Menikah adalah impian banyak orang, tetapi bagaimana jika pasanganmu memiliki keyakinan yang berbeda? Di Indonesia, isu hukum perkawinan beda agama masih menjadi perbincangan hangat. Secara hukum, tidak ada aturan yang secara jelas mengatur perkawinan beda agama, sehingga menimbulkan berbagai interpretasi.
Artikel ini akan mengupas tuntas hukum perkawinan beda agama di Indonesia, termasuk implikasi, dan dampaknya. Yuk, kita telusuri lebih dalam topik menarik sekaligus kompleks ini!
Baca juga: Nikah Beda Agama di Indonesia, Apakah Diperbolehkan?
Landasan hukum perkawinan di Indonesia


Landasan hukum perkawinan di Indonesia diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu:
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan)
UU ini merupakan dasar utama yang mengatur perkawinan di Indonesia. Beberapa hal penting yang diatur dalam UU ini meliputi:
- Syarat sahnya suatu perkawinan;
- Hak dan kewajiban suami dan istri;
- Pembatalan perkawinan;
- Perceraian;
- Perkawinan campuran (perkawinan antara warga negara Indonesia dengan warga negara asing).
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
UU ini mengatur pencatatan perkawinan sebagai bagian dari administrasi kependudukan yang harus dilaksanakan oleh negara. Semua perkawinan yang melibatkan warga negara Indonesia harus tercatat secara resmi agar sah di mata hukum.
- Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam, perkawinan juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam yang diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. KHI mengatur berbagai hal terkait perkawinan, seperti syarat sahnya perkawinan menurut hukum Islam, pembatalan perkawinan, hak dan kewajiban suami-istri, serta perceraian.
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
Bagi masyarakat Indonesia yang bukan penganut agama Islam, hukum perdata mengatur hubungan suami dan istri yang berada dalam suatu ikatan perkawinan. KUHPerdata mencakup masalah harta bersama, hak waris, dan hak serta kewajiban pasangan dalam perkawinan.
Secara keseluruhan, dasar hukum perkawinan di Indonesia berupaya untuk mengakomodasi berbagai kebutuhan hukum masyarakat Indonesia yang memiliki beragam agama dan budaya, dengan tetap mengacu pada prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan dalam perkawinan.
Baca juga: Ingin Menikah dengan WNA? Ini Syaratnya!
Perspektif agama mengenai perkawinan beda agama


Perkawinan beda agama dalam berbagai perspektif agama di Indonesia memiliki pandangan yang beragam, tergantung dengan ajaran dan interpretasi masing-masing agama. Setiap agama memiliki ajaran, aturan, dan nilai-nilai yang berbeda dalam menyikapi masalah perkawinan, khususnya ketika berkaitan dengan perbedaan agama antara pasangan. Berikut adalah perspektif beberapa agama utama di Indonesia mengenai perkawinan beda agama:
- Islam
Dalam KHI, menegaskan bahwa pernikahan antara seorang Muslim dengan non-Muslim hukumnya adalah tidak sah. Jika pernikahan tersebut terjadi, maka pernikahan tersebut perlu disesuaikan dengan hukum yang berlaku. Proses perkawinan biasanya akan mengharuskan pasangan non-Muslim untuk memeluk agama Islam.
- Kristen (Katolik dan Protestan)
- Katolik
Berdasarkan Kitab Hukum Kanonik Nomor 1086, perbedaan agama antara calon suami dan istri merupakan halangan perkawinan yang sah. Namun, jika keduanya ingin menikah dengan sah, keduanya harus mendapatkan dispensasi. Untuk mendapatkan dispensasi ini, pasangan calon suami dan istri harus memenuhi beberapa persyaratan.
- Protestan
Dalam Alkitab yang tercantum dalam 2 Korintus pasal (6) ayat 14 berbunyi:
“Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?”. Pernyataan tersebut merupakan suatu larangan terhadap seorang Kristen menikah dengan non-kristen, karena hal tersebut menyebabkan ketidakseimbangan.
- Hindu
Perkawinan beda agama dalam ajaran agama Hindu tidak mungkin disahkan melalui vivaha samskara karena bertentangan dengan ketentuan dari Susastra Veda. Jika perkawinan beda agama tetap dilakukan, maka pasangan suami dan istri dianggap tidak sah dan selamanya dianggap sebagai samgrhana atau perbuatan zina.
- Buddha
Dalam pandangan agama Buddha, pernikahan beda agama sering kali dianggap sebagai situasi yang kompleks dan menimbulkan tantangan. Pandangan ini didasarkan pada ajaran Buddha yang mengutamakan pentingnya keyakinan yang sama (samma saddha) pada ajaran praktik keagamaan yang sama. Pandangan mengenai pernikahan beda agama dalam agama Buddha dapat bervariasi di antara komunitas Buddha yang berbeda.
Baca juga: Perkawinan Campuran? Jangan Lupa Buat Perjanjian Kawin?
Dampak sosial perkawinan beda agama


Perkawinan beda agama di Indonesia dapat menimbulkan berbagai dampak sosial yang kompleks, mengingat indonesia adalah negara dengan populasi yang beragam, baik dari segi agama, budaya, maupun adat istiadat. Dampak sosial dari perkawinan beda agama di Indonesia sangat bergantung pada konteks sosial dan budaya masing-masing daerah serta pandangan individu atau keluarga.
Tantangan yang muncul dalam perkawinan beda agama bisa sangat besar, baik dalam hal hubungan keluarga, pendidikan anak, diskriminasi sosial, maupun dalam praktik hukum. Namun, perkawinan beda agama juga dapat menjadi sarana untuk mendorong pemahaman yang lebih baik tentang toleransi dan pluralisme di masyarakat Indonesia.
Baca juga: Syarat Perkawinan Menurut Hukum Indonesia
Apakah nikah beda agama bisa mendapatkan akta nikah?
Berdasarkan peraturan yang ada, pernikahan beda agama di Indonesia secara umum tidak bisa mendapatkan akta nikah secara langsung melalui Kantor Urusan Agama (KUA) atau catatan sipil, mengingat peraturan yang berlaku cenderung mendasarkan perkawinan pada kesepakatan agama masing-masing pihak. Namun, perkawinan beda agama tetap bisa mendapatkan akta nikah bila dilakukan di luar Negara Kesatuan Republik Indonesia atau dengan kata lain, dilakukan pada negara yang memperbolehkan terselenggaranya perkawinan beda agama.
Mengenai perkawinan warga negara Indonesia yang dilangsungkan di luar Indonesia, diatur dalam Pasal 56 ayat (1) UU Perkawinan, yang berbunyi:
“Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warga negara Indonesia atau seorang warga negara Indonesia dengan warga negara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan undang-undang ini.”
Pasal dalam UU Perkawinan di atas sejalan dengan Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan berbunyi “Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan” yang dimana dalam bagian penjelasan dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan” adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama.
Setelah menyelenggarakan perkawinan di luar negeri, pasangan suami dan istri harus melaporkan perkawinannya pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) sesuai domisili. Setelah itu, Disdukcapil akan menerbitkan Surat Keterangan Pelaporan telah terjadinya perkawinan warga negara Indonesia di luar negeri. Hal ini tertuang dalam Pasal 97 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam negeri Nomor 108 Tahun 2019, yang berbunyi:
“Setiap pencatatan peristiwa penting yang dialami oleh WNI di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib dilaporkan oleh WNI kepada Disdukcapil Kabupaten/Kota atau UPT Disdukcapil Kabupaten/Kota di tempat domisili paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak kembali ke Indonesia.”
Baca juga: Persetujuan Adopsi Anak: Proses dan Implikasi Hukumnya
Perqara telah melayani lebih dari 27.700 konsultasi hukum
Untuk permasalahan hukum terkait Perkawinan dan Perceraian, Perqara telah menangani lebih dari 5.500 kasus. Ada ratusan mitra Advokat Perqara dengan keahlian khusus di masing-masing bidangnya seperti ketenagakerjaan, perkawinan dan perceraian, pertanahan, dan masih banyak lagi. Sehingga, klien dapat konsultasi tentang masalah hukum lainnya sesuai dengan permasalahan yang sedang dialami.
Konsultasi hukum online di Perqara
Apabila Sobat Perqara memiliki permasalahan hukum atau pertanyaan lebih lanjut terkait hukum perkawinan beda agama di Indonesia, Sobat dapat mengobrol langsung dengan advokat profesional secara gratis hanya di Perqara. Download aplikasi Perqara sekarang dan dapatkan konsultasi hukum gratis untuk mendapatkan solusi hukum tepat kapan pun dan di mana pun.
Baca juga: Perlindungan Hukum Ibu Hamil dan Menyusui
(Artikel ini telah disunting oleh Tim Redaksi Perqara)
Dasar hukum
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
- Kompilasi Hukum Islam
- Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 108 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil
Referensi
- E. J Markus. “Analisis Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama di Indonesia”. Jurnal Hukum to-ra, Vol. 9 No. 1 (2023). Hlm. 24-31.
- V. D. Pratiwi. “Pernikahan Beda Agama dalam Pandangan Agama Buddha”. Jurnal Penelitian Agama, Vol. 24 No. 2 (2023). Hlm. 191-204.
- J. M. Makalew. “Akibat Hukum dari Perkawinan Beda Agama di Indonesia”. Lex Privatum, Vol. 1 No. 2 (2013). Hlm. 131-144.