Menjatuhkan hukuman kepada pelaku kejahatan dan pelanggar hukum kini tidak lagi menjadi tanggung jawab pemegang kekuasaan yudisial sebuah negara, yakni peradilan. Secara de facto sanksi dapat pula datang dari masyarakat. Kita mengenalnya dengan sebutan sanksi sosial.
Praktik pemberlakuan sanksi sosial ini juga didukung karena bertambahnya pengguna media sosial. Hal ini mempermudah masyarakat untuk saling memberikan pengaruh dalam menyatakan sanksi sosial kepada oknum yang dituju.
Contoh nyatanya adalah dengan hadirnya narasi di media sosial seperti “Instagram do your magic!”, “Warga Twitter, ayo serbu!” dan “Yuk boikot produk negara pembela ideologi tertentu”. Alhasil, kehidupan, karir dan masa depan dari oknum yang terkena sanksi sosial menjadi begitu terdampak dan berakhir merugikan dirinya sendiri. Pasalnya, sanksi sosial yang dimaksudkan dalam kesempatan ini ialah cancel culture atau budaya boikot secara massal.
Pemboikotan bagi pihak yang terbukti salah bisa saja dikatakan adil, sebagai implikasi dari perbuatannya. Namun, apabila pihak yang terkena cancel culture ini nyatanya tidak bersalah, apa yang dilakukan oleh masyarakat tentunya keliru. Hal ini kemudian dapat didalilkan atas penyebaran berita bohong.
Misalnya, aktor Korea Selatan Kim Seon Ho yang pada tahun 2021 kemarin sempat hiatus akibat hukuman netizen yang dinyatakan kepadanya. Ia mengalami boikot habis-habisan akibat skandal antara dirinya dengan mantan pacarnya terdahulu. Banyak perusahaan yang turut memutuskan kontrak kerja sama dengan Kim Seon Ho. Pasalnya citra Kim Seon Ho mengalami degradasi seiring dengan disuarakannya cancel culture kepadanya.
Oleh karena itu bukankah cancel culture menjadi begitu menyeramkan? Bagaimana dengan cancel culture di Indonesia? Yuk simak lebih lanjut mengenai apa itu cancel culture.
Apa Itu Cancel Culture?
Cancel culture bukan lahir dari bentuk hukum positif yang misalnya berbentuk undang-undang atau sebuah adat istiadat. Cancel culture tumbuh secara alami dari masyarakat sebagai respons dari peristiwa tertentu. Salah satu contoh pemboikotan yang paling marak adalah terhadap kalangan artis atau selebritas.
Di Indonesia sendiri, kehidupan profesional dan pribadi seorang artis adalah konsumsi publik. Sebagaimana halnya manusia biasa, seorang artis kadangkala dapat berbuat kesalahan dalam berinteraksi. Sayangnya kehidupan seorang artis yang selalu tersorot massa membuat kesalahan-kesalahan yang ia perbuat mudah sekali terlihat dan sukar dimaafkan masyarakat. Hal ini juga berhubungan dengan seorang artis yang secara tidak langsung menjadi sebuah role model (contoh teladan) bagi masyarakat. Tuntutan untuk selalu berbuat baik adalah bagian dari kehidupan seorang artis.
Jika belum terbukti, aksi cancel culture sering kali membuat dampak buruk bagi seorang artis yang menjadi objek pemboikotan. Tidak jarang terlihat bahwa si artis yang diboikot ini tak lagi memiliki kelanjutan karier. Karena dampak cancel culture yang dapat mengubah kehidupan seseorang, kita harus mulai memperhatian setiap unsurnya, apakah memang ada tindakan yang melawan hukum.
Contoh Cancel Culture di Indonesia
Cancel culture dapat dilakukan secara aktif dan pasif, senada dengan pengertian perbuatan pasif dan aktif yang berkembang dalam ilmu hukum itu sendiri. Cancel culture dalam arti perbuatan aktif adalah menyuarakan kebencian, menebarkan tulisan dan karya audio-visual yang berisikan kebohongan terhadap pihak tertentu. Sedangkan cancel culture dalam arti perbuatan pasif dinyatakan dengan tidak adanya suara dukungan dan respons kepada pihak tertuju.
Sekalipun terbagi dua, perbuatan aktif dan pasif cancel culture dapat bersifat kumulatif. Perbuatan aktif akan berakibat pada cancel culture yang bertindak secara pasif. Dengan demikian, tujuan dari cancel culture untuk menutup jalan akses interaksi sosial dan karier dari pihak yang tertuju dapat terlaksana sepenuhnya karena tidak ada dukungan atau respons yang mampu diperolehnya.
Contoh kasus cancel culture yang terjadi di kalangan masyarakat yang bukan merupakan figur publik adalah kasus perseteruan fans NCT dengan Safa. Safa yang merupakan pengguna media sosial Twitter menyuarakan pendapatnya yang negatif tentang sebuah band asal Korea Selatan yaitu NCT.
Fans NCT tidak senang dengan perlakuan Safa hingga akhirnya mereka berbondong-bondong menyerang Safa dan mengancamnya dengan berbagai macam ancaman yang melanggar hak asasinya sebagai manusia. Kasus perseteruan ini yang seharusnya menempatkan Safa sebagai pelaku, justru malah berbalik menjadikannya sebagai korban bullying dan ancaman yang dilakukan oleh massa yaitu kelompok Fans NCT karena melakukan cancel culture terhadapnya.
Cancel Culture di Mata Hukum
Faktor penentu cancel culture adalah terletak pada benar atau tidaknya peristiwa yang melatarbelakangi pemboikotan tersebut. Misalnya, A diboikot karena dirumorkan memiliki anak di luar nikah bersama B. Kebenarannya mesti dibuktikan, apakah peristiwa itu sungguh terjadi atau hanya rumor belaka yang digunakan oleh oknum tertentu untuk merugikan si A dengan sengaja.
Apabila pemboikotan telah terjadi, tetapi rumor yang melatarbelakangi pemboikotan tidaklah benar, melalui kacamata hukum hal ini dapat dikatakan sebagai penistaan. Artinya, sebagaimana termaktub pada Pasal 311 KUHP tentang Kejahatan Menista. Penyebar berita yang menyebabkan pemboikotan tersebut dapat diancam pidana berupa hukuman penjara paling lama 4 (empat) tahun.
Selain itu ada juga pencabutan hak sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat (1) KUHP, yaitu hak memegang jabatan, hak memasuki angkatan bersenjata, hak pemilihan umum, hak dalam menggeluti profesi hukum, hak menjalankan kekuasaan bapak atau perwalian, dan hak menjalani mata pencaharian tertentu.
Bagi yang memboikot menggunakan media sosial, sebagaimana dicontohkan pada pendahuluan artikel ini, pelaku dapat dijerat dengan sejumlah pasal pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 (“UU ITE”).
Jeratan hukum dapat berlaku apabila provokator atau si pemboikot yang menggunakan media sosial ini menyebarkan narasi-narasi yang tidak benar, sehingga mencemari nama baik dari pihak yang ditujukan pemboikotan tersebut. Berangkat dari pandangan ini, si provokator dapat dijerat dengan Pasal 45 ayat (3) UU ITE, dengan ancaman pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00.
Apabila si provokator atau si pemboikot yang menggunakan media sosial ini memeras dan mengancam untuk memojokkan dan memaksa pihak tertuju mengakui perbuatan tertentu, ia dapat dijerat Pasal 45 ayat (4) UU ITE, dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00.
Apabila si provokator atau si pemboikot menggunakan unsur suku, agama, ras, dan antargolongan yang menimbulkan kebencian atau permusuhan antara individu dan kelompok masyarakat, ia dapat dijerat dengan Pasal 45A ayat (2) UU ITE, dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00.
Pasal yang terakhir ini dapat ditemukan contohnya. Sobat Perqara mungkin masih ingat aksi pemboikotan sejumlah merek dagang asal Prancis akibat permasalahan golongan agama tertentu.
Berangkat dari keberadaan sejumlah pasal-pasal di atas, sepatutnya cancel culture dilakukan secara bijak dan benar. Kita harus melihat fakta kasus yang memantik pemboikotan itu sendiri. Apabila berangkat dari hal-hal yang tidak benar, tidak bijak, penistaan, dan pemfitnahan, cancel culture bisa saja menjadi bumerang bagi si pelaku yang menyebarkan narasi. Alih-alih memperoleh keadilan, hal yang terjadi justru adalah ketidakadilan terbesar bagi pihak yang tertuju.
Dengan demikian, Sobat Perqara sebaiknya mengetahui bahwa cancel culture seharusnya tidak berbahaya. Namun oknum-oknum yang menyalahgunakannya itulah yang berbahaya bagi sosial masyarakat.
Cancel culture memang belum diatur secara tersurat dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Namun beranjak dari pemahaman norma sosial dan kesopanan yang ada di masyarakat, kita harus memahami bahwasanya cancel culture haruslah diberi batasan, yakni kebenaran dari kejadian yang mengundang cancel culture itu sendiri. Maka dari itu gunakanlah hak suara dan berpendapat kita dengan bijak. Katakan apa yang memang perlu dan baik untuk disebarluaskan berdasarkan fakta dan data.
Perqara Telah Melayani Lebih dari 5.500 Konsultasi Hukum
Untuk permasalahan hukum terkait Pidana, Perqara telah menangani lebih dari 2.200 kasus. Ada ratusan mitra Advokat Perqara dengan keahlian khusus di masing-masing bidangnya seperti ketenagakerjaan, perkawinan dan perceraian, pertanahan, dan masih banyak lagi. Sehingga, klien dapat konsultasi tentang masalah hukum lainnya sesuai dengan permasalahan yang sedang dialami.
Konsultasi Hukum Gratis di Perqara
Apabila Sobat Perqara memiliki pertanyaan atau permasalahan hukum ini, Sobat dapat mengobrol langsung dengan advokat profesional secara gratis hanya di Perqara. Dapatkan konsultasi hukum gratis untuk mendapatkan solusi hukum tepat kapan pun dan di mana pun.
Baca juga: Menghina Artis Bisa Terjerat Hukum? Simak Penjelasannya!
(Artikel ini telah disunting oleh Tim Redaksi Perqara)
Dasar Hukum
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.