Kita sering mendengar adanya paksaan menikah terhadap calon mempelai dalam kehidupan sehari-hari maupun di media massa. Memangnya, apa sih konsekuensi dari pernikahan yang dilangsungkan di bawah paksaan? Apakah pernikahannya otomatis menjadi tidak sah? Simak artikel berikut ini sampai tuntas, ya!
Baca juga: Pernikahan Dini Menurut Hukum dan Islam
Apa yang Jadi Penyebab Nikah Karena Paksaan?
Terdapat banyak kemungkinan seseorang menikah karena paksaan. Beberapa di antaranya, yaitu:
- Hamil di luar nikah. Biasanya, untuk menutup aib keluarga, maka keluarga akan segera melaksanakan pernikahan supaya si bayi tidak dianggap anak di luar kawin;
- Kondisi perekonomian yang sulit. Contohnya, Rasminah yang harus menikah di usia 13 (tiga belas) tahun dan menjanda di usia 15 (lima belas tahun). Tak hanya itu, ia kemudian menikah lagi dan pernikahan keduanya juga berakhir dengan perceraian karena sang suami meninggalkannya. Semua itu terjadi karena kedua orangtuanya memaksanya untuk menikah dengan dalih dapat meringankan kondisi perekonomian mereka;
- Terdesak utang. Contohnya, kasus pernikahan IL, anak berusia 15 (lima belas) tahun di Tojo Una-Una yang mendapat paksaan menikah oleh orang tuanya dengan lelaki berinisial DW. Hal tersebut dilakukan untuk menutupi utang orang tua mereka kepada DW sebesar 6 (enam) juta rupiah;
- Adat istiadat. Misalnya, pertama, di Lombok, Nusa Tenggara Barat seorang anak berusia 12 (dua belas) tahun dipaksa menikah oleh orang tuanya karena dianggap pulang terlalu larut malam oleh S yang berusia 15 (lima belas) tahun). Paksaan menikah ini disebabkan adat istiadat di sana yang mengatakan alau seorang perempuan diajak pergi sampai larut malam oleh seorang pria, maka harus segera dinikahkan. Kedua, paksaan menikah dapat terjadi oleh seorang perempuan yang menjadi target dari adat “kawin tangkap” oleh seorang lelaki di Sumba.
Baca juga: Hukum Nikah Siri Tanpa Sepengetahuan Keluarga
Bagaimana Hukum Nikah Karena Paksaan?
Pada asasnya, perkawinan haruslah didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai sesuai yang disebutkan dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”). Oleh karena itu, tidak boleh ada paksaan menikah dari pihak manapun agar tujuan pernikahan, yaitu mencapai keluarga yang kekal dan bahagia dapat terwujud.
Suatu paksaan menikah biasanya juga disertai ancaman agar salah satu calon mempelai tidak kuasa untuk menolaknya. Pernikahan yang dilakukan atas dasar paksaan dapat mengakibatkan konsekuensi hukum berupa batalnya perkawinan. Namun, pembatalan perkawinan tersebut harus dimohonkan ke pengadilan. Artinya, harus ada upaya dari salah satu pihak yang dipaksa menikah agar pernikahannya batal.
Hal tersebut diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UU Perkawinan yang menegaskan bahwa, “Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.”
Tidak hanya itu, bagi pihak yang memaksa dengan mengancam seseorang untuk melakukan pernikahan dapat dikenakan tindak pidana pengancaman, sesuai yang diatur dalam Pasal 335 ayat (1) butir 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”).
Pasal tersebut berbunyi, “Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: (1) barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain.”
Baca juga: Bisakah Perjanjian Pra Nikah Dibuat Setelah Menikah?
Seperti Apa Hukum Nikah Karena Paksaan Menurut Islam?
Terdapat hadist yang menjelaskan larangan paksaan menikah, yaitu Hadis Riwayat Bukhari Nomor 6968 dan Muslim Nomor 1419 yang berbunyi, “Gadis tidak boleh dinikahkan sampai ia dimintakan izin.” Izin atau persetujuan calon mempelai merupakan hal yang esensial dalam pernikahan.
Dengan demikian, sama seperti ketentuan dalam UU Perkawinan, dalam hukum Islam yang berlaku di Indonesia, adanya paksaan menikah merupakan salah satu alasan dapat dibatalkannya pernikahan. Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 71 huruf f Perpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (“KHI”).
Baca juga: Cara Mengurus Hak Anak Dari Pernikahan Nikah Siri
Berapa Batas Waktu Untuk Membatalkan Pernikahan?
Terdapat batas waktu selama 6 (enam) bulan bagi suami atau istri untuk melakukan pembatalan pernikahan yang dilaksanakan karena paksaan. Pembatasan ini disebabkan, mungkin saja pernikahan yang dilakukan atas dasar paksaan tersebut, akhirnya diterima dan dijalani dengan ikhlas oleh pasangan suami istri. Waktu 6 (enam) bulan oleh pembuat undang-undang dianggap cukup bagi calon mempelai untuk melihat kecocokan di antara mereka dan memutuskan apakah akan membatalkan pernikahannya ataukah tidak.
Ketentuan ini dapat dilihat pada Pasal 27 ayat (3) UU Perkawinan juncto Pasal 72 ayat (3) KHI yang menyatakan bahwa, “Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak dapat menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.”
Baca juga: Hukum Menikahi Wanita Hamil
Apa Saja Syarat Pembatalan Pernikahan?
Pembatalan perkawinan dapat dilakukan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan (Pasal 22 UU Perkawinan). Terdapat 2 (dua) poin utama terkait syarat perkawinan menurut Pasal 6 UU Perkawinan, yaitu:
- Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai;
- Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun harus memperoleh izin kedua orang tuanya.
Dapat dilihat bahwa unsur persetujuan kedua calon mempelai merupakan salah satu syarat perkawinan. Persetujuan mengindikasikan tidak adanya paksaan menikah terhadap kedua mempelai.
Pasal 23 Undang-undang Perkawinan juga mengatur pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan pernikahan, yaitu:
- Para keluarga dalam garis keturunan ke atas dari suami atau istri;
- Suami atau istri;
- Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undang-undang, hanya selama perkawinan belum diputuskan;
- Pejabat lainnya yang ditunjuk dalam Pasal 16 ayat (2) UU Perkawinan dan setiap orang yang memiliki kepentingan hukum langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Selain itu, pembatalan pernikahan hanya dapat dilakukan oleh hakim di pengadilan melalui permohonan pembatalan pernikahan. Bagi pasangan yang beragama islam, maka pengajuan permohonan pembatalan pernikahan dilakukan di Pengadilan Agama. Sedangkan, bagi pasangan yang beragama selain islam, maka mengajukan permohonan pembatalan pernikahan di Pengadilan Negeri. Berdasarkan Pasal 74 ayat (1) KHI juncto Pasal 25 UU Perkawinan, permohonan pembatalan pernikahan tersebut diajukan kepada Pengadilan Negeri (bagi selain muslim) atau Pengadilan Agama (bagi muslim) di daerah hukum tempat perkawinan dilangsungkan atau tempat kediaman suami atau istri.
Baca juga : Hukum Menikahi Sepupu Menurut Hukum Islam dan Negara
Perqara Telah Melayani Lebih dari 5.500 Konsultasi Hukum
Untuk permasalahan hukum terkait Perkawinan dan Perceraian, Perqara telah menangani lebih dari 850 kasus. Ada ratusan mitra Advokat Perqara dengan keahlian khusus di masing-masing bidangnya seperti ketenagakerjaan, perkawinan dan perceraian, pertanahan, dan masih banyak lagi. Sehingga, klien dapat konsultasi tentang masalah hukum lainnya sesuai dengan permasalahan yang sedang dialami.
Baca juga: Cara Menikah Lagi Tanpa Akta Cerai
Konsultasi Hukum Gratis di Perqara
Apabila Sobat Perqara memiliki permasalahan hukum terkait permasalahan ini, Sobat dapat mengobrol langsung dengan advokat profesional secara gratis hanya di Perqara. Dapatkan konsultasi hukum gratis untuk mendapatkan solusi hukum tepat kapanpun dan di mana pun.
Baca juga: Apa Hukum Akad Nikah Tanpa Wali Dari Pihak Perempuan?
Dasar Hukum
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
- Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam
- Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Referensi
- Suhadi, Nurcahyo. “Kawin Paksa: Janji Terucap karena Tuntutan Adat”.
- Hafis, Hamdan. “Gadis 15 Tahun di Tojo Una-Una Dipaksa Nikah demi Tutupi Utang Ortu Rp 6 juta”.
- Handayani, Lilis Sri. “Dipaksa Menikah Usia 13 Tahun, Rasminah: Lawan Perkawinan Anak”.
- Baits, Ammi Nur. “Nikah Paksa, Tidak Sah?”. Diakses pada 15 November 2023.