Keberadaan bukti dalam perkara perdata memegang peranan penting. Tanpa alat bukti yang sah dan meyakinkan, sulit bagi hakim untuk menetapkan kebenaran materiil dan memberikan putusan yang adil. Artikel ini akan mengupas tuntas mengenai bukti dalam perkara perdata, mulai dari pengertian, jenis-jenisnya berdasarkan ketentuan hukum, urutan kekuatan pembuktian, perbedaannya dengan pembuktian dalam perkara pidana, hingga contoh penerapannya di pengadilan.

Baca juga: Perikatan Bersyarat dalam Hukum Perdata: Pengertian, Jenis, dan Contoh Kasus

Pengertian alat bukti dalam perkara perdata

Secara sederhana, alat bukti dalam perkara perdata adalah segala sesuatu yang diajukan oleh para pihak yang berperkara kepada hakim untuk memperkuat dalil-dalil gugatan maupun bantahannya. Alat bukti ini bertujuan untuk meyakinkan hakim mengenai kebenaran suatu peristiwa atau fakta hukum yang menjadi pokok sengketa.

Dalam konteks hukum acara perdata di Indonesia, ketentuan mengenai alat bukti secara utama diatur dalam Pasal 164 Herzien Inlandsch Reglement (HIR), Pasal 284 Reglement op de Rechtsvordering (RBg), dan Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer).

Baca juga: Perikatan dengan Benda dalam Hukum Perdata: Pengertian, Jenis, dan Contohnya

Jenis-jenis alat bukti dalam perkara perdata (Pasal 164 HIR / 284 RBg)

Jenis-jenis alat bukti dalam perkara perdata (Pasal 164 HIR / 284 RBg)
Jenis-jenis alat bukti dalam perkara perdata (Pasal 164 HIR / 284 RBg) (Sumber: Shutterstock)

Pasal 164 HIR, Pasal 284 RBg, dan KUHPer secara eksplisit menyebutkan lima jenis alat bukti yang sah dalam perkara perdata, yaitu:

  1. Bukti tertulis atau surat

Ini merupakan alat bukti tertulis yang berisi keterangan mengenai suatu peristiwa atau perbuatan hukum. Contohnya adalah akta otentik (dibuat oleh pejabat umum seperti notaris), akta di bawah tangan (dibuat oleh para pihak sendiri), surat perjanjian, kuitansi, faktur, dan dokumen-dokumen lainnya.

  1. Bukti  Saksi

Keterangan yang diberikan oleh saksi di bawah sumpah di hadapan hakim mengenai apa yang dilihat, didengar, atau dialaminya sendiri terkait dengan perkara yang sedang diperiksa. Kredibilitas dan relevansi kesaksian menjadi pertimbangan penting bagi hakim.

  1. Bukti Persangkaan

Kesimpulan yang ditarik oleh hakim dari suatu peristiwa atau fakta yang terbukti ke arah adanya peristiwa atau fakta lain yang disengketakan. Persangkaan dapat berupa persangkaan undang-undang atau persangkaan hakim.

  1. Bukti Pengakuan

Pernyataan dari salah satu pihak yang mengakui kebenaran sebagian atau seluruh dalil yang diajukan oleh pihak lawan. Pengakuan yang diberikan di hadapan hakim memiliki kekuatan pembuktian yang kuat.

  1. Sumpah

Pernyataan sakral yang diucapkan oleh salah satu pihak atas perintah hakim untuk menguatkan dalilnya atau membantah dalil lawan. 

baca juga: Apa Itu Akta Otentik? Simak Pembahasan Ini!

Urutan kekuatan pembuktian alat bukti

Secara umum, urutan kekuatan pembuktian alat bukti dalam perkara perdata adalah sebagai berikut (meskipun penilaian akhir tetap berada di tangan hakim):

  1. Akta Otentik

Akta otentik adalah akta yang dibuat dan ditandatangani oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang, seperti notaris. Akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang paling kuat karena dianggap memberikan kepastian hukum mengenai fakta yang tercantum di dalamnya sepanjang tidak terbukti sebaliknya. 

  1. Akta di bawah tangan

Kekuatannya setara dengan akta otentik bagi para pihak yang membuatnya dan ahli warisnya, jika tidak ada akta otentik.

  1. Surat-surat lainnya

Kekuatan pembuktiannya dinilai berdasarkan isinya dan hubungannya dengan perkara.

  1. Pengakuan

Pengakuan di hadapan hakim memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna terhadap pihak yang mengaku.

  1. Sumpah decisoir

Apabila pihak lawan tidak menyanggah dan tidak mau bersumpah, maka dianggap terbukti dalil pihak yang meminta sumpah. Jika lawan bersumpah, maka dalil pihak pertama gugur.

  1. Kesaksian

Kekuatan pembuktiannya bergantung pada kualitas saksi, relevansi keterangannya, dan persesuaian dengan alat bukti lain. Umumnya, satu saksi saja tidak cukup (unus testis nullus testis).

  1. Persangkaan

Kekuatan pembuktian persangkaan undang-undang sudah ditentukan oleh undang-undang, sedangkan persangkaan hakim sangat bergantung pada pertimbangan logis hakim.

Penting untuk dicatat bahwa urutan ini bukanlah hierarki yang mutlak. Hakim memiliki kewenangan untuk menilai secara keseluruhan alat bukti yang diajukan dan menentukan mana yang paling meyakinkan dalam mengkonstruksikan fakta hukum.

Baca juga: E-Court: Solusi Pengadilan yang Lebih Cepat dan Mudah

Perbandingan alat bukti dalam perdata vs pidana

Meskipun sama-sama bertujuan untuk mencari kebenaran, terdapat perbedaan mendasar dalam sistem pembuktian antara perkara perdata dan pidana:

AspekPerkara PerdataPerkara Pidana
InisiatifLebih banyak pada para pihak yang berperkara.Lebih banyak pada penyidik dan penuntut umum.
Beban pembuktianUmumnya pada pihak yang mendalilkan (Pasal 1865 KUHPerdata)Pada penuntut umum untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
Standar pembuktian“Lebih mungkin” atau “keseimbangan probabilitas” (preponderance of evidence).“Di luar keraguan yang beralasan” (beyond a reasonable doubt).
Tujuan .Menyelesaikan sengketa dan memulihkan hak.Menjatuhkan hukuman atas pelanggaran hukum pidana
Jenis alat buktiSerupa, namun interpretasi dan penerapannya bisa berbeda.Lebih ketat dan spesifik dalam beberapa hal (misalnya alat bukti petunjuk).

Baca juga: Apa Itu Daluwarsa (Verjaring)? Pahami Perbedaannya dalam Hukum Pidana dan Perdata

Contoh penerapan alat bukti dalam perkara perdata

Contoh penerapan alat bukti dalam perkara perdata
Contoh penerapan alat bukti dalam perkara perdata (Sumber: Shutterstock)

Berikut adalah beberapa contoh bagaimana alat bukti diterapkan dalam perkara perdata:

  1. Perkara wanprestasi kontrak

Penggugat mengajukan perjanjian tertulis (akta di bawah tangan), bukti transfer pembayaran sebagian, dan surat teguran kepada tergugat sebagai surat atau tulisan. Penggugat juga menghadirkan saksi (mantan karyawan) yang mengetahui adanya kesepakatan dan pelaksanaan sebagian pekerjaan sebagai kesaksian. Jika tergugat mengakui adanya perjanjian namun menyangkal wanprestasi, maka pengakuan tergugat menjadi alat bukti.

  1. Perkara sengketa tanah

Penggugat mengajukan sertifikat hak milik (SHM) sebagai akta otentik. Tergugat mengajukan bukti pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB) dan keterangan dari kepala desa sebagai surat-surat lainnya. Hakim dapat menggunakan persangkaan berdasarkan penguasaan fisik tanah dalam waktu lama untuk memperkuat salah satu dalil pihak.

  1. Perkara perceraian

Penggugat mengajukan buku nikah sebagai akta otentik. Penggugat juga dapat mengajukan foto atau rekaman video perselisihan sebagai bukti elektronik. Keterangan dari keluarga atau teman dekat mengenai keretakan rumah tangga dapat diajukan sebagai kesaksian.

Dalam setiap contoh di atas, hakim akan meneliti, mempertimbangkan, dan menghubungkan berbagai alat bukti yang diajukan oleh para pihak untuk mendapatkan gambaran yang utuh mengenai fakta yang sebenarnya terjadi sebelum menjatuhkan putusan.

Baca juga: Ingin Mengajukan Perkara? Kenali Apa Itu Legal Standing dan Contohnya

Perqara telah melayani lebih dari 27.700 konsultasi hukum

Untuk permasalahan hukum terkait Perdata, Perqara telah menangani lebih dari 7.000 kasus. Ada ratusan mitra Advokat Perqara dengan keahlian khusus di masing-masing bidangnya seperti ketenagakerjaan, perkawinan dan perceraian, pertanahan, dan masih banyak lagi. Sehingga, klien dapat konsultasi tentang masalah hukum lainnya sesuai dengan permasalahan yang sedang dialami.

Konsultasi hukum online di Perqara

Apabila Sobat Perqara memiliki permasalahan hukum terkait permasalahan ini, Sobat dapat mengobrol langsung dengan advokat profesional secara gratis hanya di Perqara. Download aplikasi Perqara sekarang dan dapatkan konsultasi hukum gratis untuk mendapatkan solusi hukum tepat kapan pun dan di mana pun.

Baca juga: Pahami Alat Bukti Cerai Dalam Proses Perceraian

(Artikel ini telah disunting oleh Tim Redaksi Perqara)

Dasar hukum

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
  2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
  3. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Referensi

  1. Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek. Bandung: Alumni, 1983.