Aborsi bukanlah istilah asing di masyarakat kita. Perbuatan menggugurkan kandungan ini sering kali dinilai tidak patut dilakukan, baik secara moral maupun agama, karena bertentangan dengan norma-norma yang ada di masyarakat. Selain permintaan medis, alasan aborsi yang paling sering kita dengar yaitu sebagai jalan keluar atas kehamilan yang tidak direncanakan. 

Melakukan aborsi tanpa didasari alasan medis dapat menggiring si individu kepada tindak kejahatan yang melanggar undang-undang. Hal ini dikategorikan sebagai “aborsi ilegal”, terlebih apabila dilakukan oleh pihak yang tidak profesional. Sebenarnya apakah tindakan aborsi dapat dinyatakan ilegal sepenuhnya? Siapa saja yang bisa terkena sanksi aborsi? Apa hukuman melakukan aborsi?

Pengertian Aborsi

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan merupakan salah satu payung hukum terhadap keberadaan aborsi. Namun undang-undang ini tidak mencantumkan secara jelas pengertian dari aborsi. Berdasarkan sudut pandang medis, aborsi atau Abortus adalah pengakhiran kehamilan/pengguguran kandungan yang belum cukup waktu yakni di bawah usia 20 sampai 28 minggu maupun yang belum cukup berat yakni di bawah 400 gr sampai 1000 gr. 

Dalam dunia ilmu kedokteran, ada dua kategori aborsi: Abortus Spontan (keguguran dengan sendirinya) dan Abortus Provokatus (sengaja dilakukan akibat diagnosa pihak medis yang mengharuskan aborsi dan tanpa diagnosa pihak medis dengan alasan ekonomi, perkosaan, dan lainnya). Dalam Abortus Provokatus, dikenal Abortus Provokatus Kriminalis yakni pengguguran kehamilan tanpa adanya alasan medis yang sah dan tidak memenuhi unsur-unsur yang sesuai dengan hukum yang berlaku.1

Dasar Hukum Aborsi

Tindakan aborsi telah diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Beberapa di antaranya tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”), dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi (“PP Kespro”) . 

Aborsi dalam Pasal KUHP

Larangan dalam melakukan tindakan pengguguran kandungan pihak perempuan tercantum secara jelas dalam beberapa pasal pada KUHP sebagai berikut:

  • Pasal 299 ayat (1) KUHP: “Barang siapa dengan sengaja seorang wanita atau menyuruh supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).” 
  • Pasal 346 KUHP: “Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.”
  • Pasal 347 ayat (1) KUHP: “Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.”
  • Pasal 348 ayat (1) KUHP: “Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.”

Berdasarkan pasal-pasal di atas, pelanggaran hukum tidak hanya dijatuhkan bagi pihak perempuan yang melakukan aborsi, melainkan juga seorang lainnya yang ikut serta dalam membantu perbuatan tersebut. Para pelaku dapat dikenakan sanksi hukum sesuai dengan masing-masing pasal yang berlaku.

Aborsi dalam UU Kesehatan

Selain berdasarkan KUHP, aborsi juga menyangkut risiko kesehatan sehingga perbuatan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”). Undang-undang ini menyatakan secara tegas bahwa setiap orang dilarang melakukan tindakan aborsi dan Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari tindak aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, tidak bertanggung jawab, serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan. (Pasal 75 ayat (1) jo. Pasal 77 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.)

Maksud dari aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab adalah aborsi dilakukan dengan paksaan, tanpa persetujuan perempuannya dan dilakukan oleh tenaga kesehatan yang tidak profesional, tidak mengikuti standar profesi dan pelayanan yang berlaku. (Penjelasan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.)

Aborsi dalam PP Kespro

Untuk melaksanakan amanat UU Kesehatan di atas, Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi (“PP Kespro”) sebagai peraturan pelaksana dari UU Kesehatan juga memberikan detail mengenai aborsi. 

PP Kespro menjelaskan bahwa aborsi dapat dilakukan berdasarkan indikasi kedaruratan medis; atau kehamilan akibat perkosaan yang keduanya harus diselenggarakan dengan aman, bermutu, dan bertanggung jawab. (Pasal 31 jo. Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.) PP Kespro juga melarang tindakan aborsi oleh pihak perempuan apabila tidak ada alasan medis yang mendasar. 

Syarat Aborsi yang Diperbolehkan Secara Hukum

Berdasarkan KUHP, UU Kesehatan, dan PP Kespro, aborsi tidak dibenarkan tindakannya apabila tidak didasarkan alasan medis. Namun berdasarkan Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, ada sejumlah pengecualian yang memperbolehkan aborsi, yaitu:

  1. Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki, sehingga menyulitkan bayi untuk hidup di luar kandungan; atau
  2. Kehamilan akibat perkosaan dengan tidak adanya persetujuan dari pihak korban yang menyebabkan trauma dalam hal psikologisnya. 

Kedua tindakan di atas dilaksanakan setelah melakukan konseling oleh konselor yang berkompeten dan/atau penasehatan. Konseling dilakukan pada tahap pra tindakan dan pasca tindakan. Untuk kedaruratan medis, pasien harus memeriksakan diri sesuai dengan standar disertai dengan membuat surat keterangan kelayakan aborsi. Sedangkan dalam Pasal 34 ayat (2) PP Kespro, untuk kehamilan akibat perkosaan, perlu disertai dengan:

  1. Usia kehamilan sesuai dengan fakta yang terjadi pada perkosaan, disertai dengan surat keterangan dokter; dan
  2. Keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan.

Apabila sudah sesuai dengan salah satu kriteria, menurut Pasal 76 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, aborsi harus dilakukan dengan memenuhi kriteria, yakni:

  1. Kehamilan belum berumur 6 (enam) minggu yang dihitung pada hari pertama haid terakhir, kecuali adanya hal kedaruratan medis; 
  2. Tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan, kewenangan, dan sertifikat yang ditetapkan oleh Menteri di bidang kesehatan;
  3. Persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
  4. Izin suami, kecuali korban perkosaan;
  5. Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi standar yang ditetapkan oleh Menteri di bidang kesehatan; 
  6. Tidak diskriminatif;
  7. Tidak mengutamakan imbalan materi; 

Sanksi Hukum Bagi Pelaku Aborsi Ilegal

Ketika aborsi dilakukan secara ilegal atau tidak sesuai dengan ketentuan peraturan, hal tersebut sudah pasti melanggar hukum dan akan mendapatkan sanksi. Tidak hanya untuk pihak perempuan, sanksi hukum juga dikenakan kepada seseorang yang membantu pelaksanaan aborsi. Sanksi hukum yang dapat dikenakan pada aborsi ilegal, yakni: 

  • Pasal 349 KUHP: “Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan Pasal 346 ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.” 
  • Pasal 194 UU Kesehatan: “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Baca Juga: Sanksi Pidana untuk Konsumen VCS

Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan di atas, orang yang hendak melakukan aborsi memerlukan pendampingan oleh tenaga medis yang bermutu, aman, dan bertanggung jawab. Ia juga perlu berkonsultasi, berdiskusi dengan keluarganya dan melakukan aborsi berdasarkan alasan medis yang konkrit agar tidak melanggar hukum Indonesia. 

Apabila Sobat Perqara memiliki masalah hukum terkait tindakan di atas atau lainnya, silakan tinggalkan komentar. Kami akan bantu memberikan solusi yang terbaik untuk Sobat Perqara. 

Perqara Telah Melayani Lebih dari 5.500 Konsultasi Hukum

Untuk permasalahan hukum terkait Pidana, Perqara telah menangani lebih dari 2.200 kasus. Ada ratusan mitra Advokat Perqara dengan keahlian khusus di masing-masing bidangnya seperti ketenagakerjaan, perkawinan dan perceraian, pertanahan, dan masih banyak lagi. Sehingga, klien dapat konsultasi tentang masalah hukum lainnya sesuai dengan permasalahan yang sedang dialami.

Konsultasi Hukum Gratis di Perqara

Apabila Sobat Perqara memiliki permasalahan hukum terkait permasalahan ini, Sobat dapat mengobrol langsung dengan advokat profesional secara gratis hanya di Perqara. Dapatkan konsultasi hukum gratis untuk mendapatkan solusi hukum tepat kapan pun dan di mana pun.

Dasar Hukum

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
  2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.

Referensi

  1. Fakultas Kedokteran UNPAD. Obstetri Patologi. Bandung: UNPAD, Elstrar, 1984. 
  2. Saifullah, Moh. “Aborsi dan Resikonya bagi Perempuan (Dalam Pandangan Hukum Islam)”. Jurnal Sosial Humaniora 4, No.1 (Juni 2011): 17.