Dalam dunia yang semakin tidak menentu, situasi darurat seperti bencana alam, konflik bersenjata, dan krisis kesehatan masyarakat seringkali memicu respons yang dapat mempengaruhi hak asasi manusia (HAM). Penting untuk memahami prinsip dasar HAM dalam situasi darurat agar hak-hak individu tetap terlindungi. Artikel ini akan membahas tentang prinsip-prinsip dasar HAM dalam situasi darurat, termasuk landasan hukum internasional, implementasi, dan tantangannya.
Baca juga: Perlindungan Anak dalam Hukum HAM: Hak, Regulasi, dan Tantangan
Prinsip dasar HAM dalam situasi darurat


Ketika menghadapi situasi darurat, prinsip dasar HAM tetap berlaku. Namun, ada beberapa penyesuaian yang perlu dipahami, antara lain:
- Prinsip non-diskriminasi harus tetap dijunjung tinggi. Semua orang, tanpa terkecuali, berhak mendapatkan perlindungan dan bantuan.
- Prinsip proporsionalitas. Pembatasan HAM hanya boleh dilakukan jika benar-benar diperlukan dan sesuai dengan tingkat ancaman yang dihadapi.
- Prinsip akuntabilitas. Pemerintah dan pihak terkait harus bertanggung jawab atas tindakan mereka selama situasi darurat.
Non-derogable rights
Non-derogable rights merupakan hak yang tidak dapat dikurangi atau dibatasi dalam keadaan apapun, termasuk dalam keadaan perang, sengketa bersenjata, dan keadaan darurat.
Dalam Pasal 28I ayat (1) UUD NRI 1945, yang termasuk dalam non-derogable rights adalah:
- Hak untuk hidup;
- Hak untuk tidak disiksa;
- Hak kemerdekaan pikiran dan hati Nurani;
- Hak beragama;
- Hak untuk tidak diperbudak;
- Hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum; dan
- Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
Dalam keadaan darurat yang mengancam negara, sesuai Pasal 4 ayat (1) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), pemerintah boleh membatasi beberapa hak asasi manusia. Namun, pembatasan ini harus: 1) diumumkan secara resmi, 2) sangat diperlukan, 3) sesuai hukum internasional, dan 4) tidak diskriminatif. Hak-hak dasar seperti hak hidup dan bebas dari penyiksaan, serta semua hak yang termasuk non-derogable rights tidak boleh dibatasi dalam kondisi apapun.
Baca juga: Pelanggaran HAM: Jenis, Penyebab, dan Dampaknya bagi Masyarakat
Hak yang dapat dibatasi dalam kondisi darurat
Hak-hak yang dapat dibatasi dalam keadaan darurat atau bisa disebut dengan derogable rights terdiri dari:
- Hak untuk menyatakan pendapat;
- Hak untuk bergerak;
- Hak untuk berkumpul; dan
- Hak untuk berbicara.
Baca juga: HAM Kebebasan Berbicara: Pengertian, Batasan, dan Tantangan
Hukum internasional tentang HAM dalam situasi darurat


Dalam skala internasional, pembatasan HAM diatur dalam Deklarasi HAM Universal (Universal Declaration of Human Rights), Konvensi HAM Eropa (Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms and Protocol), sampai dengan Deklarasi HAM ASEAN (ASEAN Human Rights Declaration). Tepatnya dalam:
- Deklarasi HAM Universal (Universal Declaration of Human Rights). Pembatasan HAM dalam situasi darurat diatur dalam Pasal 29 ayat (2) Deklarasi HAM Universal.
- Konvensi untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Fundamental (Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms and Protocol), lebih dikenal sebagai Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia. Pembatasan HAM dalam situasi darurat diatur dalam Article 10 (2).
- Deklarasi HAM ASEAN (ASEAN Human Rights Declaration), tepatnya dalam general principles point 8.
Baca juga: Jenis-jenis HAM: Memahami Berbagai Aspek Hak Asasi Manusia
Implementasi HAM dalam situasi darurat di berbagai negara
Beberapa negara di dunia yang sudah pernah melaksanakan pembatasan HAM di situasi darurat, diantaranya adalah:
- Republik Demokratik Kongo, Afrika.
Kasus kekerasan bersenjata di bagian timur Republik Demokratik Kongo meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir, mengakibatkan lebih dari 7.380 warga sipil tewas antara 2017 dan April 2022. Sebagai negara yang terikat pada Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, Republik Demokratik Kongo memiliki kewajiban untuk melindungi hak asasi manusia, termasuk hak yang tidak dapat dicabut.
Untuk mengatasi situasi ini, Presiden Tshisekedi mengumumkan keadaan darurat melalui Peraturan Presiden pada 3 Mei 2021, dengan tujuan melindungi warga dari serangan kelompok bersenjata. Namun, selama keadaan darurat, pemerintah tidak sepenuhnya memenuhi kewajibannya untuk melindungi hak asasi manusia.
Terdapat pelanggaran serius, seperti pembunuhan aktivis HAM oleh militer, penangkapan sewenang-wenang, kondisi penjara yang buruk, dan serangan terhadap jurnalis yang mengkritik pemerintah. Situasi ini menunjukkan bahwa keadaan darurat tidak berhasil meningkatkan perlindungan hak asasi manusia dan kesejahteraan masyarakat, yang seharusnya menjadi tujuan utama dari deklarasi tersebut.
- Tiongkok
Pada tahun 2023, Tiongkok menghadapi kemerosotan ekonomi yang serius, dengan pengangguran pemuda mencapai 21,3%. Penutupan pabrik dan pemotongan upah memicu protes dan mogok kerja. Untuk mengatasi situasi ini, pemerintah membatasi kebebasan berekspresi dan berkumpul, mengklaim untuk menjaga keamanan nasional.
Protes “Revolusi Kertas Putih” muncul, di mana pengunjuk rasa memegang kertas kosong. Beberapa di antara mereka dilaporkan diculik. Tindakan pemerintah ini menunjukkan ketidakmampuan Tiongkok dalam menerapkan pembatasan hak asasi manusia sesuai aturan yang berlaku.
- Perancis
Setelah serangan teroris di Paris pada November 2015, pemerintah Perancis mengumumkan keadaan darurat selama 35 bulan. Selama ini, mereka memberlakukan pembatasan pada hak dan kebebasan, seperti jam malam, penutupan tempat umum, dan pembatasan unjuk rasa.
Pemerintah juga dapat melakukan penggeledahan tanpa surat perintah dan menahan individu tanpa proses peradilan, yang menunjukkan potensi penyalahgunaan kekuasaan dalam penegakan hak asasi manusia.
Baca juga: Apa Itu Hak Asasi Manusia (HAM)? Pengertian, Sejarah, dan Pentingnya HAM
Tantangan dalam penegakan HAM saat situasi darurat
Beberapa tantangan dalam penegakan HAM saat situasi darurat adalah sebagai berikut:
- Penyalahgunaan Kekuasaan
Ada risiko bahwa pemerintah dapat menyalahgunakan status darurat untuk membatasi HAM secara berlebihan atau sewenang-wenang. Oleh karena itu, diperlukan mekanisme pengawasan yang efektif untuk memastikan bahwa pembatasan yang diberlakukan benar-benar diperlukan dan proporsional
- Kurangnya Kejelasan Hukum
Dalam beberapa kasus, peraturan yang mengatur pembatasan HAM selama keadaan darurat mungkin tidak cukup jelas atau komprehensif, yang dapat menyebabkan interpretasi yang salah atau penerapan yang inkonsisten.
- Pengawasan dan Akuntabilitas
Memastikan adanya pengawasan independen dan mekanisme akuntabilitas yang efektif selama penerapan keadaan darurat adalah hal yang krusial untuk mencegah pelanggaran HAM.
Baca juga: Lembaga Perlindungan HAM: Peran, Fungsi, dan Contoh di Indonesia
Kesimpulan
Meskipun HAM dapat dibatasi dalam kondisi darurat, pembatasan tersebut harus dilaksanakan dengan seimbang, proporsional, bersifat sementara, serta tidak melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia yang tidak dapat diganggu gugat seperti hak untuk hidup, larangan penyiksaan, dan kebebasan dari perbudakan.
Baca juga: Hukum Internasional tentang HAM: Prinsip, Instrumen, dan Implementasi
Perqara telah melayani lebih dari 27.700 konsultasi hukum
Ada ratusan mitra Advokat Perqara dengan keahlian khusus di masing-masing bidangnya seperti ketenagakerjaan, perkawinan dan perceraian, pertanahan, dan masih banyak lagi. Sehingga, klien dapat konsultasi tentang masalah hukum lainnya sesuai dengan permasalahan yang sedang dialami.
Konsultasi hukum online di Perqara
Apabila Sobat Perqara memiliki permasalahan hukum terkait hak asasi manusia, Sobat dapat mengobrol langsung dengan advokat profesional secara gratis hanya di Perqara. Download aplikasi Perqara sekarang dan dapatkan konsultasi hukum gratis untuk mendapatkan solusi hukum tepat kapan pun dan di mana pun.
Baca juga: HAM dalam Konstitusi Indonesia: Dasar Hukum, Prinsip, dan Implementasi
(Artikel ini telah disunting oleh Tim Redaksi Perqara)
Dasar hukum
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Undang Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 23 Tahun 1959 tentang Penetapan Keadaan Bahaya
Referensi
- Amnesty International. China 2023. https://www.amnesty.org/en/location/asia-and-the-pacific/east-asia/china/report-china/. Diakses pada 28 Februari 2025.
- Human Right Watch. A Human Right Agenda for France: 14 Human Right Priorities for President Macron’s Second Term. https://www.hrw.org/news/2022/07/05/human-rights-agenda-france. Diakses pada 28 Februari 2025.
- M, Reza Saputra, et al. “Hukum Tata Negara Darurat dalam Perspektif HAM: Dilema Antara Keamanan Negara dan Hak Asasi Manusia”. Birokrasi: Jurnal Ilmu Hukum dan Tata Negara. Volume 2, No. 4 (September 2024). Hlm. 182-194.
- Nur Masyita, et al. “Perlindungan Hak Asasi Manusia Dalam Keadaan Darurat Di Republik Demokratik Kongo Berdasarkan Hukum Hak Asasi Manusia”. Jurnal Ilmu Hukum Lasadindi. Volume 1, No. 3 (Desember, 2024). Hlm 106-118.
- Pan Mohamad Faiz. Embrio dan Pembatasan Hak Asasi Manusia di Indonesia, disampaikan dalam forum diskusi online. https://panmohamadfaiz.com/2007/11/19/pembatasan-hak-asasi-manusia-di-indonesia/. Diakses pada 28 Februari 2025.
- Oegar S. Matompo, “Pembatasan Terhadap Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Keadaan Darurat”. Jurnal Media Hukum. Volume 21, No. 1 (Juni 2014).