Subrogasi adalah suatu istilah dalam hukum perdata yang mungkin terdengar asing bagi sebagian orang, namun konsep ini memegang peranan penting dalam hubungan utang-piutang, khususnya ketika melibatkan pihak ketiga yang melakukan pelunasan utang. Mekanisme ini sering muncul dalam praktik perbankan, asuransi, hingga penjaminan. Artikel ini akan mengulas secara lengkap mengenai pengertian subrogasi, dasar hukumnya di Indonesia, serta penerapannya dalam praktik hukum perdata.

Baca juga: Prosedur Pembuatan Akta Notaris Anti Ribet

Apa itu subrogasi?

Subrogasi adalah suatu pengalihan hak dari seorang kreditur kepada pihak ketiga yang telah melunasi utang si debitur kepada kreditur tersebut. Dengan kata lain, pihak ketiga menggantikan posisi kreditur semula.

Dalam konteks hukum perdata, subrogasi adalah salah satu bentuk peralihan piutang, di mana pihak yang membayar hutang orang lain memiliki hak untuk menuntut si debitur sebagaimana hak yang dimiliki oleh kreditur semula.

Baca juga: Kreditur Separatis dalam Konteks Hukum

Dasar hukum subrogasi di Indonesia

Dasar hukum subrogasi di Indonesia
Dasar hukum subrogasi di Indonesia (Sumber: Shutterstock)

Subrogasi diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yakni pada:

  1. Pasal 1328 KUH Perdata, mengenai pembayaran yang dilakukan oleh pihak ketiga.
  2. Pasal 1400 KUH Perdata, bahwa subrogasi adalah penggantian hak-hak oleh seorang pihak ketiga yang membayar kepada kreditur.
  3. Pasal 1401 KUH Perdata, mengatur tentang subrogasi yang terjadi karena perjanjian.
  4. Pasal 1402 KUH Perdata, mengatur subrogasi yang terjadi karena undang-undang.

Baca juga: Tak Lunasi Kredit Dipidana? Simak Pembahasan Ini

Jenis-jenis subrogasi

Berdasarkan KUHPerdata dan doktrin hukum perdata, subrogasi terbagi menjadi dua, yakni:

  1. Subrogasi Legal (Subrogatie van Rechter), yaitu disebut juga sebagai subrogasi karena undang-undang. Subrogasi ini terjadi secara otomatis, tanpa memerlukan persetujuan atau perjanjian khusus. Seperti contoh pemilik barang yang dijaminkan membayar utang untuk membebaskan barangnya.
  2. Subrogasi Konvensional (Subrogatie van Partijen), yaitu disebut juga sebagai subrogasi karena adanya perjanjian atau kehendak para pihak. Subrogasi ini harus disepakati dan bisa dituangkan ke dalam akta pelunasan dan/atau kuitansi yang mencantumkan bahwa pembayar menggantikan kreditur.

Baca juga: Cara Membuat Surat Somasi Utang

Contoh penerapan subrogasi

Contoh penerapan subrogasi adalah sebagai berikut:

  1. Subrogasi Legal

A adalah debitur, B adalah kreditur, dan C adalah penjamin A. ketika A gagal melakukan pembayaran, C membayar hutang A kepada B. Maka secara hukum, C otomatis menggantikan posisi B sebagai kreditur terhadap A.

  1. Subrogasi Konvensional

A berhutang kepada B sebesar Rp 100 juta, C setuju membayar utang A kepada B dengan syarat C akan memiliki hak tagih yang sama terhadap A. B menyetujui dan mencantumkan dalam kuitansi bahwa C menggantikan hak-hak B. maka, C secara sah menjadi kreditur baru terhadap A (subrogasi konvensional).

Baca juga: Apa Itu Akta Otentik? Simak Pembahasan Ini!

Perbedaan subrogasi dan cessie

Berikut adalah perbedaan antara subrogasi dan cessie:

  1. Subrogasi

Merupakan penggantian pihak ketiga dalam posisi kreditur karena telah melunasi utang debitur kepada kreditur. Hal ini bisa terjadi karena hukum (otomatis) atau perjanjian (konvensional), yang mana tidak wajib melakukan pemberitahuan kepada debitur. Tujuannya adalah memberikan hak kepada pihak ketiga yang telah melakukan pelunasan. Pihak yang membayar hutang debitur sekaligus penerima hak merupakan pihak ketiga yang merupakan penjamin atau pihak berkepentingan. Contohnya adalah perusahaan asuransi menggantikan kerugian dan menagih pihak ketiga penyebab kerugian.

  1. Cessie

Merupakan pengalihan hak tagih (piutang) dari kreditur lama kepada kreditur baru berdasarkan perjanjian. Hal ini hanya bisa terjadi melalui perjanjian secara jelas. Tujuannya adalah memindahkan hak tagih kepada pihak lain dan bisa untuk kepentingan komersial, yang mana wajib diberitahukan atau disetujui oleh debitur. Tidak ada pembayaran utang, hanya peralihan hak tagih saja dengan pihak lain (perorangan/badan hukum) yang membeli/menerima piutang. Contohnya adalah Bank A menjual piutangnya kepada perusahaan pembiayaan (factoring).

Baca juga: Apakah Perlu Surat Perjanjian Utang Piutang? Simak Fungsi dan Contohnya!

Syarat terjadinya subrogasi

Syarat terjadinya subrogasi
Syarat terjadinya subrogasi (Sumber: Shutterstock)

Subrogasi bisa terjadi dalam dua bentuk yakni legal (undang-undang) dan konvensional (perjanjian). Masing-masing memiliki syarat yang berbeda, yaitu sebagai berikut:

  1. Syarat 

Subrogasi secara hukum otomatis terjadi jika:

  1. Pembayaran dilakukan oleh penjamin (borg), yaitu penjamin wajib membayar jika debitur wanprestasi.
  2. Pembayaran dilakukan oleh pemilik barang yang dibebani hipotek atau gadai untuk membebaskan barangnya.
  3. Pembayaran dilakukan oleh pihak ketiga yang berkepentingan langsung terhadap pelunasan tersebut.
  4. Tidak memerlukan persetujuan eksplisit dari kreditur atau debitur.
  5. Syarat
    • Adanya persetujuan eksplisit dari kreditur bahwa pihak ketiga akan menggantikan posisinya.
    • Disebutkan secara tegas dalam kuitansi pelunasan dan/atau akta khusus bahwa pembayar menggantikan hak-hak kreditur (hak tagih, jaminan, bunga, dll.).
    • Pembayaran dilakukan oleh pihak ketiga, bukan oleh debitur sendiri.
    • Tanpa pemenuhan syarat di atas, pihak ketiga hanya dianggap membantu pembayaran, bukan kreditur.

Baca juga: Surat Penagihan Utang Legal yang Efektif dan Sah di Indonesia

Manfaat subrogasi bagi pihak ketiga

Subrogasi memberikan perlindungan hukum dan kepastian bagi pihak ketiga yang melunasi utang, terutama dalam konteks bisnis dan perjanjian penjaminan. Berikut manfaat utamanya:

  1. Memperoleh hak tagih resmi

Pihak ketiga berhak menagih kepada debitur sebesar jumlah yang telah dibayarkan kepada kreditur.

  1. Mewarisi hak-hak jaminan

Termasuk hak atas hipotek, gadai, hak tanggungan lainnya. Pihak ketiga yang menggantikan kreditur juga memperoleh jaminan yang melekat pada utang semula.

  1. Menghindari kerugian finansial atau hukum

Misalnya penjamin tidak dirugikan karena dapat menuntut kembali kepada debitur, atau pemilik barang tidak kehilangan aset karena dapat menagih kepada debitur.

  1. Memudahkan transaksi komersial

Subrogasi memungkinakan perusahaan asuransi menuntut pihak ketiga yang menyebabkan kerugian. Juga bank atau Lembaga keuangan tetap dapat menagih utang dari debitur meski hak tagih telah beralih ke pihak yang membayar.

Baca juga: Perbedaan PKP dan Non PKP: Kewajiban, dan Dampaknya dalam Bisnis

Perqara telah melayani lebih dari 27.700 konsultasi hukum

Untuk permasalahan hukum terkait Perdata, Perqara telah menangani lebih dari 7.000 kasus. Ada ratusan mitra Advokat Perqara dengan keahlian khusus di masing-masing bidangnya seperti ketenagakerjaan, perkawinan dan perceraian, pertanahan, dan masih banyak lagi. Sehingga, klien dapat konsultasi tentang masalah hukum lainnya sesuai dengan permasalahan yang sedang dialami.

Konsultasi hukum online di Perqara

Apabila Sobat Perqara memiliki permasalahan hukum terkait permasalahan ini, Sobat dapat mengobrol langsung dengan advokat profesional secara gratis hanya di Perqara. Download aplikasi Perqara sekarang dan dapatkan konsultasi hukum gratis untuk mendapatkan solusi hukum tepat kapan pun dan di mana pun.

Baca juga: Pengertian, Fungsi, dan Contoh Non-Disclosure Agreemet

(Artikel ini telah disunting oleh Tim Redaksi Perqara)

Dasar hukum

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

Referensi

  1. Muhammad Yunus dan Eko Raharto, “Praktik Subrogasi Perspektif Hukum Positif dan Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI)”, Jurnal Kajian Ekonomi Syariah, Vol. 4, No. 2, (2022): hlm. 15-23.
  2. Yumei Karuniawati, “Perbandingan Subrogasi dan Cessie Berdasarkan Hukum Civil Law dan Common Law”, Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Mataram, (2020): hlm. 1-12.
  3. Jifer Naki, “Subrogasi Sebagai Salah Satu Alasan Hapusnya Perikatan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)”, Jurnal Lex Privatum, Vol. 7, No. 1, (2019): hlm. 31-38.