Dalam dunia bisnis, direksi memegang peranan krusial dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan perusahaan. Setiap tindakan yang mereka ambil memiliki konsekuensi hukum yang signifikan. Oleh karena itu, memahami tanggung jawab direksi merupakan hal yang sangat penting, baik bagi direksi itu sendiri maupun bagi para pemangku kepentingan lainnya seperti pemegang saham, karyawan, dan kreditor. Artikel ini akan membahas secara mendalam mengenai tanggung jawab direksi berdasarkan hukum di Indonesia, termasuk risiko, perlindungan, serta etika yang harus dipegang oleh seorang direksi.

Baca juga: Hukum Persaingan Usaha: Definisi, Prinsip, dan Dampaknya di Indonesia

Apa itu direksi dalam konteks hukum bisnis?

Apa itu direksi dalam konteks hukum bisnis?
Direksi dalam konteks hukum bisnis (Sumber: Shutterstock)

Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.

Definisi tersebut berdasarkan Pasal 109 angka 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (“UU No. 6 Tahun 2023”) yang mengubah Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”).

Secara sederhana, dapat diartikan bahwa direksi adalah organ perseroan yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan. Mereka memiliki wewenang untuk mengambil keputusan strategis, menjalankan operasi perusahaan, dan mewakili perusahaan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Dalam konteks hukum bisnis, direksi sering dianggap sebagai otak dari suatu perusahaan.

Baca juga: Sanksi Pelanggaran Hukum Bisnis: Jenis, Contoh Kasus, dan Cara Menghindarinya

Tanggung jawab direksi berdasarkan hukum di Indonesia

UU PT mengatur secara rinci mengenai tanggung jawab direksi. Ketentuan mengenai direksi ini diatur pada BAB VII Bagian Kesatu, dari Pasal 92 sampai Pasal 107 UU PT. Secara garis besar, direksi bertanggung jawab untuk:

  1. Mengurus perusahaan. Memimpin dan mengelola perusahaan sesuai dengan anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan.
  2. Membuat keputusan. Mengambil keputusan strategis yang berkaitan dengan operasional perusahaan.
  3. Mewakili perusahaan. Bertindak atas nama perusahaan dalam berbagai hal, termasuk dalam perjanjian dan perselisihan hukum.
  4. Bertanggung jawab atas kerugian. Bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian perusahaan jika terbukti melakukan kesalahan atau kelalaian.

Baca juga: Pembubaran Perusahaan dalam Hukum Bisnis

Risiko dan konsekuensi hukum yang dihadapi direksi

Risiko dan konsekuensi hukum yang dihadapi direksi
Risiko dan konsekuensi hukum yang dihadapi direksi (Sumber: Shutterstock)

Direksi menghadapi sejumlah risiko hukum, antara lain:

  1. Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan, berdasarkan Pasal 97 ayat (3) UU PT. Tanggung jawab ini berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota direksi, jika direksi terdiri atas 2 (dua) anggota direksi atau lebih, menurut Pasal 97 ayat (4) UU PT.
  2. Jika terjadi kepailitan karena kesalahan atau kelalaian direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut, berdasarkan Pasal 104 ayat (2) UU PT.

Baca juga: Perjanjian Pembiayaan dalam Hukum Bisnis

Perlindungan dan batasan tanggung jawab direksi

Meskipun memiliki tanggung jawab yang besar, direksi juga memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan hukum. Beberapa bentuk perlindungan tersebut antara lain:

  1. Merujuk pada Pasal 97 ayat (5) UU PT, anggota direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian, apabila dapat membuktikan:
  • kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
  • telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
  • tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
  • telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

2. Merujuk pada Pasal 104 ayat (4) UU PT, anggota direksi tidak bertanggungjawab atas kepailitan perseroan apabila dapat membuktikan:

  • kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
  • telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, kehati-hatian, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
  • tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang dilakukan; dan d. telah mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan. 

Baca juga: Ketentuan Hukum tentang Penawaran Umum Perdana (IPO)

Etika dan kepatuhan: pilar penting untuk direksi

Etika dan kepatuhan: pilar penting untuk direksi
Etika dan kepatuhan: pilar penting untuk direksi (Sumber: Shutterstock)

Seorang direksi tidak hanya harus memenuhi kewajiban hukum, tetapi juga harus menjunjung tinggi etika bisnis. Prinsip-prinsip etika seperti kejujuran, transparansi, dan akuntabilitas sangat penting untuk membangun kepercayaan para pemangku kepentingan. Etika dan kepatuhan ini penting bagi direksi karena, sebagai bentuk:

  1. Kepercayaan publik. Direksi yang menjunjung tinggi etika dan kepatuhan akan membangun kepercayaan publik, investor, dan pemangku kepentingan lainnya.
  2. Reputasi perusahaan. Tindakan etis dan kepatuhan terhadap peraturan akan menjaga reputasi baik perusahaan.
  3. Stabilitas bisnis. Perusahaan yang beroperasi secara etis dan patuh akan lebih stabil dan terhindar dari risiko hukum dan finansial.
  4. Motivasi karyawan. Kepemimpinan yang etis akan memotivasi karyawan untuk bekerja lebih baik dan loyal terhadap perusahaan.
  5. Pertumbuhan berkelanjutan. Perusahaan yang berorientasi pada etika dan kepatuhan cenderung memiliki pertumbuhan yang lebih berkelanjutan.

Baca juga: Perlindungan Investor dalam Hukum Bisnis

Contoh praktis: studi kasus tanggung jawab direksi

Salah satu contoh praktis terkait kasus tanggung jawab direksi ini yaitu perkara keputusan direksi Pertamina melalui anak perusahaannya PT. Pertamina Hulu Energi (PHE) untuk melakukan akuisisi saham 10 persen pada Roc Oil Company Limited (ROC, Ltd) Australia pada 27 Mei 2009. Perkara ini diajukan ke pengadilan sebagai tindak pidana korupsi dengan terdakwa mantan direktur utama Pertamina Karen Agustiawan.

Akuisisi ini sendiri dilakukan untuk investasi participating interest dalam rangka menggarap lapangan atau blok Basker Manta Gummy (BMG) Australia. Dalam perkembangannya, blok BMG tidak bisa menghasilkan minyak mentah sesuai yang ditargetkan, yaitu 812 barel per hari, melainkan hanya 252 barel per harinya. Pada 5 November 2010, blok BMG bahkan ditutup setelah ROC memutuskan penghentian produksi minyak mentah. Dari akuisisi untuk kepentingan investasi ini, Pertamina mengalami kerugian mencapai Rp. 568 miliar. 

Tindakan Karen sebagai Direktur Utama Pertamina tersebut oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama. Putusan ini diperkuat pada tingkat banding, dengan tambahan pertimbangan bahwa kedudukan Karen sebagai Direktur Utama memiliki tugas dan tanggung jawab dalam mengendalikan dan memonitor kegiatan akuisisi, dan dalam akuisisi ini dianggap telah mengabaikan laporan tim eksternal yang menyatakan akuisisi ini sangat berisiko tinggi.

Pada tingkat kasasi, tindakan yang dilakukan Karen disebut sebagai tindakan bisnis dan bagian dari business judgement rule, sehingga putusan direksi dalam suatu aktivitas perseroan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Kendati putusan itu pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi perseroan, hal itu merupakan risiko bisnis.

Dalam perkara Karen ini, maka terlihat pengadilan melalui hakimnya berbeda pendapat terkait tindakan direktur yang mengakibatkan kerugian pada perseroan, dan dalam kasus ini bahkan dianggap menyebabkan kerugian negara. Pada mulanya, melalui Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, tindakan bisnis berupa akuisisi yang kemudian berdampak kerugian, dianggap sebagai tindakan direksi yang mengabaikan tugas dan kewajibannya.

Namun demikian, Mahkamah Agung pada akhirnya menilai tindakan demikian sebagai tindakan bisnis direksi yang kemudian berdampak kerugian. Sebagai tindakan bisnis, yang memang memiliki risiko kerugian, maka keputusan dalam tindakan direksi ini pada akhirnya dinyatakan tidak dapat diganggu gugat, sebagaimana doktrin business judgment rule.

Baca juga: Perjanjian Aliansi Strategis dalam Bisnis

Perqara telah melayani lebih dari 11.500 konsultasi hukum

Untuk permasalahan hukum terkait Bisnis, Perqara telah menangani puluhan kasus setiap bulannya. Ada ratusan mitra Advokat Perqara dengan keahlian khusus di masing-masing bidangnya seperti ketenagakerjaan, perkawinan dan perceraian, pertanahan, dan masih banyak lagi. Sehingga, klien dapat konsultasi tentang masalah hukum lainnya sesuai dengan permasalahan yang sedang dialam

Konsultasi hukum gratis di Perqara

Apabila Sobat Perqara memiliki permasalahan hukum terkait permasalahan tanggung jawab direksi, Sobat dapat mengobrol langsung dengan advokat profesional secara gratis hanya di Perqara. Download aplikasi Perqara sekarang dan dapatkan konsultasi hukum gratis untuk mendapatkan solusi hukum tepat kapan pun dan di mana pun.

Baca juga: Tanggung Jawab Pengurus dalam Perseroan Terbatas (PT)

(Artikel ini telah disunting oleh Tim Redaksi Perqara)

Dasar hukum

  1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. 

Referensi

  1. Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 15/Pid.Sus-TPK/2019/PN.Jkt.Pst;
  2. Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 34/Pid.Sus-TPK/2019/PT.DKI.
  3. Raffles. “Tanggung Jawab dan Perlindungan Hukum Direksi dalam Pengurusan Perseroan Terbatas”. Undang: Jurnal Hukum, Vol. 3 No. 1 (2020). Hlm. 107-137.