Eksekusi putusan pengadilan adalah tahap krusial dalam hukum pidana. Tanpa eksekusi efektif, keadilan tidak terwujud. Artikel ini membahas pengertian eksekusi putusan pengadilan, serta dasar hukum, pihak berwenang, prosedur, dan tantangan eksekusi pidana di Indonesia.
Baca juga: Pidana Kurungan dan Penjara dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia
Pengertian eksekusi putusan pengadilan
Eksekusi putusan pengadilan pidana adalah pelaksanaan perintah atau amar putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dalam perkara pidana. Dengan kata lain, apabila seorang terdakwa telah dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana oleh pengadilan, maka negara wajib mengeksekusi hukuman tersebut sesuai dengan putusan.
Eksekusi merupakan tahap akhir dari sistem peradilan pidana (criminal justice system), yaitu setelah tahapan pengadilan selesai.
Baca juga: Peringanan dan Pemberatan Hukuman dalam Hukum Pidana
Dasar hukum eksekusi putusan pidana di Indonesia


Berikut adalah beberapa dasar hukum utama yang mengatur eksekusi putusan pidana di Indonesia.
- Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
- Undang-Undang No. 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
- Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia No. PER-036/A/JA/09/2011 tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum.
- Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru).
Baca juga: Tindak Pidana Pencabulan: Pengertian, Jenis, dan Saksinya di Indonesia
Pihak yang berwenang melaksanakan eksekusi
Dalam sistem peradilan pidana Indonesia, pelaksanaan putusan pidana dilakukan oleh beberapa pihak sesuai dengan kewenangan hukum masing-masing. Beberapa diantaranya adalah:
- Jaksa Penuntut Umum (JPU): Berperan untuk menjalankan eksekusi pidana seperti penjara, denda, perampasan barang bukti, dll. Juga mengajukan permintaan ke Lembaga lain yang terkait seperti Lapas dan Kepolisian apabila eksekusi memerlukan koordinasi.
- Kepolisian: Berperan dalam mengawal eksekusi, termasuk eksekusi pidana mati, pengosongan rumah, atau penangkapan kembali terdakwa yang melarikan diri sebelum dieksekusi.
- Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) / Rumah Tahanan Negara (Rutan): Berperan untuk menerima narapidana berdasarkan surat eksekusi dari JPU dan melaksanakan pembinaan terhadap narapidana.
Baca juga: Tindak Pidana Pemalsuan Data: Jenis, Dasar Hukum, dan Sanksi yang Berlaku
Jenis-jenis eksekusi dalam kasus pidana
Berikut ini merupakan jenis-jenis eksekusi dalam kasus pidana:
- Eksekusi pidana pokok
- Eksekusi pidana penjara, yaitu narapidana ditempatkan di Lapas.
- Eksekusi pidana mati, yaitu dilakukan oleh regu tembak di bawah pengawasan. Eksekusi ini dilaksanakan bukan di tempat umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 271 KUHAP.
- Eksekusi pidana denda, yaitu pelaksanaan pembayaran denda yang dijatuhkan oleh pengadilan. Apabila tidak dibayar, maka dapat diganti dengan pidana kurungan pengganti.
- Eksekusi pidana tambahan
- Perampasan barang tertentu, yaitu dilakukan terhadap barang hasil kejahatan, senjata, uang hasil korupsi, dll. Selanjutnya akan dilelang atau dimusnahkan oleh negara.
- Pencabutan hak tertentu, yaitu seperti pelaksanaan hak jabatan publik. Dilaksanakan dengan pemberitahuan kepada instansi terkait seperti lembaga kepegawaian agar terpidana tidak bisa menjabat kembali.
- Eksekusi pidana tambahan khusus
Terkait dengan pidana tertentu, dilakukan dengan:
- Pengumuman putusan hakim di media, terutama untuk pidana korporasi atau pelanggaran kode etik.
- Pembubaran badan hukum jika korporasi dinyatakan bersalah.
- Eksekusi terhadap barang bukti
Hal ini bisa dilakukan dengan dikembalikan kepada yang berhak, dimusnahkan, atau dirampas untuk negara.
Baca juga: Perbedaan Putusan Bebas dan Lepas dalam Hukum Pidana
Prosedur dan tahapan eksekusi putusan pidana


Pelaksanaan putusan pidana hanya dapat dilakukan setelah putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht), kecuali dalam hal eksekusi sementara. Tahapannya adalah sebagai berikut:
- Putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Putusan dianggap inkracht apabila tidak diajukan upaya hukum (banding, kasasi) yang diajukan setelah putusan diucapkan atau diberitahukan kepada para pihak yang berperkara dalam jangka waktu yang telah ditentukan.
- Pengiriman salinan putusan ke Kejaksaan.
Panitera pengadilan mengirimkan Salinan putusan ke Kejaksaan (sesuai yurisdiksi) untuk dieksekusi.
- Penetapan eksekusi oleh Jaksa.
Jaksa membuat Surat Perintah Pelaksanaan Putusan Pengadilan (SP3P) yang disertai dengan dokumen seperti salinan putusan, berita acara putusan, laporan singkat amar putusan.
- Koordinasi teknis jika diperlukan.
Hal ini dilakukan untuk pidana mati, pengosongan tempat, atau perampasan aset. Jaksa akan berkoordinasi dengan Kepolisian, Lapas, atau Dinas terkait.
- Pelaksanaan eksekusi.
Dilaksanakan sesuai jenis pidana.
- Pembuatan berita acara eksekusi.
Jaksa membuat berita acara pelaksanaan eksekusi sebagai dokumen resmi pelaksanaan. Dokumen ini nantinya akan disampaikan ke pengadilan dan disimpan sebagai arsip kejaksaan.
Baca juga: Tindak Pidana Terorisme: Pengertian, Jenis, dan Sanksi Hukumnya di Indonesia
Hambatan yang dapat terjadi dalam eksekusi putusan
Terdapat beberapa hambatan dalam pelaksanaan eksekusi pidana, diantaranya adalah:
- Putusan belum berkekuatan hukum tetap, sehingga proses eksekusi tertunda.
- Terpidana melarikan diri atau tidak diketahui keberadaannya.
- Terpidana menunjukan sikap tidak kooperatif, beberapa terpidana menolak eksekusi seperti menolak pembayaran denda sehingga menyebabkan keributan atau memerlukan upaya paksa tambahan dari pejabat yang berwenang.
- Persoalan teknis dan administratif, seperti kendala birokrasi yang lama atau dokumen tidak lengkap juga ketidaksiapan Lapas karena over kapasitas.
- Ketiadaan barang bukti atau objek eksekusi, hal ini bisa terjadi ketika barang bukti sudah dipindah tangan atau tidak ditemukan, atau ketidakjelasan siapa pihak yang berhak atas barang tersebut.
- Kurangnya koordinasi antar lembaga, sehingga memperlambat bahkan menggagalkan eksekusi.
- Campur tangan politik dan tekanan publik, misalnya eksekusi pidana mati terhadap warga negara Indonesia (WNI) yang sedang di luar negeri yang tertunda karena adanya intervensi diplomatik.
- Ketentuan perundang-undangan yang belum harmonis.
Baca juga: Keadilan Restoratif dalam Hukum Pidana: Pengertian, Dasar Hukum, dan Contoh Kasus
Perqara telah melayani lebih dari 27.700 konsultasi hukum
Untuk permasalahan hukum terkait Pidana, Perqara telah menangani lebih dari 11.00 kasus. Ada ratusan mitra Advokat Perqara dengan keahlian khusus di masing-masing bidangnya seperti ketenagakerjaan, perkawinan dan perceraian, pertanahan, dan masih banyak lagi. Sehingga, klien dapat konsultasi tentang masalah hukum lainnya sesuai dengan permasalahan yang sedang dialami.
Konsultasi hukum online di Perqara
Apabila Sobat Perqara memiliki permasalahan hukum terkait permasalahan ini, Sobat dapat mengobrol langsung dengan advokat profesional secara gratis hanya di Perqara. Download aplikasi Perqara sekarang dan dapatkan konsultasi hukum gratis untuk mendapatkan solusi hukum tepat kapan pun dan di mana pun.
Baca juga: Pidana Tambahan dalam Kasus Pidana: Pengertian, Jenis, dan Contoh Kasus
(Artikel ini telah disunting oleh Tim Redaksi Perqara)
Dasar hukum
- Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
- Undang-Undang No. 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
- Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia No. PER-036/A/JA/09/2011 tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum
- Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru)
Referensi
- Allan Supit, “Pelaksanaan Putusan Perkara Pidana yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana”, Jurnal Lex Privatum, Vol. IV, No. 7, (2016): hlm. 117-123.
- Fiona Pelafi, “Pelaksanaan Putusan Pengadilan dalam Perkara Pidana Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana”, Jurnal Lex Crimen, Vol. VI, No. 3, (2017): hlm. 86-93.