Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menjadi salah satu tindak kekerasan yang masih sering terjadi di kehidupan masyarakat. KDRT tidak memandang jenis kelamin, sebab siapa pun dapat menjadi korban tindak pidana kekerasan ini, mulai dari suami, istri maupun anak-anak. Apakah Anda pernah mengalami KDRT? Berikut penjelasan mengenai pasal KDRT dalam hukum positif Indonesia yang dapat melindungi korban dan untuk menghukum perbuatan pelaku.

Apa Itu KDRT dan UU Pengaturan KDRT?

Di Indonesia, pengaturan yang secara khusus mengatur KDRT adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (“UU PKDRT”). Pasal KDRT yang harus dipahami terlebih dahulu yaitu, Pasal 1 angka 1 UU PKDRT mendefinisikan KDRT sebagai “setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”

Walaupun demikian, UU PKDRT berlaku bagi setiap orang dan tidak memandang jenis kelamin. Oleh karena itu, UU ini tidak hanya berlaku bagi istri yang mengalami KDRT, tetapi juga kepada suami dan anak-anak. Hal ini semakin diyakini dalam Pasal 3 huruf b UU PKDRT yang menegaskan bahwa penghapusan KDRT menganut asas kesetaraan gender, yang berarti siapa pun berhak untuk mendapat perlindungan atas KDRT.

Selain UU PKDRT, Pasal KDRT juga terdapat dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Penghapusan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (“UU TPKS”). UU TPKS berperan untuk menegaskan kembali peraturan-peraturan mengenai kekerasan. Pasal 4 ayat (2) huruf h UU TPKS menyebutkan bahwa tindak pidana kekerasan seksual juga meliputi kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga.

Lebih terperinci, Pasal 4 ayat (1) UU TPKS menyebutkan bahwa tindak pidana kekerasan seksual terdiri atas:

  1. Pelecehan seksual non fisik;
  2. Pelecehan seksual fisik
  3. Pemaksaan kontrasepsi;
  4. Pemaksaan sterilisasi;
  5. Pemaksaan perkawinan;
  6. Penyiksaan seksual;
  7. Eksploitasi seksual;
  8. Perbudakan seksual; dan
  9. Kekerasan seksual berbasis elektronik.

Kemudian, Pasal 15 ayat (1) huruf a UU TPKS menyatakan jika tindak pidana kekerasan seksual tersebut dilakukan dalam lingkup keluarga, hukuman pidananya akan ditambah ⅓ (satu per tiga).

Jenis-Jenis KDRT 

Berdasarkan Pasal KDRT, yaitu Pasal 5 UU PKDRT, jenis-jenis KDRT dibagi sebagai berikut:

  1. Kekerasan fisik, artinya perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat (Pasal 6 UU PKDRT);
  2. Kekerasan psikis, adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (Pasal 7 PKDRT);
  3. Kekerasan seksual adalah perbuatan yang meliputi:
  • Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
  • Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu (Pasal 8 PKDRT).
  1. Penelantaran rumah tangga, artinya orang yang menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum atau perjanjian/persetujuan ia wajib memberikan kehidupan yang layak, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Penelantaran rumah tangga juga berarti setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (Pasal 9 PKDRT).

Faktor Penyebab Terjadi KDRT 

Berdasarkan hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) mengungkapkan ada beberapa faktor penyebab terjadinya KDRT, antara lain:

  1. Faktor individu perempuan. Faktor ini didasarkan pada bentuk pengesahan perkawinannya. Misalnya, perempuan yang melangsungkan perkawinan secara siri atau kontrak biasanya lebih berpotensi mengalami KDRT bila dibandingkan dengan perempuan yang menikah secara resmi dan diakui negara melalui catatan sipil atau KUA. Selain itu, pertengkaran suami istri kerap membuat perempuan lebih mendapat perlakuan KDRT.
  2. Faktor pasangan. Sifat seseorang sangatlah menentukan bagaimana ia memperlakukan pasangannya dalam hubungan rumah tangga. Misalnya, memiliki pasangan yang memiliki sifat mudah emosi, galak, dan kasar secara fisik dan verbal. Sifat ini cenderung akan timbul ketika sudah menjalani kehidupan rumah tangga. Selain itu, suami/istri yang memiliki selingkuhan, suka mabuk juga akan lebih rentan melakukan KDRT terhadap pasangannya. 
  3. Faktor ekonomi. Kehidupan rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan yang cukup rendah lebih rentan membuat suami/istrinya mengalami KDRT. Sebab, faktor ekonomi termasuk hal yang penting dalam membina rumah tangga. Apabila faktor penting ini tidak terpenuhi, akan berpotensi menimbulkan permasalahan-permasalahan lainnya.
  4. Faktor sosial budaya. Perempuan yang selalu membayangkan dan khawatir akan bahaya kejahatan, akan lebih memiliki potensi mengalami KDRT oleh pasangannya dibandingkan perempuan yang tidak merasa khawatir. Perempuan yang tinggal di daerah perkotaan juga akan lebih rentan menerima perlakuan KDRT dibandingkan perempuan yang tinggal di pedesaan.

Hukuman Pelaku KDRT

Hukuman bagi pelaku KDRT berbeda-beda tergantung jenis perbuatan KDRT. Berikut pasal-pasal KDRT yang mengatur terkait sanksi dan hukuman bagi pelaku KDRT:

Pelaku kekerasan fisik sebagaimana termaktub dalam Pasal 44 UU PKDRT mengatur:

  1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
  2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). 
  3. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).”

Pelaku kekerasan psikis yang diatur dalam Pasal 45 UU PKDRT menyebutkan bahwa:

Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).”

Pelaku kekerasan seksual diatur dalam Pasal 46-47 UU PKDRT yang menyatakan:

  1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).”
  2. “Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).”

Pelaku penelantaran rumah tangga akan dihukum sebagaimana diatur dalam Pasal 49 UU PKDRT, yaitu:

“Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang:

  1. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum atau perjanjian/persetujuan ia wajib memberikan kehidupan yang layak, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
  2. menelantarkan dan mengakibatkan orang lain ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.”

Apakah Sobat Perqara sudah memahami mengenai aturan perlindungan dalam tindak pidana dalam pasl-pasal KDRT di atas? Jika Anda masih memiliki pertanyaan atau mengalami kasus KDRT, silahkan untuk konsultasikan permasalahan Anda kepada kami. Perqara akan memberikan solusi terbaik untuk menyelesaikan masalah yang sedang Sobat Perqara hadapi.

Perqara Telah Melayani Lebih dari 5.500 Konsultasi Hukum

Untuk permasalahan hukum terkait Pidana, Perqara telah menangani lebih dari 2.200 kasus. Ada ratusan mitra Advokat Perqara dengan keahlian khusus di masing-masing bidangnya seperti ketenagakerjaan, perkawinan dan perceraian, pertanahan, dan masih banyak lagi. Sehingga, klien dapat konsultasi tentang masalah hukum lainnya sesuai dengan permasalahan yang sedang dialami.

Konsultasi Hukum Gratis di Perqara

Apabila Sobat Perqara memiliki permasalahan hukum atau pertanyaan lebih lanjut terkait pasal KDRT, Sobat dapat mengobrol langsung dengan advokat profesional secara gratis hanya di Perqara. Dapatkan konsultasi hukum gratis untuk mendapatkan solusi hukum tepat kapan pun dan di mana pun.

Baca juga: Hukum Menelantarkan Anak yang Tewas Dianiaya

Dasar Hukum

  1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
  2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Penghapusan Tindak Pidana Kekerasan Seksual 

Referensi

  1. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, “Perempuan Rentan Jadi Korban KDRT, Kenali Faktor Penyebabnya”, Mei 19, 2008. Diakses pada Juli 26, 2022, https://kemenpppa.go.id/index.php/page/read/31/1742/perempuan-rentan-jadi-korban-kdrt-kenali-faktor-penyebabnya#:~:text=Faktor%2DFaktor%20Penyebab%20KDRT&text=Berdasarkan%20hasil%20SPHPN%20Tahun%202016,sosial%20budaya%2C%20dan%20faktor%20ekonomi