Bagi beberapa Sobat Perqara mungkin masih asing dengan istilah ‘legal standing’. Istilah ini menentukan apakah seseorang bisa mengajukan perkaranya ke Mahkamah Konstitusi atau tidak. Lantas, apa yang dimaksud dengan legal standing? Apa saja persyaratan legal standing? Mari simak penjelasan di bawah ini.

Apa Itu Legal Standing?

Menurut Harjono, legal standing adalah keadaan di mana seseorang atau suatu pihak ditentukan memenuhi syarat dan oleh karena itu mempunyai hak untuk mengajukan permohonan penyelesaian perselisihan atau sengketa atau perkara di depan Mahkamah Konstitusi. 

Jika diterjemahkan secara bebas, maka legal standing adalah penentu apakah seseorang yang berperkara memiliki hak sebagai subyek hukum sebagaimana telah memenuhi syarat menurut undang-undang untuk mengajukan tuntutan perkara di Pengadilan.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa legal standing yang kerap dikenal juga dengan ‘kedudukan hukum’ adalah suatu hak dasar yang dimiliki seseorang atau kelompok yang dianggap memenuhi syarat untuk mengajukan permohonan sengketa demi kepentingan publik di Pengadilan.

Syarat-Syarat Legal Standing 

Pengaturan mengenai kedudukan hukum (legal standing) telah termaktub dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU 24/2003”) sebagaimana telah mengalami perubahan beberapa kali.

Dalam Pasal 51 ayat (1) UU 23/2004, dinyatakan bahwa pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:

  1. perorangan warga negara Indonesia dimana yang dimaksud dengan “perorangan” adalah kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama.
  2. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
  3. badan hukum publik atau privat; atau
  4. lembaga negara.

Selain itu, Achmad Roestandi dalam bukunya yang berjudul “Mahkamah Konstitusi Dalam Tanya Jawab” juga menjelaskan hal serupa sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU 24/2003. Dimana MK dalam beberapa putusannya telah merumuskan kriteria agar seseorang atau suatu pihak tertentu memiliki legal standing, yaitu:

  1. Kriteria Pertama, berkaitan dengan kualifikasinya sebagai subjek hukum, artinya pemohon wajib merupakan salah satu dari subjek hukum berikut ini:
    1. Perorangan warga negara;
    2. Kesatuan masyarakat hukum adat;
    3. Badan hukum publik atau privat;
    4. Lembaga negara.
  2. Kriteria Kedua, berkaitan dengan anggapan pemohon bahwa hak dan wewenang konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang dengan rincian sebagai berikut:
    1. Adanya hak/kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2. Hak/kewenangan konstitusional pemohon tersebut dianggap oleh pemohon telah dirugikan oleh undang-undang yang sedang diuji;
    3. Kerugian tersebut bersifat khusus dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan terjadi;
    4. Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; 
    5. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkan permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tersebut akan atau tidak lagi terjadi.

Dengan memenuhi persyaratan diatas tentang kualifikasi sebagai subjek hukum dan anggapan bahwa hak dan wewenang konstitusionalnya dirugikan, maka pemohon telah memiliki legal standing. 

Selain itu, ini juga mengartikan bahwa tidak semua orang dapat mempunyai hak untuk mengajukan permohonan ke Pengadilan. Sebab, sejatinya hanya pihak tertentu yang benar-benar memiliki kepentingan hukum saja yang boleh menjadi pemohon, sebagaimana telah memenuhi persyaratan diatas.

Legal Standing Dalam Perkara Perdata

Legal standing perkara perdata dapat terjadi dalam lingkup gugatan lingkungan hidup. Karena legal standing adalah gugatan yang dapat dilakukan oleh seseorang atau kelompok tertentu, maka para pihak dalam lingkup lingkungan hidup juga dapat turut andil untuk mengajukan gugatan demi kepentingan perlindungan lingkungan. Bahkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UUPLH”) mengenal beberapa hak legal standing, antara lain sebagai berikut:

  1. Hak gugat individual (Pasal 84 ayat (1) UUPLH)
  2. Hak gugat masyarakat dalam bentuk class action (Pasal 91 UUPLH)
  3. Hak gugat pemerintah (Pasal 90 UUPLH)
  4. Hak gugat organisasi lingkungan (Pasal 92 UUPLH)
  5. Hak gugat administrasi (Pasal 93 UUPLH)

Dari salah satu hak diatas, khususnya Hak Gugat Organisasi Lingkungan Hidup atau yang biasa dikenal dengan Lembaga Lingkungan Swadaya Masyarakat (“LSM”) memiliki tujuan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup sebagaimana tertera dalam Pasal 92 ayat (1) UUPLH. Dalam pasal tersebut, tidak semua LSM memiliki legal standing, LSM yang ingin mengajukan gugatan terkait permasalahan lingkungan harus memenuhi persyaratan berikut ini:

  1. berbentuk badan hukum;
  2. menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup; dan 
  3. telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat 2 (dua) tahun.

Jika berdasarkan penegakkan hukum lingkungan ditinjau dari sisi perdata, maka LSM yang telah memenuhi persyaratan memiliki hak untuk mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan terkait permasalahan yang merugikan kehidupan masyarakat.

Jika diketahui bahwa masyarakat menderita akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, maka instansi pemerintah yang akan bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup untuk bertindak dengan kepentingan masyarakat. LSM mempunyai hak mengajukan gugatan perdata yang terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil.

Legal Standing Dalam Perkara Pidana 

Selain lingkungan hidup, legal standing dalam perkara pidana juga dikenal dalam Hak Gugat Organisasi Perlindungan Konsumen melalui Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (“LPKSM”). Hal ini sebagaimana termaktub dalam Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UUPK”) yang berbunyi:

Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:

  1. seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan; 
  2. sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;  
  3. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya; 
  4. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.

Gugatan yang diajukan oleh LPKSM tersebut dapat diajukan kepada peradilan umum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 46 ayat (2) UUPK. Namun, apabila kembali merujuk pada Pasal 45 ayat (3) UUPK, maka penyelesaian sengketa perlindungan konsumen tidak harus diselesaikan ke pengadilan saja, tetapi awalnya dapat dilakukan upaya penyelesaian sengketa diluar pengadilan dan hal ini sama sekali tidak menghilangkan tanggung jawab pidana dari pelaku.

Contoh Legal Standing Dalam Tatanan Hukum Indonesia 

Contoh Legal Standing dalam Perkara Perdata Lingkungan Hidup

LSM Lingkungan memiliki hak untuk mengajukan gugatan pencemaran dan perusakan lingkungan, hal ini seperti yang dilakukan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) selaku legal standing organisasi lingkungan. WALHI pernah mengajukan gugatan perdata terhadap PT. Freeport Indonesia (“Freeport) karena Freeport dianggap telah memanipulasi informasi yang berkaitan dengan penurunan kualitas lingkungan akibat kegiatan pertambangan yang dilakukannya dalam kurun waktu 30 tahun lebih. 

Dalam hal ini, WALHI sebagai organisasi lingkungan sekaligus pihak yang merepresentasikan seluruh masyarakat tidak meminta Freeport untuk membayar ganti rugi. Melainkan WALHI meminta Freeport untuk memasang iklan permintaan maaf secara terbuka di media nasional dan internasional atas informasi tidak benar yang disampaikan oleh Freeport.

Pada kasus ini WALHI menilai bahwa Freeport telah melanggar ketentuan Pasal 68 huruf a UUPLH yang menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban untuk memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka dan tepat waktu.

Contoh Legal Standing dalam Perkara Pidana Perlindungan Konsumen

Contoh legal standing dalam perkara pidana misalnya terdapat pelaku usaha secara online yang melakukan penipuan atas barang dan/atau jasa yang dijualnya seperti memproduksi makanan yang tidak halal padahal dalam produknya terdapat label yang menyatakan “halal”. Produk yang sudah dipasarkan secara luas itu dikonsumsi oleh banyak konsumen termasuk orang dengan kepercayaan Islam yang sejatinya dilarang untuk mengonsumsikan makanan tidak halal, dan orang-orang tersebut merasa sangat dirugikan atas penipuan yang dilakukan pelaku usaha. Maka hal ini melanggar Pasal 8 huruf h UUPK yang merincikan salah satu “perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha”.

Selain itu, dalam kasus ini LPKSM dapat melakukan gugatan karena pelaku usaha telah melanggar ketentuan yang seharusnya diindahkan sebagai seorang pelaku usaha, dengan hukuman sesuai Pasal 62 UUPK yang menyebutkan bahwa pelaku usaha dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,- (dua miliar rupiah) Jo. Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengenai penipuan yang berbunyi barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, membujuk orang supaya memberikan sesuatu barang, membuat utang atau menghapus piutang, dihukum karena penipuan, dengan hukuman penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun.

Perqara Telah Melayani Lebih dari 5.500 Konsultasi Hukum

Ada ratusan mitra Advokat Perqara dengan keahlian khusus di masing-masing bidangnya seperti ketenagakerjaan, perkawinan dan perceraian, pertanahan, dan masih banyak lagi. Sehingga, klien dapat konsultasi tentang masalah hukum lainnya sesuai dengan permasalahan yang sedang dialami.

Konsultasi Hukum Gratis di Perqara

Apabila Sobat Perqara memiliki pertanyaan atau permasalahan hukum terkait hal ini, Sobat dapat mengobrol langsung dengan advokat profesional secara gratis hanya di Perqara. Dapatkan konsultasi hukum gratis untuk mendapatkan solusi hukum tepat kapan pun dan di mana pun.

Baca juga: Extraordinary Attorney Woo: Ini Bedanya Sistem Peradilan Korea Selatan dan Indonesia

(Artikel ini telah disunting oleh Tim Redaksi Perqara)

Dasar Hukum

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
  2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
  3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi 
  4. Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi 
  5. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
  6. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
  7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 

Referensi

  1. Achmad Roestandi. Mahkamah Konstitusi Dalam Tanya Jawab. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006.
  2. Harjono. Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. 2008.
  3. Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Medan Area, “Freeport Indonesia Digugat oleh WALHI”, Januari 5, 2022. Diakses pada 9 Agustus 2022, mh.uma.ac.id