri sendiri, melainkan dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok. Tujuan dari pidana ini adalah menambah efek jera atau mengatur konsekuensi lebih lanjut atas pidana yang dilakukan. Moeljatno menyebutkan bahwa pidana tambahan bertujuan untuk memperberat hukuman atau memperjelas akibat hukum dari perbuatan pidana.
Di Indonesia, pidana tambahan biasanya berupa pencabutan hak, perampasan barang tertentu, atau pengumuman putusan hakim. Jadi, pidana tambahan bukanlah hukuman utama seperti penjara atau denda, melainkan pelengkap dari pidana pokok.
Baca juga: Keadilan Restoratif dalam Hukum Pidana: Pengertian, Dasar Hukum, dan Contoh Kasus
Dasar hukum pidana tambahan


Di Indonesia, beberapa dasar hukum yang mengatur mengenai pidana tambahan adalah sebagai berikut:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Lama)
Diatur dalam Pasal 68, yang mengatur bahwa pidana tambahan terdiri atas pencabutan hak, perampasan barang-barang tertentu, dan pidana kurungan pengganti.
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP (KUHP Baru)
Diatur dalam Pasal 66, pidana tambahan terdiri atas pencabutan hak tertentu, perampasan barang tertentu dan/atau tagihan, pengumuman putusan hakim, pembayaran ganti rugi, pencabutan izin tertentu, dan pemenuhan kewajiban adat setempat.
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
KUHAP memberikan mekanisme atau tata cara pelaksanaan untuk pidana tambahan, seperti untuk perampasan barang bukti, dll.
Pidana tambahan dalam KUHP lama berorientasi penghukuman serta lebih fokus pada efek jera dan hukuman tambahan terhadap pelaku, sehingga dianggap perlu pembaruan karena kurang responsif terhadap perkembangan sosial. Sedangkan dalam KUHP baru, pidana tambahan memiliki orientasi pada penghukuman sekaligus pemulihan karena mengakomodasi keadilan restoratif dan nilai adat setempat, sehingga dianggap lebih modern dan responsif terhadap nilai sosial, ekonomi, dan budaya.
Baca juga: Pahami Istilah Uitlokker dalam Penjatuhan Tindak Pidana
Jenis-jenis pidana tambahan dalam KUHP
Berdasarkan Pasal 67 KUHP Baru, beberapa jenis pidana tambahan adalah sebagai berikut:
- Pencabutan hak tertentu, seperti hak untuk memilih atau dipilih dan hak untuk menjalankan profesi tertentu.
- Perampasan barang dan/atau tagihan, yaitu perampasan terhadap tagihan (piutang, saldo, dsb.).
- Pengumuman putusan hakim, yaitu putusan pidana diumumkan secara terbuka untuk memberikan efek jera sosial.
- Pembayaran ganti kerugian, yaitu pelaku wajib menjalankan kewajiban adat setempat sebagai bentuk pertanggungjawaban.
- Perbaikan akibat tindak pidana, yaitu pelaku wajib memperbaiki kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan akibat tindakannya, misalnya membangun ulang fasilitas umum yang dirusak.
Baca juga: Apa Itu Daluwarsa (Verjaring)? Pahami Perbedaannya dalam Hukum Pidana dan Perdata
Contoh kasus pidana tambahan di Indonesia
Contoh kasus pidana tambahan di Indonesia adalah kasus milik Setya Novanto. Pada Putusan Pengadilan Tipikor Jakarta No. 130/Pid.Sus/TPK/2017/PN.Jkt.Pst, Setya Novanto, dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk menduduki jabatan publik selama 5 (lima) tahun setelah menyelesaikan masa pidananya.
Selain itu, ada juga kasus yang dialami oleh Jessica Kumala Wongso yang divonis bersalah dalam kasus pembunuhan berencana menggunakan racun sianida. Berdasarkan Putusan PN Jakarta Pusat No. 777/Pid.B/2016/PN.Jkt.Pst, Jessica dijatuhi pidana pokok yakni penjara selama 20 (dua puluh) tahun. Dalam putusannya, hakim juga memerintahkan untuk perampasan barang bukti seperti tas, pakaian, dan barang-barang lain yang digunakan saat tindak pidana untuk dirampas untuk negara.
Kasus ini menunjukkan bahwa pidana tambahan tidak selalu berupa pencabutan hak politik saja, tapi bisa berbentuk perampasan barang yang terkait dengan kejahatan. Hal ini penting untuk mencegah barang bukti beredar lagi dan memberikan efek hukum lanjutan terhadap pelaku.
Baca juga: Kenali Istilah Samenloop dalam Hukum Pidana
Perbedaan sanksi pidana tambahan dan pidana pokok


Berikut merupakan perbedaan sanksi pidana tambahan dan pidana pokok:
- Pidana pokok
Merupakan hukuman utama yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana. Sanksi pidana pokok ini wajib dijatuhkan apabila terbukti bersalah. Fungsinya untuk memberi efek utama dari penghukuman, seperti pembatasan kebebasan. Contohnya adalah penjara, denda, pidana mati, dan kerja sosial. Misalnya apabila seseorang membunuh, maka hukuman pokoknya adalah pidana penjara atau hukuman mati.
- Pidana tambahan
Merupakan hukuman tambahan yang mendampingi pidana pokok, untuk memperberat atau melengkapi sanksi. Pidana tambahan kedudukannya tidak wajib, tergantung dari pertimbangan hakim. Contohnya adalah pencabutan gak tertentu, perampasan barang, ganti rugi, dll. Tujuannya adalah memberi efek tambahan seperti mengembalikan kerugian dan memberi efek jera terhadap pelaku. Misalnya setelah dijatuhi pidana penjara, pelaku pembunuhan juga dilarang untuk menjadi pejabat publik lagi (pencabutan hak).
Hakim tidak bisa menjatuhkan pidana tambahan tanpa menjatuhkan pidana pokok terlebih dahulu. Artinya, pidana tambahan harus melekat pada pidana pokok.
Baca juga: Kenali Istilah Poging dalam Hukum Pidana
Implikasi hukum dari pidana tambahan
Implikasi adalah konsekuensi atau akibat dari suatu hal, tindakan, atau keputusan. Pidana tambahan tidak hanya menambah beban hukuman bagi terdakwa, namun juga membawa implikasi hukum yang sangat spesifik dan luas, baik terhadap hak-hak terdakwa maupun terhadap korban dan masyarakat. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
- Pembatasan hak-hak tertentu
Yakni membatasi ruang gerak terpidana baik secara sosial, politik dan ekonomi. Juga melindungi masyarakat dari kemungkinan terjadinya pengulangan bahaya yang ditimbulkan dari tindak pidana tersebut.
- Penguatan efek jera
Yakni menciptakan tekanan sosial bagi terpidana. Selain itu, memberikan pembelajaran bagi publik.
- Pemulihan kerugian untuk korban dan negara
Yakni memulihkan kondisi keuangan korban atau negara dan mendorong keadilan restoratif.
- Penghormatan dan pelestarian nilai adat
Yakni mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat. Selain itu, juga merupakan salah satu bentuk penyelesaian konflik sosial berbasis budaya.
- Perbaikan kerusakan akibat kejahatan
Yakni mendorong tanggung jawab langsung dari pelaku tindak pidana. Selain itu, membantu rekonstruksi sosial dan ekonomi dari tempat yang terdampak.
Baca juga: Mengenal Pledoi: Hak Terdakwa di Sidang Pidana
Perqara telah melayani lebih dari 27.700 konsultasi hukum
Untuk permasalahan hukum terkait Pidana, Perqara telah menangani lebih dari 11.00 kasus. Ada ratusan mitra Advokat Perqara dengan keahlian khusus di masing-masing bidangnya seperti ketenagakerjaan, perkawinan dan perceraian, pertanahan, dan masih banyak lagi. Sehingga, klien dapat konsultasi tentang masalah hukum lainnya sesuai dengan permasalahan yang sedang dialami.
Konsultasi hukum online di Perqara
Apabila Sobat Perqara memiliki permasalahan hukum terkait pidana, Sobat dapat mengobrol langsung dengan advokat profesional secara gratis hanya di Perqara. Download aplikasi Perqara sekarang dan dapatkan konsultasi hukum gratis untuk mendapatkan solusi hukum tepat kapan pun dan di mana pun.
Baca juga: Pembelaan Terpaksa (Noodweer) Dalam Hukum Pidana
(Artikel ini telah disunting oleh Tim Redaksi Perqara)
Dasar hukum
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Lama).
- Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP (KUHP Baru).
- Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Referensi
- Hariman Satria, “Penerapan Pidana Tambahan Dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Tindak Pidana Lingkungan Hidup (Kajian Putusan Nomor 1554 K/PID.SUS/2015)”, Jurnal Yudisial, Vol. 10 No. 2, (Agustus 2017): hlm. 155-171.
- Hukum Online, “Mengenali Beragam Jenis Pidana Tambahan dalam KUHP Baru”, diakses pada 25 April 2025 pukul 19.39 WIB. [ https://www.hukumonline.com/berita/a/mengenali-beragam-jenis-pidana-tambahan-dalam-kuhp-baru-lt6391ba66673ce/?page=all ]
- Jeys Netalinda, “Analisis Pembuktian Pidana Dalam Putusan Nomor 777/Pid/B/2016/PN.JKT.PST. Tentang Pembunuhan Berencana”, Rio Law Jurnal, Vol. 6 No. 1, (2025): hlm 239-252.
- Puput Wulandari, “Implikasi Pidana Tambahan Terhadap Korporasi Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang”, Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan, Vol. 4 No. 4, (November 2020): hlm. 150-165.