Salah tangkap merupakan peristiwa penangkapan seseorang yang disangka melakukan tindak pidana, namun ternyata di kemudian hari tidak terbukti bersalah. Tindakan salah tangkap termasuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan dapat berdampak buruk bagi korban, baik secara fisik, mental, maupun sosial.
Negara harus bertanggung jawab karena HAM menjadi hak yang fundamental sehingga harus dilindungi. Oleh karena itu, penting untuk memahami dasar hukum, hak-hak, dan ganti rugi yang berhak diterima korban salah tangkap di Indonesia.
Baca juga: Simak Perbedaan Putusan Bebas dengan Putusan Lepas
Dasar hukum salah tangkap
Di Indonesia, dasar hukum salah tangkap terdapat dalam beberapa peraturan, antara lain:
- Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”). Merujuk pada Pasal 95 dan Pasal 97 KUHAP, korban berhak menuntut ganti rugi maupun rehabilitasi karena salah tangkap.
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“PP No. 92 Tahun 2015”). Peraturan ini mengatur mengenai pemberian ganti rugi kepada korban salah tangkap.
- Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 11 Tahun 1985 tentang Permohonan Rehabilitasi dari Terdakwa yang Dibebaskan atau Dilepas dari Segala Tuntutan Hukum.
Baca juga: Panduan Layanan Laporan Polisi Online
Hak-hak korban salah tangkap
Korban salah tangkap berhak atas ganti kerugian dan rehabilitasi:
- Ganti Kerugian
Menurut Pasal 1 angka 22 KUHAP, ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam KUHAP.
- Rehabilitasi
Selain ganti kerugian, tersangka atau terdakwa juga berhak untuk mendapatkan rehabilitasi. Pasal 1 angka 23 KUHAP mendefinisikan rehabilitasi adalah hak seorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam KUHAP.
Baca juga: Pelaku Kejahatan Dapat Terbebas dari Hukuman? Kenali Istilah Penghapusan Pidana!
Ganti rugi korban salah tangkap
Ganti rugi korban salah tangkap terdapat pada ketentuan Pasal 95 ayat (1) KUHAP. Tuntutan ganti kerugian diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kepada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan menurut Pasal 95 ayat (3) KUHAP.
Jangka waktu pengajuan tuntutan ganti kerugian diatur dalam Pasal 7 PP No. 92 Tahun 2015:
- Tuntutan ganti kerugian hanya dapat diajukan dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal petikan atau salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diterima.
- Dalam hal tuntutan ganti kerugian tersebut diajukan terhadap perkara yang dihentikan pada tingkat penyidikan atau tingkat penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b KUHAP, maka jangka waktu 3 (tiga) bulan dihitung dari saat tanggal pemberitahuan penetapan praperadilan.
Besar ganti kerugian yang dapat diperoleh oleh tersangka atau terdakwa berdasarkan ketentuan Pasal 9 PP No. 92 Tahun 2015 sebagai berikut:
- Besarnya ganti kerugian berdasarkan bagi seorang yang perkaranya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan serta Pasal 95 KUHAP paling sedikit Rp500 ribu dan paling banyak Rp100 juta.
- Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP yang mengakibatkan luka berat atau cacat sehingga tidak bisa melakukan pekerjaan, besarnya ganti kerugian paling sedikit Rp25 juta dan paling banyak Rp300 juta.
- Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP yang mengakibatkan mati, besarnya ganti kerugian paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp600 juta.
Baca juga: Pembelaan Terpaksa (Noodweer) Dalam Hukum Pidana
Contoh kasus salah tangkap
Salah satu kasus salah tangkap yang menjadi sorotan publik dan memicu berbagai kritik terhadap kinerja aparat penegak hukum beberapa waktu lalu, yaitu kasus salah tangkap Pegi Setiawan pada perkara pembunuhan Vina dan Eky. Pada 8 Juli 2024, Hakim Tunggal Pengadilan Negeri Bandung, yaitu Eman Sulaeman memutuskan bahwa penetapan Pegi Setiawan sebagai tersangka tidak sah dan batal demi hukum. Hakim menyatakan bahwa proses penetapan tersangka Pegi cacat secara formil dan materil. Pegi dibebaskan dari tahanan dan namanya dipulihkan.
Kasus tersebut menunjukkan bahwa salah tangkap dapat terjadi pada siapa saja. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui dasar hukum, hak-hak, dan ganti rugi yang berhak diterima korban salah tangkap.
Salah tangkap merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang serius. Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan mekanisme penegakan hukum supaya peristiwa salah tangkap dapat diminimalisir. Selain itu, perlu dilakukan edukasi kepada masyarakat tentang hak-hak korban salah tangkap agar mereka tidak ragu untuk menuntut hak-haknya.
Baca juga: Ketahui Batasan Pembelaan Diri Agar Tidak Dipidana
Perqara telah melayani lebih dari 11.500 konsultasi hukum
Untuk permasalahan hukum terkait Pidana, Perqara telah menangani lebih dari 4.500 kasus. Ada ratusan mitra Advokat Perqara dengan keahlian khusus di masing-masing bidangnya seperti ketenagakerjaan, perkawinan dan perceraian, pertanahan, dan masih banyak lagi. Sehingga, klien dapat konsultasi tentang masalah hukum lainnya sesuai dengan permasalahan yang sedang dialami.
Konsultasi hukum gratis di Perqara
Apabila Sobat Perqara memiliki permasalahan hukum terkait permasalahan ini, Sobat dapat mengobrol langsung dengan advokat profesional secara gratis hanya di Perqara. Download aplikasi Perqara sekarang dan dapatkan konsultasi hukum gratis untuk mendapatkan solusi hukum tepat kapan pun dan di mana pun..
Baca juga: Sanksi Hukum Pidana Bagi Pendemo Anarkis
(Artikel ini telah disunting oleh Tim Redaksi Perqara)
Dasar hukum
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
- Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana kemudian diubah kedua kalinya dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
- Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 11 Tahun 1985 tentang Permohonan Rehabilitasi dari Terdakwa yang Dibebaskan atau Dilepas dari Segala Tuntutan Hukum.
Referensi
- Jocelyn Valencia. “Pegi Korban Salah Tangkap, Ahli: Harus Ada Sanksi untuk Penyidik yang Tetapkan Pegi Tersangka”. Kompas.tv. Diakses pada 1 Juli 2024.