Pernikahan dan keluarga merupakan menjadi salah satu pondasi penting dalam masyarakat. Di dalamnya, terdapat hak dan kewajiban yang saling mengikat antar anggota keluarga, salah satunya adalah kewajiban nafkah. Nafkah bukan hanya sekedar materi, tetapi juga mencakup pemenuhan kebutuhan lahir dan batin. Lantas, apa sebenarnya kewajiban nafkah dalam hukum keluarga di Indonesia? Siapa saja yang berhak dan wajib menafkahi? Bagaimana hukum mengaturnya? Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk kewajiban nafkah dalam hukum keluarga.
Baca juga: Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Hukum Keluarga
Pengertian nafkah dalam hukum keluarga
Dalam konteks hukum keluarga, nafkah diartikan sebagai pemberian yang wajib diberikan oleh seseorang kepada pihak lain yang memiliki hubungan keluarga, guna memenuhi kebutuhan hidup yang layak. Kebutuhan ini meliputi sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan lainnya yang dianggap wajar sesuai dengan kemampuan pemberi nafkah dan kebutuhan penerima nafkah.
Baca juga: Hak Waris Anak Tiri: Ketentuan Hukum dan Solusi yang Perlu Diketahui
Kewajiban nafkah suami terhadap istri
Dalam hukum Islam yang diadaptasi dalam Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”), suami memiliki kewajiban utama untuk menafkahi istrinya. Kewajiban ini timbul sejak terjadinya akad nikah dan tetap berlaku meskipun istri memiliki harta sendiri. Pada UU Perkawinan, kewajiban memberikan nafkah ini tercantum dalam Pasal 34 ayat (1), yang menyatakan bahwa suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
Lalu, kewajiban suami memberikan nafkah dalam KHI tercantum pada Pasal 80 ayat (4), yang menyatakan bahwa sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:
- Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri;
- Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak;
- Biaya pendidikan bagi anak
Baca juga: Persetujuan Orang Tua dalam Pernikahan: Pentingkah dan Bagaimana Menghadapinya?
Kewajiban nafkah orang tua terhadap anak
Orang tua memiliki kewajiban untuk menafkahi anaknya hingga anak tersebut dewasa dan mampu mandiri. Kewajiban ini berlaku bagi kedua orang tua, meskipun dalam praktiknya, ayah seringkali memegang peran utama dalam memberikan nafkah materi. Kewajiban nafkah orang tua meliputi:
- Pemenuhan kebutuhan dasar anak seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, dan kesehatan.
- Perhatian dan kasih sayang yang dibutuhkan untuk perkembangan psikologis anak.
Baca juga: Konsekuensi Nikah Siri Bagi Istri dan Anak: Dampak Hukum dan Sosial
Nafkah dalam kasus perceraian
Dalam kasus perceraian, kewajiban nafkah tetap berlaku, terutama bagi mantan suami terhadap mantan istri dan anak-anaknya. Jenis nafkah yang diberikan dapat berupa:
- Nafkah iddah. Nafkah yang wajib diberikan suami kepada mantan istri selama masa iddah (masa menunggu setelah perceraian).
- Nafkah mut’ah. Pemberian berupa uang atau barang dari mantan suami kepada mantan istri sebagai penghibur.
- Nafkah anak. Nafkah untuk memenuhi kebutuhan anak yang berada dalam pengasuhan salah satu pihak setelah perceraian. Pengadilan akan menentukan pihak yang bertanggung jawab membayar nafkah anak dan besaran nafkahnya.
Baca juga: Hukum Menikahi Janda dalam Islam
Peran negara dalam menegakkan kewajiban nafkah
Negara memiliki peran penting dalam menegakkan kewajiban nafkah melalui lembaga peradilan. Jika salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban nafkah, pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan ke pengadilan agama (bagi yang beragama Islam) atau pengadilan negeri (bagi yang beragama selain Islam). Pengadilan akan memutuskan besaran nafkah yang wajib dibayarkan dan dapat memberikan sanksi bagi pihak yang melalaikan kewajibannya.
Peran negara antara lain:
- Memfasilitasi proses mediasi dan persidangan terkait sengketa nafkah.
- Menetapkan putusan pengadilan yang mewajibkan pihak tertentu untuk membayar nafkah.
- Melakukan eksekusi putusan pengadilan jika pihak yang diwajibkan tidak memenuhi kewajibannya.
Baca juga: Cara Menikah Lagi Tanpa Akta Cerai: Apa yang Harus Diketahui dan Risikonya
Solusi dalam penyelesaian sengketa nafkah
Sengketa nafkah dapat diselesaikan melalui beberapa cara, antara lain:
- Musyawarah. Upaya penyelesaian secara kekeluargaan antara kedua belah pihak.
- Mediasi. Proses penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga yang netral.
- Litigasi. Penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan.
Penting untuk diingat bahwa penyelesaian sengketa nafkah sebaiknya diupayakan secara damai dan mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak-anak. Kewajiban nafkah merupakan bagian integral dari hukum keluarga yang bertujuan untuk menjamin kesejahteraan anggota keluarga. Pemahaman yang baik mengenai hak dan kewajiban ini sangat penting untuk menciptakan keluarga yang harmonis dan sejahtera. Jika Anda menghadapi permasalahan terkait nafkah, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan ahli hukum atau lembaga bantuan hukum untuk mendapatkan solusi yang tepat.
Baca juga: Ingin Gugat Cerai Pasangan? Ini Cara Mengurus Perceraian!
Perqara telah melayani lebih dari 27.700 konsultasi hukum
Untuk permasalahan hukum terkait Perkawinan dan Perceraian, Perqara telah menangani lebih dari 5.500 kasus. Ada ratusan mitra Advokat Perqara dengan keahlian khusus di masing-masing bidangnya seperti ketenagakerjaan, perkawinan dan perceraian, pertanahan, dan masih banyak lagi. Sehingga, klien dapat konsultasi tentang masalah hukum lainnya sesuai dengan permasalahan yang sedang dialami.
Konsultasi hukum gratis di Perqara
Apabila Sobat Perqara memiliki permasalahan hukum terkait permasalahan ini, Sobat dapat mengobrol langsung dengan advokat profesional secara gratis hanya di Perqara. Download aplikasi Perqara sekarang dan dapatkan konsultasi hukum gratis untuk mendapatkan solusi hukum tepat kapan pun dan di mana pun.
Baca juga: 8 Alasan Gugatan Cerai Yang Diterima Hakim
(Artikel ini telah disunting oleh Tim Redaksi Perqara)
Dasar hukum
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
- Kompilasi Hukum Islam.