Sobat Perqara pasti pernah melihat atau mendengar cerita mengenai orang dewasa yang menyakiti anak orang lain atau bahkan menganiayanya, dan terkadang hal tersebut terjadi dikarenakan masalah sepele yang dapat diselesaikan secara bijak atau kekeluargaan. Dalam hal ini, korban penganiayaan merupakan anak yang masih di bawah umur.

Tindakan memukul anak orang lain ini merupakan hal yang sepatutnya tidak dilakukan. Pelaku kekerasan bisa mendapatkan ancaman hukum yang telah jelas tertulis dalam Undang-Undang. Kira-kira, apa sanksi hukum memukul anak orang lain? Apa dampak bagi anak sebagai korban penganiayaan?

Alasan Memukul Anak Orang Lain 

Umumnya, alasan pelaku melakukan tindakan memukul anak orang lain disebabkan karena anak tersebut memukul anak dari si pelaku. Pelaku tidak terima anaknya diperlakukan seperti itu, maka pelaku pun menghukum korban dengan perlakuan fisik seperti memukul, mencubit, menjewer, atau pun tindakan kekerasan fisik lainnya.

Selain itu, alasan memukul anak orang lain juga dapat disebabkan karena anak tersebut melakukan tindakan yang dianggap salah seperti meledek, mengganggu, sehingga membuat kesal sampai pelaku melakukan tindakan memukul. Masalah seperti ini sebenarnya sangatlah tidak layak untuk diselesaikan dengan kekerasan fisik maupun verbal.

Sanksi Hukum Memukul Anak Orang Lain 

Untuk menentukan apakah tindakan memukul anak orang lain dapat dikategorikan sebagai tindak pidana atau tidak, maka harus terlebih dahulu memperhatikan delik utama dari delik-delik penganiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 351 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), yaitu:

  1. Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
  2. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
  3. Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
  4. Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
  5. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

R. Soesilo mengatakan bahwa menurut yurisprudensi, penganiayaan artinya sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka. Lalu, menurut angka 4 pasal ini, termasuk juga dalam pengertian penganiayaan yakni sengaja merusak kesehatan orang. Berikut yang dimaksud dengan perasaan tidak enak, rasa sakit, luka, dan merusak kesehatan, yaitu:

  1. “perasaan tidak enak”, contohnya menyuruh orang berdiri di terik matahari, dan sebagainya.
  2. “rasa sakit” misalnya mencubit, mendupak, memukul, menempeleng, dan sebagainya.
  3. “luka” misalnya mengiris, memotong, menusuk dengan pisau dan lain-lain.
  4. “merusak kesehatan” misalnya orang sedang tidur, dan berkeringat, dibuka jendela kamarnya, sehingga orang itu masuk angin.

Selain itu, Andi Hamzah berpendapat bahwa penganiayaan adalah delik yang tidak definitif, maka perbuatan memukul, menjitak, menjewer, mencubit dan lain-lain dapat dikualifisir sebagai tindak pidana penganiayaan. Apabila seorang anak (korban) yang dipukul oleh pelaku tidak terluka berat serta pukulan tersebut tidak menjadi halangan baginya untuk melakukan kegiatannya, maka perbuatan tersebut digolongkan sebagai penganiayaan ringan yang diatur dalam Pasal 352 ayat (1) KUHP.

Tindakan memukul anak orang lain, walaupun tidak menyebabkan luka sudah merupakan suatu penganiayaan. Dalam hal ini korban penganiayaan merupakan anak yang masih di bawah umur, maka hukum memukul anak orang lain tersebut merujuk pada Pasal 76C jo. Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) sebagaimana yang telah diubah oleh UU Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35 Tahun 2014”), sebagai lex specialis (ketentuan hukum yang lebih khusus) dari pasal-pasal penganiayaan yang terdapat dalam KUHP, dapat diterapkan terhadap pelaku pemukulan atau penganiayaan terhadap anak orang lain.

Berikut bunyi Pasal 76C jo. Pasal 80 ayat (1) UU 35 Tahun 2014:

Pasal 76C UU 35 Tahun 2014, menyatakan bahwa “Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak.

Pelanggaran terhadap Pasal 76C UU 35 Tahun 2014 diancam dengan pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 80 ayat (1) UU 35 Tahun 2014, yang menyatakan bahwa “Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72 juta.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hukum memukul anak yang nakal dapat dikenakan sanksi berupa denda ataupun pidana penjara. Aturan ini juga berlaku bagi orang tua yang memukul anaknya. Hukuman ayah memukul anak perempuan atau laki-lakinya, begitupun juga ibu yang memukul anak-anaknya dapat merujuk pada aturan tersebut.

Dampak Memukul Anak 

Tindakan memukul anak tentunya memiliki dampak yang negatif, baik itu terhadap fisik maupun psikis sang anak. Riset telah menunjukan bahwa hukuman fisik seperti memukul tidak efektif dan buruk bagi perkembangan anak. Hukuman fisik seperti memukul akan memperburuk perilaku sang anak.

Hukuman dengan cara memukul, tidak membantu anak untuk memahami mengapa tindakan mereka salah. Sebab, hukuman tersebut tidak dilakukan dengan penjelasan yang mudah dipahami oleh sang anak. Anak yang menjadi korban pemukulan seringkali terjebak dalam emosi mereka sendiri untuk dapat memahami mengapa tindakan mereka salah. Di kemudian hari, mereka mungkin akan mematuhi perintah orang tua karena takut akan dihukum secara fisik lagi bukan karena mereka paham bahwa ini merupakan hal yang benar.

Dalam hal pengaruh terhadap perkembangan anak, hukuman fisik dikaitkan dengan perilaku sosial dan kesehatan mental. Anak-anak lebih cenderung memiliki masalah kesehatan emosional dan mental, seperti kecemasan dan depresi. Mereka juga memiliki lebih banyak kesempatan untuk mengembangkan sikap agresif dan terlibat dalam perilaku berisiko. Efek ini dapat merusak hubungan antara orang tua dan anak dan antara anak dan teman sebayanya.

Argumen kuat yang menentang penggunaan pukulan adalah bahwa anak-anak yang dipukul memiliki risiko lebih tinggi mengalami penganiayaan dan pelecehan oleh orang tua mereka. Sebab, seiring berjalannya waktu, orang tua akan menganggap bahwa diperlukan lebih banyak kekerasan untuk mendapatkan tingkat kepatuhan yang sama. Dalam riset ini menunjukan jelas bahwa memukul tidak pernah membawa hal positif untuk perkembangan anak.

Bukti penelitian sangat menunjukkan bahwa hukuman fisik seperti memukul memiliki hasil negatif. Orang tua dapat menggunakan berbagai bentuk disiplin lainnya untuk membantu anak-anak memahami mengapa perilaku mereka salah. Contohnya, mengeluarkan anak dari lingkungan di mana mereka melakukan sesuatu yang seharusnya tidak mereka lakukan, bernalar dengan anak, atau mengambil hak mereka, seperti mengambil video game mereka di akhir pekan.

Perqara Telah Melayani Lebih dari 5.500 Konsultasi Hukum

Untuk permasalahan hukum terkait Pidana, Perqara telah menangani lebih dari 2.200 kasus. Ada ratusan mitra Advokat Perqara dengan keahlian khusus di masing-masing bidangnya seperti ketenagakerjaan, perkawinan dan perceraian, pertanahan, dan masih banyak lagi. Sehingga, klien dapat konsultasi tentang masalah hukum lainnya sesuai dengan permasalahan yang sedang dialami.

Konsultasi Hukum Gratis di Perqara

Apabila Sobat Perqara memiliki permasalahan hukum terkait permasalahan hukum ini, Sobat dapat mengobrol langsung dengan advokat profesional secara gratis hanya di Perqara. Dapatkan konsultasi hukum gratis untuk mendapatkan solusi hukum tepat kapan pun dan di mana pun.

Baca juga: Hati-Hati! Ini Aturan Hukum Memukul Orang Duluan Hingga Memar

(Artikel ini telah disunting oleh Tim Redaksi Perqara)

Dasar Hukum

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
  2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan diubah kedua kalinya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana yang telah ditetapkan sebagai undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang,  sebagaimana telah dicabut sebagian dengan UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Referensi

  1. Elizabeth Thompson Gershoff. “Corporal Punishment by Parents and Associated Child Behaviors and Experiences: A Meta-Analytic and Theoretical Review”. Psychological Bulletin, Columbia University. Vol. 128, No. 4, ( 2002). Hlm. 539–579.
  2. David Elliman dan Margaret A Lynch. “The Physical Punishment of Children”. Arch Dis Child (2000). Hlm. 196-198.
  3. George W. Holden. “Perspectives on the Effects of Corporal Punishment: Comment on Gershoff (2002)”. Psychological Bulletin,University of Texas at Austin.  Vol. 128, No. 4 (2002). Hlm. 590–595
  4. The Lancet. “Physical Punishment and Child Outcomes: A Narrative Review of Prospective Studies.” https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0140673621005821?casa_token=_hapgfi0hE4AAAAA:Knm8oG2B_nmoCYRNnYiYGtjy2lVaePwaLFi0ak2iWNDCm9sbYXVgs0tRazuQgkTPMrySuQ41gKM. Diakses pada 11 April 2023.
  5. R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal.