Dalam berbagai kasus hukum di Indonesia, pasti Sobat Perqara tidak asing dengan kasus pembunuhan Brigadir J yang dilakukan oleh tersangka Ferdy Sambo. Pada proses peradilannya, tersangka Ferdy Sambo patut diduga melakukan obstruction of justice

Sebagian dari masyarakat pastinya asing dengan istilah tersebut. Namun perlu diketahui, istilah “obstruction of justice” dalam proses hukum sangat memberikan dampak pada pemberian sanksi pidana yang akan diterima oleh tersangka. Lalu, apa itu obstruction of justice? Artikel ini akan membahas secara menyeluruh mengenai obstruction of justice, baik dari pengertian, hingga tuntutan pada obstruction of justice.

Pengertian Obstruction of Justice

Diambil dari pernyataan dalam buku Peradilan Bebas Negara Hukum dan Contempt of Court, memberikan pengertian terhadap obstruction of justice yakni tindakan yang ditunjukan ataupun mempunyai efek memutarbalikkan proses hukum, dan juga mengacaukan fungsi dalam suatu proses peradilan. Selain itu, dilansir dari Cornell Law School, obstruction of justice adalah tindakan memberikan ancaman yang ditujukan kepada penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, advokat), para saksi, dan lainnya yang berkepentingan dalam kasus tersebut atau kekerasan, termasuk lewat surat dan melalui saluran komunikasi untuk menghalang-halangi proses hukum.

Dari pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa obstruction of justice dapat dikategorikan sebagai tindakan kriminal karena telah mempersulit/ menghambat jalannya penegakkan hukum serta memberikan dampak negatif terhadap citra lembaga penegakkan hukum. Oleh karenanya, obstruction of justice merupakan perbuatan pidana berupa penghinaan pada pengadilan, sehingga jika seseorang melakukan perbuatan tersebut, maka dimungkinkan hukum pidana akan ditambah dari yang diterima. 

Kedudukan Obstruction of Justice

Hakikatnya, tindakan obstruction of justice dilakukan pada saat proses peradilan (penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan) berlangsung. Kedudukan obstruction of justice tentu jelas telah diatur dalam aturan hukum yang tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah mengalami beberapa kali perubahan yang terakhir adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”). 

Tercantumnya aturan hukum obstruction of justice dalam peraturan perundang-undangan, maka kedudukan obstruction of justice sangat jelas dan mampu memberikan sanksi pidana yang sesuai kepada seseorang yang telah melakukan perbuatan tindak pidana tersebut. Sanksi pidana yang diberikan tentunya didasarkan oleh perbuatannya dengan didukung oleh bukti-bukti yang memperlihatkan korelasi antara perbuatan tersangka dengan aturan hukum yang memberlakukan obstruction of justice

Unsur Obstruction of Justice

Dasar dari tindakan obstruction of justice harus melalui pemenuhan unsur-unsur obstruction of justice, sehingga dapat dikatakan bahwa orang tersebut telah menghalang-halangi proses hukum dan tidak menghormati jalannya proses hukum yang berlaku. Dalam hal ini, unsur-unsur dari obstruction of justice yakni:

  1. Bahwa suatu proses hukum akan atau sedang berlangsung pada saat itu;
  2. Ada hubungan antara upaya menghalangi keadilan dan proses hukum;
  3. Tindakan tersebut menyebabkan tertundanya proses hukum;
  4. Pelaku mengetahui atau menyadari perbuatannya;
  5. Pelaku melakukan atau mencoba tindakan menyimpang dengan tujuan untuk mengganggu atau mengintervensi proses atau administrasi hukum. 

Tuntutan Obstruction of Justice

Dengan adanya kedudukan obstruction of justice pada aturan perundang-undangan, maka semua orang yang melakukan tindakan tersebut akan mendapatkan sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku. Jika merujuk pada Pasal 221 KUHP dengan bunyi sebagai berikut:

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah

  1. Barang siapa dengan sengaja menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan atau yang dituntut karena kejahatan, atau barang siapa memberi pertolongan kepadanya untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh penjahat kehakiman atau kepolisian, atau oleh orang lain yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian;
  2. Barang siapa setelah dilakukan suatu kejahatan dan dengan maksud untuk menutupinya, atau untuk menghalang-halangi atau mempersukar penyidikan atau penuntutannya, menghancurkan, menghilangkan, menyembunyikan benda-benda terhadap mana atau dengan mana kejahatan dilakukan atau bekas-bekas kejahatan lainnya, atau menariknya dari pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian maupun oleh orang lain, yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian. 

Namun, Pasal 221 ayat (2) KUHP memberikan pengecualian yakni jika yang melakukan perbuatan itu memiliki maksud untuk menghindarkan atau menghalaukan bahaya penuntutan terhadap seorang keluarga sedarah, semenda garis lurus atau dalam garis menyimpang derajat kedua atau ketiga atau terhadap suami/ istrinya atau bekas suami/ istrinya, maka aturan pada Pasal 221 ayat (1) KUHP tidak berlaku.

Ketentuan pidana denda dikalikan 1.000 sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP, sehingga pidana denda pada Pasal 221 ayat (1) KUHP menjadi Rp4.500.000,- (empat juta lima ratus ribu rupiah).

Sedangkan jika perbuatan tersebut memiliki korelasi dengan aturan yang tertuang dalam Pasal 21 UU Tipikor, maka ketentuan sanksi yang diatur adalah sebagaimana berikut:

Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling sedikit Rp150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,- (enam ratus juta rupiah).”

Perqara Telah Melayani Lebih dari 5.500 Konsultasi Hukum

Untuk permasalahan hukum terkait Pidana, Perqara telah menangani lebih dari 2.200 kasus. Ada ratusan mitra Advokat Perqara dengan keahlian khusus di masing-masing bidangnya seperti ketenagakerjaan, perkawinan dan perceraian, pertanahan, dan masih banyak lagi. Sehingga, klien dapat konsultasi tentang masalah hukum lainnya sesuai dengan permasalahan yang sedang dialami.

Konsultasi Hukum Gratis di Perqara

Apabila Sobat Perqara memiliki permasalahan hukum terkait permasalahan ini, Sobat dapat mengobrol langsung dengan advokat profesional secara gratis hanya di Perqara. Dapatkan konsultasi hukum gratis untuk mendapatkan solusi hukum tepat kapan pun dan di mana pun.

Baca juga: Apa Itu Hukum Positif? Yuk Kenalan dengan Istilah Hukum Ini!

(Artikel ini telah disunting oleh Tim Redaksi Perqara)

Dasar Hukum

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
  2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah mengalami beberapa kali perubahan yang terakhir adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  3. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP.

Referensi

  1. Yasin, Ahmad. “Apa Saja Yang Dimaksud Dengan Obstruction of Justice & Apa Saja Unsurnya“, 1 September 202, diakses pada 13 Mei 2023. https://tirto.id/apa-yang-dimaksud-dengan-obstruction-of-justice-apa-saja-unsurnya-gveF
  2. Legal Information Institute. “Obstruction of Justice”, terakhir update pada April 2023, diakses pada 13 Mei 2023. https://www.law.cornell.edu/wex/obstruction_of_justice#:~:text=Definition,the%20due%20administration%20of%20justice.%22.