Nikah mut’ah merupakan istilah yang mungkin terdengar asing bagi masyarakat umum. Praktik pernikahan ini seringkali memicu perdebatan di kalangan ulama maupun umat Muslim secara umum. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan konsep yang sangat mencolok antara nikah mut’ah dengan pernikahan pada umumnya.
Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan nikah mut’ah? Bagaimana hukum Islam memandang praktik ini dan bagaimana pula dampak sosial serta hukum dari nikah mut’ah? Artikel ini akan mengupas tuntas mengenai nikah mut’ah mulai dari pengertian, latar belakang serta menelaah perspektif Islam dan hukum indonesia secara komprehensif.
Baca juga: Klausul Adalah: Pengertian, Jenis, dan Fungsi dalam Hukum Indonesia
Pengertian nikah mut’ah
Pengertian nikah mut’ah adalah kesepakatan antara laki-laki dan perempuan yang tidak mempunyai pasangan untuk melakukan pernikahan dengan masa tertentu atau tanpa masa dengan imbalan harta yang telah ditentukan.
Dalam praktiknya, pernikahan ini dilakukan tanpa adanya cinta kasih untuk hidup berumah tangga selama-lamanya sehingga setelah waktu yang ditentukan habis maka kedua suami istri tersebut akan terpisah tanpa ada proses perceraian serta tanpa warisan sebagaimana pernikahan yang dikenal dalam Islam.
Baca juga: Apakah Probation Boleh Diperpanjang? Panduan Hukum Ketenagakerjaan Indonesia
Sejarah dan latar belakang nikah mut’ah


Nikah mut’ah diketahui telah ada dan dipraktikkan sejak masa Nabi Muhammad Saw. , khususnya pada periode awal penyebaran Islam. Pada masa tersebut Islam datang dengan membawa aturan yang membatasi kebolehan seseorang untuk bergaul sehingga hanya boleh bergaul dengan dengan istri dan budaknya saja. Sementara pada waktu bersamaan, terdapat kewajiban Muslim untuk pergi dakwah serta penyiaran Islam yang membuat mereka jauh dari istrinya dalam waktu yang sangat lama.
Pada kondisi tersebut, sebagian sahabat yang lemah imannya dikhawatirkan akan kembali pada kebiasaan jahiliyah, yakni melakukan zina karena tidak mampu menahan hawa nafsu dalam diri mereka. Hingga muncul niat untuk mengebiri diri sendiri agar tidak terjerumus dalam perzinaan.
Melihat situasi tersebut, Nabi Muhammad Saw. memberikan keringanan berupa izin untuk melakukan nikah mut’ah sebagai solusi atas kesulitan yang dihadapi. Namun, para ulama menegaskan bahwa kebolehan ini bersifat terbatas, bukan kebolehan mutlak yang berlaku setiap waktu atau untuk semua orang dapat melakukan. Kebolehan tersebut termasuk dalam kategori rukhsah (keringanan hukum yang diberikan dalam situasi darurat) sebagaimana dijelaskan oleh Ibn ‘Abbas.
Baca juga: Persetujuan Orang Tua dalam Pernikahan: Pentingkah dan Bagaimana Menghadapinya?
Pandangan hukum islam terhadap nikah mut’ah
Dalam hukum Islam, mayoritas ulama memandang nikah mut’ah atau kawin kontrak sebagai bentuk pernikahan yang tidak sah dan bertentangan dengan prinsip dasar pernikahan dalam Islam. Tujuan utama pernikahan menurut syariat adalah membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah secara permanen.
Sementara itu, nikah mut’ah bersifat sementara, dibatasi oleh jangka waktu tertentu, dan sering kali lebih menekankan pada pemenuhan kebutuhan biologis atau kepentingan materi semata, bukan pada tujuan luhur pernikahan dalam Islam.
Selain bertentangan secara prinsip, praktik nikah mut’ah juga kerap tidak memenuhi syarat-syarat sah pernikahan menurut hukum Islam. Misalnya, tidak adanya saksi yang sah atau tidak dicatatkan secara resmi.
Baca juga: Hukum Menikahi Pria yang Belum Sah Cerai: Peryaratan, Risiko, dan Solusi Hukum
Nikah mut’ah dalam konteks hukum Indonesia
Dalam konteks hukum Indonesia, nikah mut’ah tidak diakui secara yuridis dan bertentangan dengan prinsip dasar perkawinan sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Yang mana konsep pernikahan yang diatur dalam hukum Indonesia menekankan pada pembentukan keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga tidak sejalan dengan sifat nikah mut’ah yang bersifat sementara. Oleh karena itu, pernikahan ini dianggap tidak sah baik menurut hukum negara maupun hukum agama.
Adapun dalam praktek pelaksanaannya, nikah mut’ah seringkali dilakukan tanpa adanya pencatatan resmi di Kantor Urusan Agama (KUA), sehingga tidak memiliki kekuatan hukum.
Baca juga: Paksaan Menikah Ternyata Ada Konsekuensi Hukumnya, loh!
Dampak sosial dan hukum dari nikah mut’ah


Dengan dilaksanakannya nikah mut’ah, terdapat beberapa dampak yang timbul baik dari sisi sosial maupun dari sisi hukum. Salah satu dampak yang terasa ialah pihak perempuan tidak memperoleh hak-hak dasar seperti nafkah, hak waris, dan masa iddah. Bahkan, apabila dalam akad disebutkan batas waktu tertentu, sebagian ulama memandang hubungan tersebut sebagai bentuk perzinahan.
Kemudian dari sisi sosial, dampak nikah mut’ah juga sangat merugikan, terutama bagi perempuan dan anak-anak yang terlibat. Anak yang lahir dari nikah mut’ah kerap tidak memiliki pengakuan hukum atas status ayahnya, sehingga hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya. Hal ini meningkatkan risiko penelantaran anak akibat minimnya tanggung jawab dari pihak laki-laki.
Selain itu, praktik nikah mut’ah sering dipandang sebagai penyimpangan sosial yang menyerupai prostitusi terselubung. Meskipun kadang dilakukan karena alasan ekonomi, praktik ini merendahkan martabat perempuan dan membawa dampak jangka panjang yang merusak tatanan keluarga dan masyarakat.
Baca juga: Hak Waris Anak Tiri: Ketentuan Hukum dan Solusi yang Perlu Diketahui
Perqara telah melayani lebih dari 27.700 konsultasi hukum
Untuk permasalahan hukum terkait Perkawinan dan Perceraian, Perqara telah menangani lebih dari 5.500 kasus. Ada ratusan mitra Advokat Perqara dengan keahlian khusus di masing-masing bidangnya seperti ketenagakerjaan, perkawinan dan perceraian, pertanahan, dan masih banyak lagi. Sehingga, klien dapat konsultasi tentang masalah hukum lainnya sesuai dengan permasalahan yang sedang dialami.
Konsultasi hukum online di Perqara
Apabila Sobat Perqara memiliki permasalahan hukum terkait permasalahan ini, Sobat dapat mengobrol langsung dengan advokat profesional secara gratis hanya di Perqara. Download aplikasi Perqara sekarang dan dapatkan konsultasi hukum gratis untuk mendapatkan solusi hukum tepat kapan pun dan di mana pun.
Butuh Bantuan untuk Pendirian PT, CV, atau Yayasan?
Selain memberikan informasi seputar dunia hukum bisnis, Perqara juga menyediakan layanan bantuan profesional untuk pendirian PT, CV, dan Yayasan secara legal dan terpercaya. Kami siap membantu Anda memulai langkah pertama membangun badan usaha dengan proses yang mudah, cepat, dan transparan. Gunakan layanan bantuan pendirian badan usaha di Perqara sekarang dan dapatkan pembuatan website dan logo gratis untuk usaha Anda!
Baca juga: Kewajiban Nafkah dalam Hukum Keluarga: Hak, Tanggung Jawab, dan Aturan Hukumnya
(Artikel ini telah disunting oleh Tim Redaksi Perqara)
Dasar hukum
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
- Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Referensi
- A. Dzarrin al-Hamidy, “Nikah Mut’ah dalam Sorotan Hukum Islam dan Hukum Positif”, Al-Qanun, Vol. 11, No.1, (2008).
- Khairil Ikhsan Siregar, “Nikah Mut’ah dalam Perspektif Al-Quran dan Hadis”, Jurnal Studi Al-Qur’an, Vol. 8, No.1, (2012).
- Muhammad Saleh Ridwan, “Perkawinan Mut’ah: Perspektif Hukum Islam dan Hukum Nasional”, Jurnal Al-Qadau, Vol. 1, No.1, (2014).
- Isnawati Rais, “Praktek Kawin Mut’ah di Indonesia dalam Tinjauan Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan”, Ahkam, Vol. 14, No.1, (2014).
- Muhyidin dan Navanya Gabriel Cuaca, “Nikah Muth’ah (Kawin Kontrak) Dalam Perspektif Hukum Positif Indonesia Serta Akibat Hukum Atas Harta Perkawinan dan Harta Waris”, Diponegoro Private Law Review, Vol. 7, No. 1, (2020).
- Ulfatul Zahra, Muslim, DKK, “Dampak Sosial & Hukum Pernikahan Kontrak Dalam Islam”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 1, No. 4, (2024).