Pernahkah Anda membuat janji atau kesepakatan yang baru berlaku jika suatu kondisi terjadi di masa depan? Atau justru batal bila suatu peristiwa terjadi di masa depan? Nah, dalam hukum perdata, ini disebut perikatan bersyarat. Lalu, apa itu perikatan bersyarat? Artikel ini akan membahas tuntas pengertian, jenis-jenis, dasar hukum, contoh, serta implikasi hukum dari perikatan bersyarat.
Baca juga: Bukti dalam Perkara Perdata: Jenis, Kekuatan, dan Contoh Penerapannya di Pengadilan
Pengertian perikatan bersyarat
Perikatan bersyarat adalah perikatan yang pelaksanaan atau bahkan keberadaan hak dan kewajibannya digantungkan pada suatu syarat tertentu. Syarat ini merujuk pada suatu peristiwa yang belum pasti terjadi di masa depan. Artinya, segala bentuk kewajiban atau hak dalam perikatan tersebut baru akan berlaku, atau justru batal jika syarat yang telah disepakati benar-benar terpenuhi atau tidak terpenuhi.
Baca juga: Perikatan dengan Benda dalam Hukum Perdata: Pengertian, Jenis, dan Contohnya
Jenis-jenis perikatan bersyarat


Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) dan doktrin hukum perdata, perikatan bersyarat dibagi menjadi 2 (dua), diantaranya:
- Perikatan dengan syarat tangguh (opschortende voorwaarde)
Merupakan suatu perikatan yang bergantung pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan yang masih belum tentu akan terjadi atau yang bergantung pada suatu hal yang sudah terjadi tetapi tidak diketahui oleh kedua belah pihak.
- Perikatan dengan syarat batal (condition resolutif)
Merupakan suatu perikatan dengan syarat yang apabila dipenuhi akan menghentikan suatu perikatan dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula. Atau dengan kata lain, hubungan hukum antara para pihak pada perikatan ini sudah berlaku sejak awal dibuatnya perikatan, namun akan berakhir dan dianggap seolah tidak pernah ada apabila syarat yang ditentukan benar-benar terjadi di kemudian hari.
Baca juga: Surat Keterangan Tanah Tidak Sengketa
Dasar hukum perikatan bersyarat dalam KUHPerdata
Dasar hukum yang mengatur mengenai perikatan bersyarat tercantum dalam KUH Perdata, yaitu:
- Pasal 1253 KUH Perdata: mengatur pengertian perikatan bersyarat
- Pasal 1254 KUH Perdata: mengatur syarat sah dalam perikatan bersyarat
- Pasal 1255 – 1261 KUH Perdata: mengatur perikatan dengan ketentuan waktu
- Pasal 1262 – 1264 KUH Perdata: mengatur tentang syarat tangguh
- Pasal 1265 – 1267 KUH Perdata: mengatur tentang syarat batal dan kaitannya dengan wanprestasi dalam perjanjian timbal balik
Baca juga: Menyelesaikan Masalah dengan Cara Konsiliasi
Contoh kasus perikatan bersyarat


Contoh kasus perikatan bersyarat dalam kehidupan sehari-hari adalah sebagai berikut:
- Perikatan dengan syarat tangguh
A membuat perjanjian dengan B untuk membeli mobil B jika pengajuan kredit A ke salah satu bank disetujui. Dalam perikatan ini, perjanjian jual beli mobil antara A dan B belum terlaksana dan baru akan terlaksana apabila syarat persetujuan kredit dari bank yang diajukan oleh A terpenuhi. Sebaliknya, jika kredit tersebut tidak cair atau tidak disetujui, maka perjanjian jual beli ini secara otomatis tidak akan berlaku atau tidak pernah lahir.
- Perikatan dengan syarat batal
A membuat perjanjian dengan C untuk menyewakan tanah milik A kepada C, dengan ketentuan perjanjian sewa-menyewa tersebut akan batal jika A diberhentikan dari pekerjaannya. Dalam perikatan ini, C dapat segera menggunakan tanah milik A karena perjanjian sudah berlaku sejak awal. Namun jika A diberhentikan dari pekerjaannya, maka perjanjian sewa-menyewa tanah ini akan secara otomatis berakhir dan dianggap batal.
Baca juga: Apa Itu Sengketa Tanah? Simak Cara Penyelesaiannya!
Perikatan bersyarat vs perikatan biasa
Setelah memahami apa itu perikatan bersyarat, jenis-jenis perikatan bersyarat, dasar hukum perikatan bersyarat, hingga contoh penerapan perikatan bersyarat dalam kehidupan sehari-hari, berikut merupakan perbedaan antara perikatan bersyarat dengan perikatan biasa:
Aspek | Perikatan bersyarat | Perikatan biasa |
Keberlakuan | Berlaku setelah syarat terpenuhi (syarat tangguh), atau batal jika syarat terjadi (syarat batal) | Berlaku sejak perikatan dibuat. |
Kepastian hukum | Terdapat unsur ketidakpastian hingga syarat tersebut benar-benar terpenuhi atau tidak. | Lebih pasti karena hak dan kewajiban para pihak sudah berlaku dan jelas sejak awal. |
Baca juga: Kenali Modus Penipuan Jual Beli Tanah
Implikasi hukum dan praktik dalam kontrak
Dalam hukum perdata Indonesia, keberadaan perikatan bersyarat membawa implikasi hukum dan praktik yang berbeda dengan perikatan biasa. Adanya suatu syarat dalam perikatan ini menjadi sangat penting karena menentukan kapan hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian antara para pihak akan mulai berlaku atau justru berakhir.
Secara hukum, hal ini tentunya dapat menimbulkan ketidakpastian awal mengenai efektifnya suatu kontrak hingga syarat tersebut terpenuhi (dalam hal syarat tangguh) atau berakhirnya kontrak apabila syarat tersebut terjadi (dalam hal syarat batal).
Dengan kata lain, validitas dan keberlakuan perjanjian sangat bergantung pada terpenuhi atau tidak terpenuhinya kondisi yang telah disepakati dalam perikatan tersebut sebagaimana tercantum dalam kontrak yang disepakati.
Baca juga: Apa Itu Akta Otentik? Simak Pembahasan Ini!
Perqara telah melayani lebih dari 27.700 konsultasi hukum
Untuk permasalahan hukum terkait Perdata, Perqara telah menangani lebih dari 7.000 kasus. Ada ratusan mitra Advokat Perqara dengan keahlian khusus di masing-masing bidangnya seperti ketenagakerjaan, perkawinan dan perceraian, pertanahan, dan masih banyak lagi. Sehingga, klien dapat konsultasi tentang masalah hukum lainnya sesuai dengan permasalahan yang sedang dialami.
Konsultasi hukum online di Perqara
mengobrol langsung dengan advokat profesional secara gratis hanya di Perqara. Download aplikasi Perqara sekarang dan dapatkan konsultasi hukum gratis untuk mendapatkan solusi hukum tepat kapan pun dan di mana pun.
Baca juga: Ganti Rugi dalam Hukum Perdata: Jenis, Dasar Hukum, dan Contoh Kasus
(Artikel ini telah disunting oleh Tim Redaksi Perqara)
Dasar hukum
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”)
Referensi
- Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 2005.