Dalam sistem hukum pidana, penjatuhan hukuman tidaklah selalu seragam untuk setiap kasus. Hakim memiliki kewenangan untuk mempertimbangkan berbagai faktor yang relevan untuk menentukan hukuman yang adil dan proporsional. Artikel ini akan membahas secara mendalam tentang pemberatan hukuman dan peringanan hukuman, dua konsep penting dalam hukum pidana yang mempengaruhi penentuan hukuman bagi pelaku tindak pidana. 

Baca juga: Pidana Kurungan dan Penjara dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia

Pengertian pemberatan dan peringanan hukuman

Pengertian pemberatan dan peringanan hukuman
Pengertian pemberatan dan peringanan hukuman (Sumber: Shutterstock)

Pemberatan hukuman adalah ketika seseorang yang sudah melakukan semua unsur tindak pidana, namun ada alasan untuk memperberat perbuatannya sehingga hukuman yang akan diterima akan lebih berat. Artinya, dilakukan peningkatan atau penambahan hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana, karena adanya faktor-faktor tertentu yang dianggap memperberat kesalahan pelaku. Faktor-faktor ini menunjukkan bahwa pelaku memiliki tingkat kesalahan yang lebih tinggi atau bahwa tindak pidana yang dilakukan memiliki dampak yang lebih besar.

Baca juga: Pidana Tambahan dalam Kasus Pidana: Pengertian, Jenis, dan Contoh Kasus

Peringanan hukuman adalah ketika seseorang telah memenuhi semua unsur pasal tindak pidana, namun ada alasan yang membuat pelaku diancam hukumannya lebih ringan. Artinya, dilakukan pengurangan atau keringanan hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana, karena adanya faktor-faktor tertentu yang dianggap meringankan kesalahan pelaku. Faktor-faktor ini menunjukkan bahwa pelaku memiliki tingkat kesalahan yang lebih rendah atau bahwa ada keadaan tertentu yang membuat pelaku layak mendapatkan keringanan hukuman.

Baca juga: Eksekusi Putusan Pengadilan dalam Kasus Pidana

Dasar hukum pemberatan dan peringanan hukuman di Indonesia

Dasar hukum pemberatan dan peringanan hukuman di Indonesia
Dasar hukum pemberatan dan peringanan hukuman di Indonesia (Sumber: Shutterstock)

Dasar hukum pemberatan hukuman dan peringanan hukuman di Indonesia terutama diatur dalam:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), memuat beberapa pasal yang mengatur tentang keadaan-keadaan yang dapat memberatkan atau meringankan hukuman. Misalnya, pasal-pasal yang mengatur tentang pengulangan tindak pidana (residivis), perencanaan tindak pidana, dan keadaan mabuk.
  1. Undang-Undang Khusus. Beberapa undang-undang khusus yang mengatur tindak pidana tertentu juga memuat ketentuan tentang pemberatan atau peringanan hukuman yang spesifik untuk tindak pidana tersebut. Misalnya, terkait pemberat yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika atau Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan terkait peringan yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
  1. Yurisprudensi. Putusan-putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap juga dapat menjadi sumber hukum dalam hal pemberatan dan peringanan hukuman. Hakim sering kali merujuk pada putusan-putusan sebelumnya yang memiliki kesamaan kasus untuk menentukan hukuman yang adil. Misalnya, Putusan Mahkamah Agung Nomor 572 K/PID/2006 Tahun 2006, Putusan Mahkamah Agung Nomor 2658 K/PID.SUS/2015, dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 115 PK/PID.SUS/2017.

Baca juga: Perbedaan Putusan Bebas dan Lepas dalam Hukum Pidana

Faktor-faktor yang memberatkan hukuman (aggravating factors)

Faktor-faktor yang dapat memberatkan hukuman (aggravating factors) antara lain:

  1. Residivis (Pengulangan Tindak Pidana). Jika pelaku pernah dihukum sebelumnya dan melakukan tindak pidana lagi, hukuman dapat diperberat.
  2. Abuse of power. Jika melakukan tindak pidana yang melanggar perintah jabatan, seperti Pasal 52 KUHP.
  3. Gabungan atau perbarengan dua atau lebih delik (samenloop atau concursus). Jika gabungan tindak pidana maupun pengulangan tindak pidana yang belum mempunyai suatu putusan hakim yang berkekuatan tetap sehingga akan diadili sekaligus dengan tindakan yang diulanginya, seperti Pasal 63 hingga Pasal 71 KUHP.
  4. Tindak pidana yang dilakukan oleh pejabat atau penyalahgunaan jabatan, seperti pada Pasal 52 KUHP. 
  5. Penggunaan sarana bendera kebangsaan. Jika tindak pidana yang dilakukan menggunakan bendera kebangsaan, seperti pada Pasal 52a KUHP.

Baca juga: Tindak Pidana Terorisme: Pengertian, Jenis, dan Sanksi Hukumnya di Indonesia

Faktor-faktor yang meringankan hukuman (mitigating factors)

Faktor-faktor yang dapat meringankan hukuman (mitigating factors) antara lain:

  1. Pengakuan bersalah. Jika pelaku mengakui perbuatannya dan menyesal, hukuman dapat diringankan.
  2. Berkoordinasi dengan baik dengan penegak hukum. Jika pelaku bekerja sama dengan penegak hukum dalam mengungkap kejahatan, hukuman dapat diringankan.
  3. Tindak pidana yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa yang tercantum pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
  4. Percobaan untuk melakukan kejahatan, menurut Pasal 53 KUHP, yaitu suatu tindak pidana yang dilakukan oleh si pelaku tidak selesai.
  5. Keadaan mental. Jika pelaku mengalami gangguan mental atau kondisi psikologis tertentu, hukuman dapat diringankan.
  6. Tanggung jawab keluarga. Jika pelaku memiliki tanggung jawab keluarga yang besar, hukuman dapat diringankan (meskipun ini jarang menjadi faktor utama).
  7. Korban telah memaafkan. Jika korban telah memaafkan pelaku, hakim dapat mempertimbangkan hal ini sebagai faktor yang meringankan.

Baca juga: Tindak Pidana Pencabulan: Pengertian, Jenis, dan Saksinya di Indonesia

Contoh kasus pemberatan dan peringanan hukuman

Contoh pemberatan hukuman

Misalnya si A mula-mula mencuri (Pasal 362 KUHP), lalu melakukan penipuan (Pasal 378 KUHP), kemudian melakukan penggelapan (Pasal 372 KUHP) kemudian terakhir penadah (Pasal 480 KUHP). Berdasarkan contoh kasus ini, si A hanya dapat dipidana paling tinggi untuk keseluruhan kejahatan tersebut menurut sistem yang diatur dalam KUHP selama 5 tahun penjara (yang tertinggi maksimum pidananya diantara keempat kejahatan tersebut) ditambah dengan sepertiga dari 5 tahun yaitu 1 tahun 8 bulan, jadi total lama pidananya si A yaitu selama 6 tahun 8 bulan.

Contoh peringanan hukuman

Kasus Rachel Vennya yang kabur dari masa karantina pada tahun 2021, yang vonisnya diringankan alasan “sopan”. Alasan sopan pada saat persidangan dapat menjadi peringan pidana berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 572 K/PID/2006 Tahun 2006, Putusan Mahkamah Agung Nomor 2658 K/PID.SUS/2015, dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 115 PK/PID.SUS/2017.

Baca juga: Tindak Pidana Pemalsuan Data: Jenis, Dasar Hukum, dan Sanksi yang Berlaku

Perqara telah melayani lebih dari 27.700 konsultasi hukum

Untuk permasalahan hukum terkait Pidana, Perqara telah menangani lebih dari 11.00 kasus. Ada ratusan mitra Advokat Perqara dengan keahlian khusus di masing-masing bidangnya seperti ketenagakerjaan, perkawinan dan perceraian, pertanahan, dan masih banyak lagi. Sehingga, klien dapat konsultasi tentang masalah hukum lainnya sesuai dengan permasalahan yang sedang dialami.

Konsultasi hukum online di Perqara

Apabila Sobat Perqara memiliki permasalahan hukum atau pertanyaan lebih lanjut terkait peringanan dan pemberatan hukuman dalam hukum pidana, Sobat dapat mengobrol langsung dengan advokat profesional secara gratis hanya di Perqara. Download aplikasi Perqara sekarang dan dapatkan konsultasi hukum gratis untuk mendapatkan solusi hukum tepat kapan pun dan di mana pun.

Baca juga: Keadilan Restoratif dalam Hukum Pidana: Pengertian, Dasar Hukum, dan Contoh Kasus

(Artikel ini telah disunting oleh Tim Redaksi Perqara)

Dasar hukum

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
  2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak;
  3. Putusan Mahkamah Agung Nomor 572 K/PID/2006 Tahun 2006;
  4. Putusan Mahkamah Agung Nomor 2658 K/PID.SUS/2015;
  5. Putusan Mahkamah Agung Nomor 115 PK/PID.SUS/2017.