Bingung dengan istilah perjanjian pembiayaan? Ingin memahami lebih dalam tentang dasar hukum dan risiko yang terkait dengan jenis perjanjian satu ini? Artikel ini akan mengupas tuntas mengenai perjanjian pembiayaan dalam hukum bisnis, mulai dari pengertian hingga tips menyusun perjanjian yang kuat.

Baca juga: Hukum Perjanjian Franchise di Indonesia

Pengertian perjanjian pembiayaan

Pengertian perjanjian pembiayaan
Pengertian perjanjian pembiayaan (Sumber: Shutterstock)

Perjanjian pembiayaan adalah kesepakatan antara dua pihak atau lebih yang melibatkan pemberian sejumlah uang atau barang dengan syarat dan ketentuan tertentu. Pihak yang memberikan pembiayaan disebut kreditur, sedangkan pihak yang menerima pembiayaan disebut debitur. Perjanjian pembiayaan dalam hukum bisnis ini umumnya melibatkan pembayaran kembali secara bertahap beserta bunga.

Baca juga: Pembubaran Perusahaan dalam Hukum Bisnis

Jenis-jenis perjanjian pembiayaan dalam hukum bisnis

Terdapat beberapa jenis perjanjian pembiayaan dalam hukum bisnis yang umum ditemui dalam dunia bisnis, di antaranya:

  1. Perjanjian kredit, yaitu pemberian uang tunai dengan jangka waktu dan bunga tertentu.
  2. Perjanjian leasing, yaitu sewa guna usaha atas suatu barang dengan opsi pembelian di akhir masa sewa.
  3. Perjanjian factoring, yaitu penjualan tagihan utang kepada pihak ketiga (faktor) dengan harga yang lebih rendah dari nilai nominal.
  4. Perjanjian forfaiting, yaitu perjanjian yang mirip dengan factoring, tetapi objeknya adalah surat berharga jangka panjang.
  5. Perjanjian murabahah, yaitu jual beli dengan penambahan keuntungan bagi penjual.
  6. Perjanjian musyarakah, yaitu perjanjian kerjasama bisnis di mana dua pihak atau lebih menginvestasikan modalnya untuk suatu usaha.
  7. Perjanjian mudharabah, yaitu Perjanjian kerjasama bisnis di mana satu pihak memberikan modal kepada pihak lain untuk dikelola dan keuntungannya dibagi sesuai kesepakatan.

Baca juga: Perlindungan Investor dalam Hukum Bisnis

Landasan hukum perjanjian pembiayaan di Indonesia

Landasan hukum perjanjian pembiayaan di Indonesia
Landasan hukum perjanjian pembiayaan di Indonesia (Sumber: Shutterstock)

Perjanjian pembiayaan dalam hukum bisnis di Indonesia diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yang mengatur secara umum tentang perjanjian.
  2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,  yang mengatur mengenai pemberian kredit oleh bank.
  3. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK), yang menerbitkan berbagai peraturan terkait dengan kegiatan usaha jasa keuangan, termasuk pembiayaan.

Baca juga: Ketentuan Hukum tentang Penawaran Umum Perdana (IPO)

Komponen utama dalam perjanjian pembiayaan

Sebuah perjanjian pembiayaan dalam hukum bisnis yang sah, umumnya memuat komponen-komponen berikut:

  1. Identitas Para Pihak
  • Nama lengkap dan alamat: Identitas lengkap dari kedua belah pihak, baik kreditur maupun debitur.
  • Status hukum: Apakah pihak tersebut perorangan, badan hukum, atau lembaga lainnya.
  • Nomor identitas: Nomor KTP, NPWP, atau nomor registrasi perusahaan.
  1. Objek Pembiayaan
  • Jumlah dana yang dipinjamkan: Nominal uang yang diberikan oleh kreditur kepada debitur.
  • Tujuan penggunaan dana: Keperluan apa dana tersebut akan digunakan oleh debitur, misalnya untuk modal usaha, investasi, atau konsumtif.
  • Jangka waktu pembiayaan: Lama waktu yang diberikan kepada debitur untuk melunasi pinjaman, termasuk tanggal jatuh tempo pembayaran.
  1. Bunga
  • Tingkat bunga: Persentase bunga yang akan dikenakan atas pinjaman.
  • Cara perhitungan bunga: Apakah bunga dihitung secara sederhana atau majemuk.
  • Jangka waktu pembayaran bunga: Kapan bunga harus dibayar, apakah setiap bulan, triwulan, atau tahunan.
  1. Jaminan
  • Jenis jaminan: Aset yang diberikan sebagai jaminan atas pinjaman, misalnya tanah, bangunan, kendaraan, atau surat berharga.
  • Nilai taksiran jaminan: Nilai pasar dari aset yang dijadikan jaminan.
  • Prosedur pelaksanaan hak tanggungan: Tata cara pelaksanaan hak tanggungan jika debitur wanprestasi.
  1. Cara Pembayaran
  • Jadwal pembayaran: Tanggal-tanggal jatuh tempo pembayaran pokok dan bunga.
  • Cara pembayaran: Apakah melalui transfer bank, autodebet, atau cara lainnya.
  • Tempat pembayaran: Lokasi tempat pembayaran dilakukan.
  1. Denda Keterlambatan
  • Besar denda: Jumlah denda yang akan dikenakan jika debitur terlambat membayar.
  • Cara perhitungan denda: Bagaimana cara menghitung denda, apakah berdasarkan persentase dari jumlah tunggakan atau jumlah tetap.
  1. Kondisi-Kondisi Khusus
  • Klausula force majeure: Ketentuan mengenai kejadian di luar kendali pihak-pihak yang dapat menyebabkan tertundanya atau tidak terpenuhinya kewajiban.
  • Penyelesaian sengketa: Cara penyelesaian sengketa jika terjadi perselisihan antara kedua belah pihak, misalnya melalui arbitrase atau pengadilan.
  • Klausula lain: Ketentuan-ketentuan tambahan yang dianggap perlu oleh kedua belah pihak, seperti asuransi, biaya administrasi, dan sebagainya.
  1. Tanda Tangan Para Pihak
  • Tanda tangan asli: Tanda tangan asli dari kedua belah pihak sebagai bukti persetujuan atas perjanjian.
  • Tanggal penandatanganan: Tanggal ketika perjanjian ditandatangani.

Baca juga: Sanksi Pelanggaran Hukum Persaingan Usaha

Syarat sahnya perjanjian pembiayaan

Agar sebuah perjanjian pembiayaan dianggap sah secara hukum, maka harus memenuhi syarat-syarat umum sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:

  1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri.
  2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
  3. Suatu hal tertentu.
  4. Suatu sebab yang halal.

Baca juga: Pentingnya Due Diligence dalam Bisnis: Menghindari Risiko

Risiko dan potensi sengketa dalam perjanjian pembiayaan

Perjanjian pembiayaan tidak terlepas dari risiko dan potensi sengketa. Berikut risiko dan potensi sengketa dalam perjanjian pembiayaan dalam hukum bisnis:

  1. Risiko bagi Debitur
  • Wanprestasi: Debitur gagal memenuhi kewajibannya, seperti keterlambatan pembayaran pokok atau bunga.
  • Beban bunga yang tinggi: Tingkat bunga yang terlalu tinggi dapat membebani keuangan debitur dan membuatnya sulit untuk melunasi pinjaman.
  • Perubahan kondisi ekonomi: Perubahan kondisi ekonomi yang tidak menguntungkan dapat membuat debitur kesulitan memenuhi kewajibannya.
  • Perubahan kebijakan kreditur: Kreditur dapat mengubah kebijakannya secara sepihak, misalnya menaikkan suku bunga atau mempercepat jatuh tempo pembayaran.
  • Kehilangan aset jaminan: Jika debitur gagal melunasi pinjaman, aset jaminan yang diberikan dapat disita oleh kreditur.
  1. Risiko bagi Kreditur
  • Kredit macet: Debitur tidak mampu melunasi pinjaman, sehingga kreditur mengalami kerugian.
  • Penurunan nilai jaminan: Nilai jaminan yang diberikan oleh debitur dapat menurun, sehingga tidak cukup untuk menutupi kerugian kreditur jika terjadi wanprestasi.
  • Biaya penagihan: Kreditur harus mengeluarkan biaya tambahan untuk menagih tunggakan pembayaran dari debitur.
  • Risiko hukum: Terdapat potensi terjadinya sengketa hukum jika debitur mengajukan keberatan terhadap perjanjian atau tindakan penagihan yang dilakukan oleh kreditur.
  1. Potensi Sengketa
  • Sengketa mengenai jumlah pinjaman: Terdapat perbedaan pendapat mengenai jumlah pinjaman yang sebenarnya diterima oleh debitur.
  • Sengketa mengenai perhitungan bunga: Debitur merasa bahwa perhitungan bunga yang dilakukan oleh kreditur tidak sesuai dengan perjanjian.
  • Sengketa mengenai jadwal pembayaran: Terdapat perbedaan pendapat mengenai tanggal jatuh tempo pembayaran.
  • Sengketa mengenai pelaksanaan hak tanggungan: Kreditur ingin melakukan sita terhadap aset jaminan, namun debitur mengajukan keberatan.
  • Sengketa mengenai force majeure: Debitur beralasan bahwa terjadinya peristiwa force majeure (kejadian di luar kendali) sehingga ia tidak dapat memenuhi kewajibannya.

Baca juga: Perjanjian Aliansi Strategis dalam Bisnis

Tips menyusun perjanjian pembiayaan yang kuat

Tips menyusun perjanjian pembiayaan yang kuat
Tips menyusun perjanjian pembiayaan yang kuat (Sumber: Shutterstock)

Untuk meminimalisir risiko dan sengketa, berikut beberapa tips menyusun perjanjian pembiayaan yang kuat:

  1. Jelas dan rinci
  • Bahasa sederhana: Hindari penggunaan istilah hukum yang rumit. Pastikan semua pihak memahami setiap klausul.
  • Detail lengkap: Semua informasi penting seperti identitas pihak, jumlah pinjaman, jangka waktu, bunga, jaminan, dan cara pembayaran harus tercantum secara rinci.
  • Tidak ambigu: Hindari kalimat yang bermakna ganda atau dapat ditafsirkan berbeda oleh kedua belah pihak.
  1. Keseimbangan hak dan kewajiban
  • Saling menguntungkan: Perjanjian harus adil dan memberikan perlindungan bagi kedua belah pihak.
  • Kewajiban jelas: Jelaskan secara rinci kewajiban masing-masing pihak, baik debitur maupun kreditur.
  • Konsekuensi wanprestasi: Tentukan sanksi yang jelas jika salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.
  1. Konsultasikan dengan ahli hukum. Hal ini untuk memastikan perjanjian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Memahami perjanjian pembiayaan sangat penting bagi pelaku bisnis maupun individu yang ingin mengajukan pembiayaan. Dengan mengetahui dasar hukum, jenis-jenis, dan risiko yang terkait, Sobat dapat membuat keputusan yang lebih bijak dan melindungi kepentingan Sobat.

Baca juga: Cara Melindungi Rahasia Dagang dalam Bisnis

Perqara telah melayani lebih dari 11.500 konsultasi hukum

Untuk permasalahan hukum terkait Bisnis, Perqara telah menangani puluhan kasus setiap bulannya. Ada ratusan mitra Advokat Perqara dengan keahlian khusus di masing-masing bidangnya seperti ketenagakerjaan, perkawinan dan perceraian, pertanahan, dan masih banyak lagi. Sehingga, klien dapat konsultasi tentang masalah hukum lainnya sesuai dengan permasalahan yang sedang dialami.

Konsultasi hukum gratis di Perqara

Apabila Sobat Perqara memiliki permasalahan hukum terkait perjanjian pembiayaan dalam hukum bisnis, Sobat dapat mengobrol langsung dengan advokat profesional secara gratis hanya di Perqara. Download aplikasi Perqara sekarang dan dapatkan konsultasi hukum gratis untuk mendapatkan solusi hukum tepat kapan pun dan di mana pun.

Baca juga: Perjanjian Pengalihan Saham dalam Hukum Bisnis

(Artikel ini telah disunting oleh Tim Redaksi Perqara)

Dasar hukum

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), yang mengatur secara umum tentang perjanjian;
  2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,  yang mengatur mengenai pemberian kredit oleh bank;
  3. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK).

Referensi

  1. Nurhilmiyah. “Tahapan dalam Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan”. 1285-2114-1-PB.pdf. 
  2. Sunaryo. “Hukum Lembaga Pembiayaan”. Jakarta:  PT. SInar Grafika, 2009.
  3. Munir Fuady. “Hukum Tentang Pembiayaan Dalam Teori dan  Praktek”. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002.