Semenjak diperbaharuinya Undang-Undang Informasi dan Transformasi Elektronik (UU ITE) yang mengatur tentang pencemaran nama baik melalui media elektronik, ada banyak kasus di mana artis atau figur publik melakukan tuntutan terhadap orang-orang yang menghinanya. Hal ini bisa membuat seseorang dapat terjerat hukum karena menghina artis di media sosial.

Namun, salah satu kasus yang menghebohkan dunia maya hingga memunculkan perdebatan tentang validitas hukum ini adalah kasus perseturuan fans NCT dengan Safa yang menghina grup band asal Korea Selatan yaitu NCT. Bagaimana tidak, perseteruan yang berawal di media sosial Twitter ini menjalar menjadi kasus bullying hingga terjadinya delik aduan.

Yuk simak kasus ini untuk memahami lebih lanjut tentang UU ITE yang mengatur tentang pencemaran nama baik. Apakah menghina artis bisa terjerat hukum? Simak penjelasannya berikut ini.

Kasus Perseteruan Safa dan Fans NCT

Perseteruan antara Safa dan Fans NCT dimulai dari cuitan Safa di Twitter yang menyinggung dua member NCT, yaitu Renjun dan Jaemin. Singgungan tersebut dianggap terlalu kasar oleh fans NCT, sehingga cuitan ini mengundang amarah dari fans NCT yang mengatasnamakan Renjun dan Jaemin sendiri. 

Menghina artis bisa terjerat hukum? Simak kasus safa dan fans NCT
Grup band NCT asal Korea Selatan (Sumber: Kathy Hutchins/Shutterstock)

Situasi pun semakin memanas ketika fans NCT menuntut permintaan maaf dari Safa baik secara lisan melalui video maupun tertulis yang memuat meterai dan tanda tangan dari kedua orang tuanya. Alih-alih menuruti permintaan tersebut, Safa justru menolak.

Pada akhirnya, fans NCT yang tidak puas dengan respon Safa kembali bersikeras menuntut pertanggungjawabannya. Namun tuntutan ini bukan dengan tata cara permintaan maaf yang dimintakan sebelumnya, melainkan dengan melontarkan ancaman pada Safa untuk diseret ke meja hijau dalam ranah hukum pidana atas dilakukannya pencemaran nama baik.

Ancaman ini pun juga dilontarkan dengan mengatasnamakan hak asasi manusia (“HAM”), oknum partai politik dan kepolisian. Menghadapi ancaman yang terus datang, Safa pun akhirnya menuliskan permohonan maaf pada akun Twitter miliknya. Dari permintaan maaf tersebut, fans NCT pun turut membatalkan ancaman meja hijau yang sempat mereka lontarkan.

Validitas Tuntutan Pidana oleh Fans NCT terhadap Safa

Sejatinya, keberlangsungan nama baik seseorang merupakan HAM yang sudah sepatutnya dipenuhi oleh setiap bagian dari masyarakat. Oleh sebab itu, hukum hadir untuk mengakomodasi nama baik tersebut. Fakta ini berkaitan dengan delik yang disangkakan kepada Safa sebagaimana disebutkan di atas, yaitu delik pencemaran nama baik yang dilakukan melalui media sosial.

Dalam hal ini, pencemaran nama baik atau penghinaan secara umum sejatinya telah diatur pada Pasal 310 dan Pasal 315 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), yang mana menegaskan bahwa barangsiapa dengan sengaja merusak kehormatan atau nama baik orang lain, menistakan orang lain dengan tulisan, menghina dan mencemar orang lain dengan tulisan maupun lisan di muka umum diancam dengan pidana penjara dan/atau pidana denda kepadanya. 

Selain itu, sehubungan dengan dilakukannya pencemaran nama baik pada laman media sosial, selanjutnya secara khusus diatur pada Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 (“UU ITE”), dimana setiap orang yang dengan sengaja menyebarkan informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik turut diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00. Alhasil, tentu perbuatan yang dilakukan Safa adalah tidak terpuji dan dikategorikan sebagai pencemaran nama baik terhadap Renjun dan Jaemin, sehingga memang bisa saja dipidana.

Akan tetapi, pemidanaan delik pencemaran nama baik bukanlah delik biasa yang dapat dilaporkan oleh siapa saja. Delik pencemaran nama baik melalui media sosial sebagaimana ditegaskan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 dan Nomor 2/PUU-VII/2009 merupakan delik aduan, yang artinya untuk dapat dituntut di hadapan pengadilan haruslah berdasarkan pengaduan dan persetujuan dari korban yang bersangkutan dan bukan oleh masyarakat umum layaknya delik biasa.

Dalam kasus Safa, aduan pencemaran nama baik ini harus berasal dari Renjun dan Jaemin sendiri yang merupakan korban. Dengan demikian, tuntutan hukum atas laporan dari fans NCT semata tidaklah valid secara hukum.

Perlindungan Hukum bagi Safa

Keterlibatan Safa dalam kasus ini tidak sepenuhnya dikategorikan sebagai pelaku semata. Atas berbagai ancaman yang diterima Safa dari sejumlah fans NCT yang bersangkutan secara tidak langsung juga menimbulkan rasa takut, trauma, dan ketidaknyamanan, sehingga Safa pun dalam perspektif yang berbeda dapat dikategorikan sebagai korban.

Terlebih ketika ancaman yang diterima oleh Safa membawa nama instansi tempat orang tuanya mengabdi, hingga menggunakan embel-embel kader partai politik yang merupakan afiliasi dari fans NCT tersebut. 

Dalam hal ini, Safa seyogyanya bisa mendapatkan perlindungan hukum bagi dirinya yang merujuk pada Pasal 335 ayat (1) KUHP jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XI/2013, di mana pasal ini mengatur tentang setiap orang yang dengan melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan sesuatu, tidak melakukan sesuatu, atau membiarkan sesuatu.

Paksaan itu dilakukan dengan memakai kekerasan atau dengan memakai ancaman kekerasan, perbuatan lain maupun perbuatan tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain, sehingga dapat diartikan sebagai pemaksaan terhadap orang lain untuk melakukan hal yang bertentangan dari kehendaknya sendiri. Dengan itu, pelaku dapat diancam pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp4.500.000,00.

Dengan demikian, baik Safa maupun fans NCT yang bersangkutan dalam perseteruan ini sejatinya memiliki derajat kesalahannya masing-masing. Safa yang tidak bijak menggunakan media sosial, sehingga menimbulkan cuitan dengan konten yang mencemari nama orang lain, serta fans NCT yang tidak bijak meresponi permasalahan dan justru menggunakan ancaman-ancaman verbal bagi Safa yang tidak seharusnya. 

Jika dilihat dari kasus perseteruan Safa dan Fans NCT, dapat disimpulkan bahwa menghina artis di media sosial dapat membuat seseorang terjerat hukum. Namun, jika pelaku juga mendapatkan perlakuan yang sama dari orang lain atas perlakuannya tersebut, ia pun juga berhak mendapatkan perlindungan hukum.

Perqara Telah Melayani Lebih dari 5.500 Konsultasi Hukum

Untuk permasalahan hukum terkait Perdata, Perqara telah menangani lebih dari 1.500 kasus. Ada ratusan mitra Advokat Perqara dengan keahlian khusus di masing-masing bidangnya seperti ketenagakerjaan, perkawinan dan perceraian, pertanahan, dan masih banyak lagi. Sehingga, klien dapat konsultasi tentang masalah hukum lainnya sesuai dengan permasalahan yang sedang dialami.

Konsultasi Hukum Gratis di Perqara

Apabila Sobat Perqara memiliki pertanyaan atau permasalahan hukum ini, Sobat dapat mengobrol langsung dengan advokat profesional secara gratis hanya di Perqara. Dapatkan konsultasi hukum gratis untuk mendapatkan solusi hukum tepat kapan pun dan di mana pun.

Baca juga: Extraordinary Attorney Woo: Ini Bedanya Sistem Peradilan Korea Selatan dan Indonesia

(Artikel ini telah disunting oleh Tim Redaksi Perqara)

Dasar Hukum

  1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016.
  2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
  3. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008.
  4. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-VII/2009.
  5. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XI/2013.
  6. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP